Sepotong roti yang sedari tadi teronggok di meja makan masih belum kusentuh. Hatiku seakan tak utuh. Di sela diamku, aku masih ingat kali terakhir bersua dengan Mas Akhdan. Tepatnya, sudah sebulan berlalu. Kala itu, dengan emosi yang meluap, aku meninggalkannya. Menyisakan beragam tanya yang tak bisa kujawab sepenuhnya. Suaraku terasa teredam. Keberanianku meluncur jatuh seiring dengan rasa takutku akan kehilangan. Sebenarnya, masih banyak kata yang mengganjal yang ingin kugemakan. Namun, lidahku kelu untuk sekadar mengungkapkan kegelisahan.
"Ini sudah keputusan final?"
Kata tanya dari Mas Akhdan yang menjadi penutup perjumpaan kembali terngiang. Anggukan yang kumaksud adalah ajakanku untuk memberi jeda atas hubungan yang sudah berada pada ambang kehancuran. Kata 'final' itu bukanlah akhir dari cerita yang perlahan sudah dirajut. Akan tetapi, sepertinya Mas Akhdan memaknainya dengan tujuan yang berbeda. Nyatanya, jeda sebulan ini, tak ada niatan dari lelaki itu untuk memperbaiki keadaan. Tak ada lagi perhatian-perhatian kecil. Tak ada lagi pesan sebagai pengisi hari-hariku yang suram.
Rindu, tapi gengsi. Begitu aku melabeli diriku.
Hari demi hari kulewati dengan langkah kosong. Ternyata, menjalani hari tanpa ikatan kisah dengan seseorang yang dulunya memikat itu tidak mudah. Makin hari, rasa hati kian tak jelas. Rindu yang awalnya menjadi candu, kini berubah menjadi cerita pilu. Sebab, tidak ada lagi orang istimewa itu, yang berhak menjadi tujuan rindu.
Sekali lagi kutatap sepotong roti di piring kecil yang berada tepat di depanku. Nafsu makanku makin menyusut. Padahal, biasanya kalau hatiku sedang gelisah, selera makan kian bertambah. Namun, tidak untuk kali ini. Isi perut rasanya sudah penuh, meski belum ada sedikit pun asupan yang masuk.
"Diganjal dengan roti dulu perutnya, Dek. Masih agak lama juga sampai di tempat tujuan."
Saat itu, aku dan Mas Akhdan sedang menuju ke pantai. Menghirup udara segar dengan nuansa biru sebagai upaya untuk meresapi luka selepas patah hati. Mas Akhdan menawarkan solusi tersebut. Aku pun hanya menurut. Merk sepotong roti yang diberikan Mas Akhdan kala itu sama persis dengan yang di sini, di piring kecil ini. Hatiku mungkin memang benar-benar kacau, hanya sebab sepotong roti saja, sudah mengingatkanku pada kenangan dengan lelaki itu.
Kuakui, meski memulai membuka hati dengan lelaki itu belum terbilang lama. Namun, kehadiran Mas Akhdan di sisiku selama ini sudah berhasil mengisi separuh jiwa. Ada banyak kebersamaan yang menjadi warna. Ada banyak memori indah yang dengan membayangkan saja sudah membuat nestapa. Sebab, aku merasa bahwa sekarang aku tak mempunyai hak untuk sekadar menarik kembali kenangan yang membahagiakan itu.
"Paket."
Suara teriakan dari luar rumah membuyarkan lamunan. Aku segera beranjak. Menghampiri seorang kurir yang sedang membawa pesanan.
"Ada paket, Mbak. Atas Nama Shafira?" tanya Mas Kurir padaku. Aku pun mengangguk singkat. Lalu, lelaki pengantar pesan ini menyuruhku tanda tangan di kertas yang sudah disiapkan. Setelah itu, paket siap kuterima.
Lantas, aku kembali memasuki rumah, duduk sejenak di ruang tamu selepas menutup pintu. Setelah itu, aku segera membuka bungkus paket yang berada dalam genggamanku ini. Perlahan, isinya tampak dengan jelas, yaitu buku Matsnawi Maknawi Maulana Rumi yang beberapa waktu lalu kupesan. Sebenarnya, ada dua paket buku lagi yang untuk kafe buku milik Mas Akhdan. Namun, dengan kondisi kami berdua yang seperti saat ini, rasa bingungku menyergap.
Bagaimana aku akan memberikan buku-buku ini pada Mas Akhdan? Sedangkan, jatah temu tak lagi ada.
Pikiranku makin tak tentu.
"Ah, itu pikirkan nanti saja. Go-send juga boleh, biar nggak harus datang ke kafe atau menemui pemiliknya secara langsung. Bisa-bisa kikuk kalau tidak sengaja bertemu dengan Mas Akhdan di sana," bisikku pelan sembari menenangkan diri dari gemuruh kerinduan.
Untuk mengalihkan kecamuk rasa dalam diri, aku mengambil salah satu buku karya Muhammad Nur Jabir tersebut. Kubuka perlahan bukunya. Pada bab pertama yang berjudul Kisah tentang Seruling (Nei) terdapat 34 bait. Kubaca bait demi bait pada bab ini. Netraku secara tak sadar terpaku pada bait ke-11 yang berisi tentang kerinduan.
Aku yakin dengan penuh jika Jalaluddin Rumi menunjukkan 'kekasih' untuk Tuhan yang selalu ia agungkan. Namun, aku memaknainya dengan rasaku sendiri yang sedang kualami saat ini. Yakni, tentang rinduku pada lelaki itu, yang hingga detik ini tak bisa kubagi rasanya dengan siapa pun selainku.
Selepas membaca satu bab, aku masih tidak percaya dengan keindahan aksara yang dirangkai. Kukira, terjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Indonesia akan kaku. Maknanya tidak sampai ke hati. Akan tetapi, founder Rumi Institute ini begitu rapi meramu kata-katanya, hingga membuat hatiku tersentuh ketika membaca setiap bait yang tertera.
Mataku menerawang di awang-awang. Pikiranku berkelana tanpa tujuan. Aku kembali merasai perih yang beberapa saat ini sekuat tenaga kuredam. Tak terasa, bulir-bulir dari mata menetes dengan sedikit deras di pipiku.
Ternyata, aku tak pernah belajar dari kesalahan dari sebaris cerita masa lalu, yaitu selalu menumpu harapan pada insan. Tanpa kupahami dengan pasti, bahwa penentu kisah hidup adalah Sang Ilahi. Harusnya, aku lebih menyerahkan setiap episode kehidupan pada sang pencipta, bukan pada makhlukNya yang pada akhirnya akan berujung kecewa.
"Duhai diri, lebih berhati-hati lagi, ya! Jangan terbuai dengan tipu muslihat yang akan melemahkan iman. Pengharapan yang tidak sesuai, semestinya tidak lantas membuat hatimu tak tenang," semangatku pada diri.
Aku harus kembali menata hati. Tidak baik jika harus berlama-lama menyesali cerita hidup yang berjalan jauh dari harapan.
"Dengan menyebut nama Allah, aku harus bangkit. Percaya sama Allah. Takdir-Nya adalah yang terbaik," tekadku kali ini. Aku yakin bahwa segala hal yang bertumpu pada-Nya akan menjadi awal yang baik.
Setelah itu, aku kembali menuju ke ruang makan, mendaratkan diri pada salah satu kursi yang berada di sana. Lalu, tanganku terjulur meraih sepotong roti yang sedari tadi kuabaikan. Akhirnya, makanan yang sudah kudiamkan cukup lama itu berhasil masuk ke dalam perutku.
Alhamdulillah.
Sepotong roti sudah tandas. Kemudian, tanganku beralih pada segelas teh yang sudah mulai dingin. Kusesap perlahan cairan berwarna sedikit kecokelatan itu hingga habis tanpa sisa. Rasa kenyang kali ini bertandang.
Setelah menuntaskan mengenai kebutuhan perutku. Aku langsung beranjak ke kamar. Memeriksa ponsel yang sedari pagi kutinggal. Barangkali ada pesan penting untukku. Mataku seketika membola ketika kudapati salah satu pesan yang tertera pada benda pipih itu.
Mas Akhdan: Minggu depan jadi berangkat bareng?
Pesan itu dari Mas Akhdan. Karena kesibukanku bergelut pada problematika diri, aku sampai melupakan hari bahagia sahabatku yang sekaligus masa laluku itu. Sebelum nuansa pelik menghampiriku dan Mas Akhdan, aku sempat membahas perihal kehadiranku di pesta pertunangan Naufal. Saat itu, keadaan kami berdua sedang baik-baik saja. Maka dari itu, ketika Mas Akhdan menawarkan diri untuk menemani, tanpa basa-basi aku langsung mengiakan.
Pada keadaan yang tidak kondusif seperti sekarang, aku bimbang. Jika mengiakan, aku bingung bagaimana caranya mengurai kecanggungan. Namun, jika aku menolak, rasa percaya diriku memberontak. Aku tidak yakin akan baik-baik saja setelahnya.
Tanpa pikir panjang, jemariku dengan lincah mengetik pesan balasan. Kata 'ya' yang akhirnya memenuhi room chat kami berdua.
Sesingkat itu kata balasan dariku. Mas Akhdan memang sudah paham dengan kebiasaanku. Balasan pesan yang singkat semacam itu sudah kerap ia terima sebelumnya.
Efek kenyang setelah menghabiskan sepotong roti tadi, atau karena ada pesan dari Mas Akhdan yang membuatku lebih semangat kali ini. Seolah-olah, ada setitik aura cerah di sekeliling tempat ini, yang membuat senyumku mengembang tanpa mampu kucegah. Tak ubahnya seperti orang gila, aku berguling-guling di kasur. Seulas senyum di bibirku pun tak henti merekah.
Fix. Aku mungkin memang gila beneran. Sepertinya, aku harus melakukan konsultasi mendalam dengan Mas Ardi ini, bisik hatiku yang kuselingi dengan tawa yang menggelegar di seluruh penjuru kamar.
______________
To be continued.Selamat membaca. 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...