Pertemuan dengan Mas Akhdan beberapa waktu yang lalu tidak berakhir dengan baik. Namun, lelaki itu selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk membuatku kembali luluh. Setiap pesan dari Mas Akhdan memenuhi ruang obrolan, aku selalu menanggapinya dengan baik, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Namun, jauh di dasar hatiku, rasanya makin hari makin hambar.
Sudah terhitung sepuluh hari sejak keributan kecil itu, aku belum pernah berbincang secara langsung dengan Mas Akhdan. Aku juga seakan-akan tidak ada minat untuk berinisiatif menemuinya terlebih dahulu. Hatiku rasanya sudah terlalu capek bermain-main dengan ikatan yang tidak serius. Saat ini, aku tidak lagi memikirkan untuk berakhir dengan siapa pun di pelaminan nanti. Tidak ada lagi gambaran sama sekali. Semua terasa abu-abu.
"Kalau memang nggak enak badan, pulang saja, Fir! Kamu kelihatan pucat banget, loh. Biar Mbak saja yang mengurus sisanya," ujar Mbak Anggi prihatin.
Pasalnya, sedari pagi aku sudah menyibukkan diri dengan berbagai macam agenda di LMode ini. Bahkan, bukan hanya hari ini saja, dari beberapa hari yang lalu aku sudah memforsis tenagaku, seolah-olah rasa lelah tidak akan pernah bertandang.
"Santai, Mbak. Masih kuat, kok. Tinggal beberapa potong lagi yang belum dikemas. Sudah jam segini juga, takut keburu Mas Kurir ambil paketannya nanti," jawabku santai meski sambil menahan rasa lemas. Mbak Anggi memang benar, badanku kurang fit kali ini. Kepala rasanya berat, sedikit pusing. Namun, aku yakin kalau aku masih bisa bertahan hingga selesai mengemas barang pesanan.
"Ya, sudah. Kalau pingsan tinggal diseret saja ke jalan. Biar dicium sekalian sama aspal," gerutu Mbak Anggi sembari mengecek kembali catatan pesanan.
"Mbak Anggi jahat!" balasku singkat. Aku seakan-akan tidak memiliki tenaga lagi untuk berdebat. Maka dari itu, kulanjutkan fokusku pada beberapa barang yang berjajar di depanku.
Aku melihat arloji yang melingkar di tangan kiriku, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Masih tersisa sekitar satu jam lagi, Mas Kurir akan menjemput paket.
"Nanti ditutup lebih cepat saja tokonya, ya, Mbak! Pasti pada capek, kan? Musim kondangan memang luar biasa, ya, Mbak. Bikin kita kewalahan. Duh, rasanya," ucapku sedikit melantur. Sejak kapan musim kondangan menjadi hal yang perlu diributkan? Bukankah biasanya aku bahagia karena omset toko bisa langsung melejit.
"Fisikmu atau hatimu yang kewalahan, Fir? Biasanya juga senang, tuh, kalau isi ATM menggelembung. Jangan-jangan masalahnya bukan itu, tapi kamu lagi stres mikirin 'kapan gantian dikondangin', betul, kan?" ledek Mbak Anggi sembari tertawa terpingkal-pingkal. Aku pun berdecak. Mbak Anggi memang pantas jika dinobatkan sebagai Ratu Bullying, kejamnya bukan main.
"Mbak, aku kayaknya mau bikin teh hangat. Lemas banget ini. Mbak Anggi, mau?" ucapku pada Mbak Anggi sambil bersiap melangkah ke dapur.
"Mbak nggak usah, Fir. Sudah mau pulang juga. Kamu sendiri saja sana! Keburu tepar di sini. Mbak, kan, ngeri," kata Mbak Anggi seakan-akan bergidik.
Aku segera melangkah ke dapur untuk merebus air, sambil sesekali memegangi kepalaku yang seketika berdenyut nyeri. Tidak sampai lima menit, teh sudah tersaji. Aku segera menyeruput teh tersebut selagi masih panas.
"Mbak, Mas Kurir sudah datang," ucap Vina, salah satu karyawan toko, padaku. Untung saja, secangkir teh sudah tandas, jadi aku bisa segera bergegas.
"Suruh masuk saja, Vin! Biar ada yang bantuin," kataku kemudian.
Setelah seluruh paket sudah dibawa oleh kurir, aku lantas menyuruh dua karyawanku untuk segera berkemas. Rencananya, kami akan pulang cepat hari ini. Tidak harus menunggu sampai pukul lima sore seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...