06. Sekuntum Mawar

25 10 0
                                    

Petang sebentar lagi datang. Cahaya jingga sudah kembali ke peraduan. Dua orang yang bekerja di LMode sudah pulang duluan dari satu jam yang lalu.

Seharian ini, kedua karyawan itu memang sibuk 'bongkaran' dan mengemas beberapa barang yang harus segera dikirim. Sementara aku? Aku tidak banyak membantu. Hanya turut andil dalam mengecek barang saja. 

Aku memang tidak terjun langsung mengelola toko ini. Tanggung jawab toko, kupercayakan sepenuhnya pada Mbak Anggi. Sehingga, yang lebih paham adalah wanita satu anak itu. 

Sebagai seorang penulis lepas, jadwal kegiatanku memang tak tentu. Terkadang, aku seperti pemalas yang tak punya pekerjaan. Pada saat yang lain, aku bisa seperti orang kesetanan karena bertarung dengan deadline. Maka dari itu, aku hanya sesekali datang ke toko. Itu pun jika ada hal yang begitu mendesak seperti hari ini.

"Lagi banyak kerjaan di toko! Sesekali ditengok, dong!"

Kalau Mbak Anggi sudah bilang seperti itu, aku tidak bisa membantah. Selain itu, aku juga memiliki tanggung jawab menjaga kestabilan toko.

Saat ini, aku sedang duduk termenung di kursi tunggu di depan toko. Aku sedang menunggu Mas Akhdan yang sudah berjanji akan menjemputku.

"Kok, lama, ya?" gumamku pelan.

Di dalam hening ini, tiba-tiba ada tangan yang terjulur di hadapanku disertai dengan adanya sekuntum mawar yang ditujukan untukku. Lalu, aku mengambilnya dengan malu-malu. Aku sungguh tersipu. Ternyata, lelaki ini bisa manis juga. 

"Terima kasih," ucapku pada Mas Akhdan yang hanya dia balas dengan senyuman lebar. 

"Mampir makan dulu, yuk! Lapar," ajak Mas Akhdan yang kujawab dengan anggukan.

Perutku memang minta diisi. Sudah sedari siang tadi, belum diberi amunisi. 

"Makan di mana, Mas?" tanyaku sambil membayangkan menu apa yang sekiranya disantap pada petang kali ini. 

"Ada ide?" Lelaki itu balik bertanya. Aku lantas teringat salah satu warung makan di depan gerbang komplek perumahan tempat tinggalku, yang memang letaknya tidak jauh dari sini. 

"Di Ayam Bakar Pak Kumis saja, yuk, Mas! Tinggal ngesot juga sampai, tuh," ujarku sembari menunjuk tenda yang terlihat samar dari jarak pandangku saat ini. 

Mas Akhdan pun setuju. Kemudian, kami berdua meluncur ke sana. Tidak sampai lima menit, bau gosong khas ayam bakar menyengat. Rasa lapar makin menguat, tidak bisa dikendalikan.

Dari luar tenda, aku mengamati keadaan sekeliling, pengunjungnya lumayan padat. Tinggal tersisa satu tempat di bangku paling ujung. Tak ada pilihan lain, aku dan Mas Akhdan pun segera bergerak ke sana. 

"Mau pesan apa, Mas?" tanyaku pada Mas Akhdan.

"Samain aja, ya!" Aku pun hanya mengangguk sebagai jawaban.

Akhirnya, menyoal menu, aku yang harus memilih. Keputusanku jatuh pada ayam bakar dan jeruk hangat. Sebenarnya, ada banyak menu selain ayam bakar di sini, meski nama tempatnya Ayam Bakar Pak Kumis. Ada aneka ikan goreng atau pun bakar dan lain sebagainya.

Sekitar sepuluh menit menunggu, menu yang dipesan sudah siap untuk disantap. Kami berdua pun makan dengan lahap. Tanpa ada suara yang mengisi hingga makanan yang tersaji habis sesuap demi sesuap. 

"Ada rencana mau ke mana lagi setelah ini, Dek?" tanya Mas Akhdan. 

Makanan yang aku dan Mas Akhdan memang sudah tandas. Namun, kami berdua masih betah berdiam diri di sini. Sebab, kalau sudah sampai rumah, tidak ada obrolan lama seperti ini.

"Mau langsung pulang aja, Mas. Tepar rasanya," timpalku seraya menyuarakan keluhan. 

Soal yang kemarin, kenapa raut muka Mas seketika berubah saat Mas Arvin menyapaku? Mas ada masalah sama dia?

Sebenarnya, kata-kata itu yang ingin kutanyakan pada Mas Akhdan. Namun, aku redam. Yang penting hari ini, kami sudah baik-baik saja. Aku tidak boleh berburuk sangka. Bisa jadi, penglihatanku saja yang salah mengartikannya.

Pada akhirnya, aku dan Mas Akhdan hanya membahas hal-hal remeh yang dilalui seharian ini. Tidak ada masalah berat yang mencuat, hanya senda gurau ringan yang menjadi teman berbincang. 

"Pulang, yuk! Keburu malam."

Mas Akhdan mengajakku pulang. Aku pun mengiakan. Sebab, rasa lelah juga sudah tak tertahan.

Lima belas menit berselang, mobil yang ditumpangi sudah menepi di depan rumahku. Mas Akhdan tidak mampir lama. Hanya mengobrol sebentar dengan Bapak dan Ibu, lalu pamit pulang. 

Aku pun langsung izin pada kedua orang tuaku untuk masuk ke kamar. Sekujur tubuh ini rasanya sudah susah diajak bercanda. Rasanya hanya ingin bersantai saja. 

Sesampainya di kamar, kuletakkan bunga mawar pemberian Mas Akhdan tadi di vas kaca yang berada di atas nakas. Bunga-bunga yang sudah layu pun kubuang. 

Ah, mawar. Orang itu lagi?

Setiap mengingat beberapa hal, termasuk tentang mawar, anganku seolah-olah ditarik ke waktu beberapa tahun silam. Entah mengapa, ingatan tentang itu masih saja ranum hingga sekarang.

Kala itu, acara kelulusan sekolahku berlangsung. Selepas itu, sesi pemotretan dengan keluarga dan teman menjadi tujuan. Keadaan menjadi semakin riuh. Mataku sampai berkunang-kunang meladeni teman-temanku yang tiada henti mengabadikan momen.

Sebelum beranjak pulang, Anjani memberikanku bunga mawar hidup beserta potnya. Ketika kutanya 'dari siapa', ia hanya menimpali dengan senyuman aneh yang sangat tidak kutahu alasannya. 

Setibanya di rumah, aku menaruh hadiah dari sosom misterius itu ke dalam kamar. Ternyata, ada amplop lucu yang diselipkan di sana. Lalu, kubuka perlahan, isinya begitu mengejutkan. Sebab, pengirimnya adalah 'orang itu'. 

Ada satu tulisan tentang filosofi bunga mawar di sana, "Tumbuh indah, dengan warna yang khas."

Aku memang pernah membahas menyoal filosofi bunga mawar dengan orang itu, Mas Arvin, di saat bumbu-bumbu menyesakkan masih belum membunuh rasaku. 

Ketika kutanya, "Maknanya apa itu, Mas?

Mas Arvin dengan santai menjawab, "Jadilah sosok yang istimewa, sebagaimana ciri khas yang kamu punya. Tidak perlu memenuhi ekspektasi orang lain, karena itu tidak penting. Sebab, setiap orang memiliki keunikan masing-masing."

Itulah hebatnya Mas Arvin. Selalu 'nyambung' ketika diajak bicara mengenai segala hal. Dia memang begitu. Kelihatannya dia memang cool, tak banyak bicara, tapi pada saat membahas tentang pengetahuan, dia seolah memahami seluruhnya. Bisa dibilang, dia orangnya seperti kamus berjalan. Oleh sebab itu, segala tentangnya selalu saja susah terlepas, karena terlalu membekas. 

Renungku pun usai. Aku segera beranjak ke kasur setelah sebelumnya membersihkan badan terlebih dahulu. Namun, usahaku untuk langsung merebahkan badan tertunda. Sebab, dari tas yang kupakai tadi, ponselku berdering. Ada nomor asing terpampang di sana. Namun, kubiarkan saja. Seperti biasanya, jika ada nomor yang tak dikenal, pasti kuabaikan. Kalau memang penting, biar ia mengirim pesan guna untuk menjelaskan. 

Namun, makin lama, pikiranku mulai bercabang, yaitu antara penasaran dan mencoba masa bodoh saja. Pada akhirnya, pergulatan hati ini membuatku penuh tanya.

Kira-kira siapa, ya?

_____________
To be continued.

Selamat membaca. 🌹

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang