39. Akhir Penantian

32 7 2
                                    

"Akhirnya ... lega, kan?"

"Apa, sih, Mbak? Makin panik, lah. Lega dari mana?" Aku menjawab ketus ketika Mbak Anggi dengan sengaja meledekku.

Semenjak prosesi lamaran sesungguhnya sekitar satu minggu yang lalu, wanita itu tak henti membuatku makin resah karena tingkahnya yang menyebalkan. Bukannya lega, rasa panik kian bersarang.

Ada yang bilang kalau salah satu cobaan terberat bagi calon pengantin adalah ketika dalam masa melewati jarak antara lamaran dan nikah. Kukira itu mitos. Ternyata, keadaan gundah gulana semacam itu memang benar adanya. Terkadang, ada rasa cemas menghampiri. Ketakutan tak berarti pun mewarnai. Ada pula perasaan ragu yang mengganggu.

Kata Mbak Anggi, hal tersebut wajar. Kalau masa-masa itu bisa terlampau dengan baik, perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun, bukan berarti tidak akan ujian lagi, malah katanya, permasalahan mendatang bakal lebih berat. Oleh sebab itu, sedari awal, antar pasangan harus pandai menjalin komunikasi, agar ketika persoalan pelik menghampiri, keduanya akan mampu mengatasi.

"Persiapan udah berapa persen, Fir?" tanya Mbak Anggi sembari menyeruput teh hangat yang tadi disiapkan oleh Ibu.

Saat ini, Mbak Anggi memang sedang berkunjung ke rumah sepulang dari toko tadi. Katanya, mumpung sang anak lagi menginap di rumah ayahnya. Sehingga, wanita itu bisa lebih bersantai sejenak. Sebab, tidak ada senyum ceria yang menyambutnya ketika pulang nanti.

Pikiranku lantas berkelana, membayangkan kehidupan seperti apa yang kutempuh dengan keluarga kecilku nantinya.

Semoga nggak ada drama yang merusak keharmonisan rumah tangga.

Itulah yang kuharapkan. Mungkin saja, banyak orang di luar sana yang memiliki harapan yang sama sepertiku. Yakni, bisa membangun keluarga yang utuh tanpa distraksi dari hama yang mengacaukan suasana.

Mendekati hari H pernikahan, aku memang kerap overthinking. Tentu saja, karena terlalu banyak mengamati problem rumah tangga orang lain, membuat otakku ikutan memanas. Padahal, kehidupan orang sudah digariskan dan itu belum tentu sama proses perjalanannya. Aku saja yang terlalu larut dalam segala macam praduga yang tanpa mengedepankan logika.

"Tanya apa tadi, Mbak?" Aku meminta Mbak Anggi untuk mengulang pertanyaannya tadi. Saking semrawutnya isi kepala, aku sampai tidak bisa menangkapnya.

"Persiapan pernikahanmu itu, loh, sudah sejauh mana progresnya?" Mbak Anggi memperjelas.

"Sudah hampir rampung, Mbak. Lagian kalian semua pada semangat ngebantuin, kok. Jadi, aman," jawabku santai.

Aku bersyukur mempunyai teman dekat yang begitu baik dan tulus. Tanpa diminta, mereka menawarkan diri untuk melakukan apa saja yang aku perlukan.

Ada Naufal dan Sarah yang turut heboh. Padahal, dua orang itu memiliki bayi yang berumur kurang dari setahun, tetapi mereka tidak segan menolongku. Salah satunya adalah perihal undangan. Aku percayakan urusan itu padanya. Selain Naufal dan Sarah kini memiliki usaha percetakan, aku juga tidak bisa menolak ketika mereka menawarkan untuk meng-handle bagian undangan sekaligus membantu merekap daftar yang akan diundang.

Untuk urusan suvenir, ada Anjani yang menjadi relawan. Untuk satu orang ini, aku langsung menerima. Aku memang sengaja membuatnya lebih sibuk dari orang lain. Sebagai bentuk pembalasan karena ia telah berani mengerjaiku sesaat sebelum acara lamaran saat itu. Mengingat malam itu, aku merasa malu sendiri.

Ah, aku nggak mau mikirin itu lagi, putusku kemudian.

Mbak Anggi dan Mas Ardi pun ikut andil sebenarnya, tetapi tidak banyak. Sebab, Mbak Anggi tetap harus mengatur LMode sedangkan Mas Ardi sibuk dengan tugasnya, apalagi lelaki itu sudah membuka praktik mandiri juga, sehingga waktu luangnya tidak banyak.

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang