Gerimis merintik di luar. Melalui kaca jendela kamar, aku bisa melihat rintik itu berubah menjadi sedikit lebih deras. Gigil dingin seketika menyusup di sekujur tubuh. Toleransi dinginku memang terbilang rendah. Apalagi, dalam keadaan badan kurang fit seperti sekarang, tersentuh angin sedikit saja, rasanya bagaikan meriang.
"Makan dulu, Nduk! Habis itu minum obat," ujar Ibu sembari meletakkan sepiring nasi serupa bubur lengkap lauknya di meja yang terletak di sisi ranjang. Ucapan Ibu yang spontan itu sontak membuatku terkejut. Kebanyakan melamun, aku sampai tidak mendengar derap langkah Ibu memasuki kamar.
Sepulang dari rumah sakit tadi, aku memang langsung terlelap. Hanya dengan menyentuh tempat tidurku saja, rasa kantuk langsung hinggap. Efek obat atau memang setitik rindu pada ranjang favoritku ini yang berpengaruh pada ritme lelapku, aku sungguh tidak tahu.
"Mas Arvin sudah pulang, Bu?" tanyaku yang seketika mendapat kekehan dari Ibu. Bukannya menjawab, Ibu malah mengurai senyum jahil padaku.
"Ibu, ih! Tanya beneran juga," decakku sebal. Ibuk hanya terbahak menyambut kekesalanku.
"Maunya Mas Arvin di sini saja, ya? Sayangnya, Cah Ganteng sudah pulang. Katanya, nanti malam atau besok pagi ke sini bareng Bunda," jelas Ibu padaku yang masih diselingi dengan sebongkah senyum yang penuh makna.
"Apa, sih, Ibu? Ya, sudah. Aku makan saja kalau gitu. Kalau diturutin, bisa-bisa omongan Ibu makin ngawur," pungkasku kemudian.
Aku segera mengambil seporsi makanan yang sudah Ibu siapkan. Aku menyantapnya dengan santai. Bahkan, seola-olah tidak minat. Rasa pahit masih mendominasi tenggorokan ketika sesuap nasi masuk ke dalam mulutku.
"Sudah, ya, Bu. Pahit," ucapku lirih. Jika dipaksa, rasa mual bisa saja mengambil alih.
"Sedikit lagi! Tiga atau lima suap lagi, deh. Sini, Ibu suapin!" perintah Ibu. Aku pun segera menolak. Kalau Ibu yang menyuapi, paksaan demi paksaan tidak akan berhenti. Alhasil, isi perut mungkin bisa langsung keluar tanpa permisi.
Setelah berhasil menelan lima suap lagi, aku bermaksud menyudahi urusan makan. Ibu lantas hanya diam tidak memaksa lagi. Setelah itu, aku segera melahap beberapa butir pil yang sudah tersaji di piring kecil di dekat satu gelas air.
"Obatnya nggak usah dihabisin saja, ya, Bu?" rengekku pada Ibu. Aku memang sangat anti dengan obat-obatan semacam itu. Kalau boleh, aku lebih memilih meminum jamu dibandingkan dengan menelan obat yang terkadang bisa menyangkut di kerongkongan.
"Nggak boleh. Harus dihabisin semua. Biar proses penyembuhannya tuntas. Apalagi, ada antibiotik juga, jadi harus habis total," kata Ibu menceramahiku. Aku hanya menanggapinya dengan diam saja.
Sewaktu masih kecil dulu, aku selalu berpikir licik. Obat yang seharusnya kutelan, kulempar ke kotak sampah terdekat. Ibu awalnya tidak tahu, lama-lama ia curiga. Maka dari itu, setelah ketahuan aksiku itu, Ibu selalu mengawasiku ketika menyantap aneka ragam obat yang sudah diresepkan oleh sang dokter.
"Bu, mau pindah ke ruang keluarga, boleh? Bosen di sini terus," gumamku pelan. Aku tidak yakin Ibu memperbolehkan. Sebab, tidak ada kasur tebal, hanya ada kasur lipat yang agak tipis yang bisa-bisa aku masuk angin jika memaksa berbaring di sana.
"Ya, nanti Ibu siapin tempatnya," jawab Ibu seraya bangkit, keluar dari kamarku. Aku juga lantas beranjak, beberes diri dan menunaikan rutinitas wajibku sejenak.
Setelah semua kegiatan di kamar selesai, aku segera meluncur ke ruang keluarga. Di sana, ada kasur bulu yang terlihat baru yang sudah tergeletak rapi di depan televisi.
"Baru, ya, Bu?" tanyaku penasaran.
"Kebetulan anaknya Bude Karti, tetangga sebelah rumah, jualan perlengkapan rumah tangga secara online. Waktu itu Ibu nggak sengaja melihat di status whatsapp, jadi Ibu iseng tanya. Ternyata, masih ada satu di rumahnya. Ya, langsung Ibu angkut saja," sahut Ibu santai. Aku terharu. Ibu diam-diam penuh kejutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomantizmShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...