27. Tak Terduga

19 7 0
                                    

Ada satu hal tak terduga yang tanpa sengaja merusak logika, yaitu salah satu penyambut tamu di ujung sana. Sosok wanita yang begitu kuhapal dengan hanya sekali pandang saja. Dialah Mbak Farah. Pemeran figuran dalam kisahku dengan Mas Akhdan. Ah, atau jangan-jangan wanita itulah pemeran utamanya, yang sampai detik ini, aku masih belum menyadarinya. 

Seperti biasanya, Mbak Farah selalu menyambutku dengan senyum ramahnya. Aku pun membalas dengan senyum yang tak kalah semringah. Meski dalam hati, ada secuil resah yang sedang mati-matian kutahan. 

"Jauh, ya, Fir? Pasti capek. Masuk, yuk!" ajak Mbak Farah padaku sambil menunjuk tempat duduk yang masih kosong. 

Rasa lelah fisik dalam perjalanan selama empat jam belum seberapa. Toh, tadi sudah berhenti sejenak saat waktu duhur tiba. Namun, ada rasa lelah yang lain. Yakni, rasa capekku menebak simpul rahasia yang terjadi antara Mas Akhdan dan Mbak Farah. Sungguh, itu lebih melelahkan. 

"Sarah itu sepupuku. Dia anakknya Bulek, adik bungsunya Ibu, Fir. Makanya, aku ada di sini," jelas Mbak Farah menggebu. Aku pun hanya tersenyum masam. Sebenarnya, bukan penjelasan semacam ini yang kutunggu, tetapi perihal pesan-pesan ambigu yang wanita ini kirimkan ke Mas Akhdan yang beberapa waktu lalu begitu mengganggu. 

"Sini, Say!" teriak Anjani yang sudah duduk manis di dekat pintu. Aku menoleh sejenak ke belakangku. Ternyata, Mas Akhdan masih setia berdiri tegak di belakangku. Kukira, ia sudah diserobot oleh seseorang yang selama ini merusak mood baikku. 

"Ya, sudah. Kita duduk di sana saja, ya!" ajak Mas Akhdan sambil mengembangkan senyuman. Lelaki ini mungkin paham gelisahku. Maka dari itu, ia menyuguhkan senyum andalan, sekadar untuk membuat pikiranku tenang. 

Aku pun langsung berjalan menuju ke arah Anjani. Ternyata, ada Mas Arvin yang sedang duduk di sebelahnya, menekuri ponsel di tangan sampai tidak menyadari kedatanganku dan Mas Akhdan di dekatnya. 

"Kirain mau berangkat bareng, Say," ucapku pada Anjani yang membuat wanita itu sedikit terperangah. Terang saja, aku sebenarnya sudah mengerti alasannya. Basa-basiku kali ini sungguh tidak masuk akal baginya.

Aku menyapa Mas Arvin sejenak dan ia balas dengan senyum singkat saja. Lalu, pandangan lelaki itu beralih pada Mas Akhdan yang baru saja duduk di sampingnya. 

"Reuni apa namanya ini, ya?" ucap Mas Arvin penuh makna. Kata-kata spontan dari lelaki itu membuatku berpikir dengan keras. 

"Maksudnya, Mas?" tanyaku untuk mengobati rasa penasaran. 

Mas Arvin dan Mas Akhdan hanya tertawa menanggapi pertanyaanku yang mungkin aneh didengar oleh telinga mereka. Kedua lelaki itu kompak bungkam, tak ada yang bersedia memberikan jawaban. 

"Abaikan saja, Say! Dua lelaki itu kadang memang nggak jelas," kata Anjani mendamaikan. Aku pun memilih diam, meski kecamuk dalam hati tak terkendalikan. 

Setelah bersantai sejenak, acara inti pun dimulai. Agak jauh dari tempatku duduk, Naufal tampak begitu gagah menunjukkan kesungguhan hatinya. Sarah pun tampak begitu anggun dengan busana yang dipilih wanitu itu ketika di LMode beberapa hari yang lalu.

Dari sudut pandangku, Naufal dan Sarah tampak serasi. Melihat binar suka cita dari keduanya, aku ikut merasakan bahagia. Tak ada lagi sakit hati yang mengisi, hanya doa terbaik untuk dua insan yang sedang kasmaran itu saja yang meliputi. 

Sambutan dan acara tukar cincin sudah berlalu sejak beberapa menit yang lalu. Aku dan Anjani masih terdiam sambil mengeratkan genggaman. Tangis haru tak tertahan. Ada isakan pelan yang tak sengaja kudengar. Kulirik wanita yang duduk di sebelahku, sumber tangis itu ternyata ada di situ. 

"Ini hanya air mata haru, Say," ucap Anjani serak setelah aku bersitatap dengan mata sembapnya. 

Apakah luka itu masih ada? bisikku dalam hati.

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang