33. Saat Petang

23 8 4
                                    

Saat petang sudah menyapa bumi seperti sekarang, rasa sesak yang melesak tak bisa dicegah. Tak hanya langitnya saja yang pekat, hatiku pun tak jauh beda. Gelap. Bagai tak berpenghuni selama satu abad. Sungguh aneh. Padahal, umurku saja belum genap setengahnya. 

Sepulang Mas Akhdan dan Mbak Farah menjelang magrib tadi, aku langsung masuk ke kamar. Selain hari sudah petang, ada gundah yang coba kutahan. Aku tidak mungkin berakhir dengan selalu terjebak di antara dua manusia itu. Aku berhak lebih bahagia meski tanpa lelaki itu. 

Sekarang, jarum jam sudah hampir bertengger di angka tujuh. Saatnya makan malam pun tiba. Aku segera melangkah ke luar kamar untuk mencari Ibu, menanyakan perihal obat yang akan kusantap malam ini. 

"Masih sepi," gumamku pelan. 

Aku lantas menuju ke ruang keluarga, mengambil ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja dekat televisi. Setelah kupandang sekilas, ada beberapa notifikasi tertera. Salah satunya dari Mas Akhdan yang mengabarkan kalau ia sudah sampai di rumah. Aku hanya membalas dengan emoji jempol saja. 

Kugulir kembali ponsel yang sedang kugenggam. Telepon genggamku ini hampir saja meluncur bebas ketika kubaca salah satu pesan yang kuterima dari Anjani. Wanita itu mengabarkan bahwa ia akan bertolak ke sini selepas Isya nanti. Kulirik sejenak kolom waktu di ponsel. 

"Berarti sebentar lagi," ucapku lirih. Aku langsung bergegas ke kamar. Merapikan diri sekalian laporan wajib dulu sebelum Anjani datang. 

Lima belas menit berselang, suara kasak-kusuk terdengar dari luar kamar. 

"Itu Anjani atau Bapak dan Ibu, ya?" tanyaku pada diri. Aku tidak yakin. Sebab, suaranya terbilang samar. 

"AsalamualaikumSay."

Suara ketukan pintu dan salam dengan nada melengking menggelitik indra dengarku. Kalau yang ini, aku paham dengan baik siapa pemiliknya. Aku tersenyum lebar meningkahi aksi salah satu sahabatku ini. 

"Waalaikumussalam," jawabku sembari membuka pintu kamar. 

"Bisa nggak, sih, kalau nggak seheboh ini?" lanjutku lagi. Anjani hanya terbahak-bahak menanggapi pertanyaanku. 

"Sudah bisa marah-marah. Itu artinya sohibku ini sudah sembuh, ya," timpal Anjani yang membuatku mendengus kesal. Namun, aku malas membalas dengan ucapan, bisa-bisa ceritanya lebih panjang. 

"Masuk, yuk!" ajakku pada Anjani. Biasanya, wanita ini langsung masuk ke kamar tanpa kusuruh. 

"Jangan, dong! Aku ke sini nggak sendiri, Say. Di luar saja, ya? Masih kuat, kan?" jelas Anjani sambil menarik lenganku. Aku hanya memukul pelan lengannya.

"Sakitku nggak separah itu, hey! Sampai aku harus berbaring terus di ranjang," geramku sambil berjalan ke ruang tamu. Anjani hanya tertawa setelahnya. 

"Asalamualaikum. Wah, ternyata rame," ucapku seraya menyapa orang-orang yang sedang duduk manis di ruang tamu. 

Setelah menjawab salam dariku, mereka lantas menanyakan keadaanku saat ini, yang kujawab bahwa aku sudah baik-baik saja, hanya butuh istirahat sejenak. Yang berada di sini tidak begitu ramai, aku saja tadi yang berlebihan. Aku hanya bingung untuk membuka percakapan. Di sini hanya ada Naufal, Sarah, dan Mas Arvin. Tentu saja, selain Bapak dan Ibu. 

"Sudah pada makan malam? Ayo makan bareng saja!" ajak Ibu kemudian. 

"Nggak usah malu-malu. Kayak di rumah siapa saja," sahut Bapak, lalu langsung beranjak ke ruang makan menyusul Ibu. 

"Di rumah calon mertua, ya, Pak?" seru Anjani lantang yang membuat Bapak yang sudah setengah jalan langsung tergelak. 

"Kok, calon mertua, Mbak Jan?" tanya Sarah dengan polos. 

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang