21. Uji Nyala

19 7 5
                                    

Sudah hampir setengah hari di toko, aku masih terbengong sendiri di sudut ruang kamar. Di lantai atas ini, biasanya aku berperang dengan tugas-tugas. Namun, kali ini berbeda. Aura malas yang sudah kubuang jauh-jauh, tiba-tiba kambuh. Rasanya, aku hanya ingin bersantai seharian, sekadar menikmati cemas yang secara tak sadar menikam. 

Dalam renungku, ucapan Mas Akhdan kembali terngiang. 

"Kita perbaiki, ya, Dek?"

Kita? Apa tidak salah? Sejak kapan kesalahan yang diperbuat sendirian harus melibatkan orang lain untuk memperbaiki bersama. Memangnya dia siapa berani-beraninya memerintah sedemikian rupa?

Aku kesal sendiri setiap memikirkannya. Sampai detik ini pun, aku masih belum menemukan alasan yang tepat untuk memberi lelaki itu kesempatan, sekadar untuk memulihkan keadaan. 

"Nge-mall, yuk, Fir!" ajak Mbak Anggi sesaat setelah menghampiriku. Aku heran, tumben ibu muda satu ini berinisiatif untuk menjelajahi tempat yang katanya terlalu bising itu. Biasanya, dirayu dengan jurus apa saja, ia tidak terlena. 

"Biar kamu nggak suntuk. Sudah hampir sebulan kamu kerja kayak orang gila, loh. Banyak pikiran wajar, tapi kudu tetap perhatian sama kesehatan diri. Nggak kasian sama badanmu yang makin kering kerontang itu?" lanjut Mbak Anggi sambil menyembulkan tawa. Kata-kata wanita yang sedang berdiri di samping tempat dudukku ini begitu menyentakku. 

Aku sepenuhnya sadar bahwa aku telah zalim pada diriku sendiri. Berlaku keras terhadap diri sungguh bukan tipeku. Namun, aku harus membunuh rasa sesak yang menyergap dadaku. Berhari-hari ini aku mencoba biasa saja. Menjalani rutinitas dengan semangat yang sama. Akan tetapi, bayangan tentang pertengkaran dengan Mas Akhdan beberapa waktu lalu sangat mengganggu. 

"Nggak minat, Mbak. Ajak Mas Ardi sana! Sekalian mengakrabkan diri dengan calon, kan?" timpalku dengan malas.

Mbak Anggi berdecak kesal. Entah mengapa, aku tidak berminat ke luar, hanya ingin berdiam diri di toko saja. Menapaki sudut sunyi dan mengheningkan cipta boleh juga, jika memang itu patut dicoba. 

"Ayolah! Temani Mbak mencari kado ulang tahun Si Kecil. Meskipun nggak dirayain, Mbak ingin memberikan hadiah istimewa untuknya tahun ini. Tahun pertama bertambah usia tanpa ada sosok bapak di sampingnya mungkin nggak mudah. Dulu, biasanya kami menghabiskan waktu bertiga. Menuruti semua keinginannya. Walaupun ujung-ujungnya waktu itu dihabiskan untuk membuat kue bareng, tapi itu sudah membahagiakan," ucap Mbak Anggi sendu. 

Aku makin tak enak hati untuk menolak. Wanita ini memang selalu mempunyai formula jitu untuk membuat orang lain mengikuti kemauannya.

Jangan-jangan Mbak Anggi memakai pelet? Duh ... hati resah membuat pikiranku kian tak terarah. 

"Selepas Duhur sekalian, ya, Mbak. Biar lebih tenang. Nggak kepikiran kewajiban," timpalku setelahnya. Mbak Anggi pun mengangguk setuju. Kini, binar matanya tercetak sempurna, seperti habis memenangkan undian berhadiah saja. 

"Fir, Mbak boleh cerita sesuatu, nggak?" tanya Mbak Anggi padaku. Aku tidak bisa menebak dengan pasti arah pembicaraannya akan ke mana. Yang jelas, jika suara Mbak Anggi sudah terdengar sendu seperti ini, pembahasannya akan dalam. 

"Boleh, Mbak. Dengan senang hati," jawabku dengan tenang. 

"Dulu, sebelum menikah, banyak sekali ujian yang datang disaat pilihan hati Mbak sudah mantap. Ada saja rintangan yang mencoba menghancurkan niat baik itu. Dengan kekuatan penuh, permasalahan pra nikah dapat teratasi."

Mbak Anggi menghela napas sejenak. Aku masih diam menyimak. 

"Ternyata, ujian yang lebih besar terjadi malah pasca nikah itu, Fir. Tentu saja, hal tersebut tidak ada antisipasi terlebih dahulu. Itulah sebabnya, Mbak nggak siap dan memicu pertahanan hati Mbak goyah. Maka dari itu, sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius, sebaiknya dibicarakan baik-baik jika ada masalah yang menimpa, tentang apa pun itu."

Aku mulai mengerti arah perkataan Mbak Anggi. Inilah buruknya aku, selalu menyimpan masalah seorang diri, selalu menghindar jika dirasa tak mampu melalui. 

"Untuk segala hal yang terjadi, harus dibicarakan dengan tenang, Fir. Bahkan, masalah kecil sekali pun. Misalnya, adanya keterbukaan antar pasangan menyoal kondisi keluarga dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Sebab, hal semacam itu juga termasuk hal penting. Ingat, ya, Fir! Pasanganmu tidak sedang uji nyali. Jangan sampai, seseorang itu mengalami shock berat karena mendapati keadaan yang tidak sesuai dengan harapan. Penyesalan datangnya selalu belakangan, kan?"

Aku masih mencerna dengan baik kalimat petuah dari Mbak Anggi. Uji nyali? Ya, bisa jadi karena sebelumnya ada karakter anggota keluarga yang ditutupi agar bisa diterima oleh pasangan dengan baik, malah terbongkar ketika sudah menikah. Bisa mengerikan jika ternyata penerimaan terhadap diri tidak mendapat sambutan hangat tanpa disadari. Itu kerap terjadi karena buruknya komunikasi.

Ih, horor. 

Aku bergidik ngeri.

"Seperti misalnya kamu itu, Fir, harus jujur gimana tabiat keluargamu sama pasanganmu. Terutama Pak Kamil, usilnya kan nggak main-main," celetuk Mbak Anggi dengan kesal. Aku pun terbahak. 

"Masih kepikiran mau dijadikan 'Ratu' kedua di keluarga Kamil, ya, Mbak?" ledekku yang dihadiahi sentilan di jidatku. Sakitnya bukan main.

Dasar, Mbak Anggi!

Sayup suara azan sudah terdengar. Mbak Anggi segera meninggalkanku sendirian. Wanita itu beranjak menuju musala kecil yang berada di dekat dapur. Aku lantas menyusul. 

Setelah menunaikan ibadah wajib, aku dan Mbak Anggi segera bersiap untuk menghabiskan waktu di luar. Dua karyawan sudah diizinkan pulang terlebih dahulu, karena toko memang akan tutup lebih awal. 

"Naik taksi online saja, ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Anggi. Wanita di sampingku ini malah mengabaikanku dan sibuk sendiri dengan ponsel di tangan. 

Selang sepuluh menit, deru kendaraan roda empat semakin dekat. 

"Tuh, jemputan datang!" seru Mbak Anggi kemudian. Aku pun menoleh ke arah yang ditunjuk Mbak Anggi tadi. Aku sontak terkejut melihat seseorang yang tidak ingin kutemui ini berdiri gagah di hadapanku. Jujur, aku masih malas menatap lelaki ini lama-lama. Aku khawatir jika niat untuk mundur yang sudah tersusun bisa-bisa luntur. 

Mataku sudah sedikit berair. Aku kangen. Namun, rasa kecewa membuatku mati-matian berusaha meredam dengan keras rindu yang membumbung, agar aku tidak langsung menghambur ke sisinya ketika perjumpaan seperti ini berada dalam pandang mata. 

"Apa kabar, Dek?"

Sempat-sempatnya lelaki ini menanyakan kabar setelah setitik luka berhasil ia ciptakan. Tidakkah ia sadar? Harapan untuk memperbaiki ikatan masih mengambang? 

Ah, aku benci Mbak Anggi.

Setelah, berhari-hari aku menguatkan diri untuk tidak menemuinya, Mbak Anggi malah membuka gerbang pertemuan lebar-lebar. Padahal, beberapa kali lelaki ini mencoba menemui di toko, aku selalu menolak. Buket bunga, makanan kesukaan, atau buku-buku favorit yang sengaja dikirimkan lelaki itu tidak mampu meluluhkan. Rasa percaya yang sudah susah payah kubangun telanjur menguap. Maka dari itu, tidak akan mudah bagiku untuk menerima kembali kehadiran orang itu. Aku butuh waktu. 

Mbak Anggi menepuk pundakku pelan seraya berkata, "Setiap masalah pasti ada jalan keluar, dan menghindar bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan. Kalau ada kesalahpahaman juga butuh diluruskan, kan? Yuk, berangkat! Mbak siap menjadi wasit kalau ada kericuhan."

Aku memelotot ke arah Mbak Anggi. Aku sungguh sebal. Mas Akhdan, lelaki yang berdiri tidak jauh dariku, hanya tersenyum tipis. Ada perasaan lega yang terpancar di sudut matanya ketika aku melangkahkan kaki perlahan, mengekor di belakang Mbak Anggi. 

Setelah ini apa lagi? Rasanya sudah cukup serangkaian uji nyalinya. Aku ingin menyerah saja. 

______________
To be continued.

Selamat membaca. 🌹

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang