28. Pesisir Pantai

24 8 0
                                    

Hamparan laut menyapa pandang mata begitu aku menapakkan kaki di pesisir pantai. Pemandangannya mungkin tak seindah aneka ragam pantai yang pernah kukunjungi. Namun, untuk seseorang yang hatinya sedang tidak baik-baik saja, birunya air yang terhampar mampu menjernihkan pikiran. 

"Say, aku di saung sebelah ujung sana, ya? Mau menepi sejenak. Kalau mau mengeksplor sekeliling, boleh juga. Minta temani Mas Arvin saja, ya!" ucap Anjani dengan nada sedikit lemas. Gadis itu langsung pergi meninggalkanku seorang diri. Aku pun hanya mengangguk saja. Mungkin saja, ia benar-benar butuh waktu untuk sendiri. 

Apa Anjani sedang patah hati? bisik hatiku seketika. Aku tidak sedang berasumsi gila. Sebab, jika menilik kisah masa lampau, hatinya memang sudah tertancap begitu dalam pada Naufal. 

"Say, aku baru saja jadian. Coba tebak! Sama siapa? Naufal, Say. Aku nggak nyangka kalau cintaku berbalas. Nggak sia-sia penantianku selama ini."

Itu kalimat Anjani kala itu. Bahagia yang gadis itu serukan sekaligus menjadi luka yang berhasil menyabikku sangat dalam. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, terjebak dalam kerumitan cinta dengan sahabat sendiri. Salahku sendiri yang tidak cukup terbuka dalam membagikan kisah cintaku. Aku salah langkah. Namun, kali ini, aku dan Anjani sama-sama kalah. Naufal tetap memilih bahagianya sendiri, tidak denganku atau pun Anjani. 

Sepertinya, sudah cukup bagiku untuk menggali kembali luka masa lalu. Saatnya kini berproses merajut cerita baru yang lebih bermakna. 

Bermakna bagaimana, sih? Baru saja mulai membuka hati, perjuangannya seolah dipaksa untuk berhenti, seru hatiku menyuarakan kegamangan. 

Aku berjalan agak menjauh dari posisi Anjani berada. Saat ini, aku juga butuh sendiri setelah kejadian memuakkan yang terjadi di kediaman Sarah tadi. Pesisir pantai menjadi tempat terbaik untuk mendaratkan diri kali ini, untuk sekadar menenggelamkan diri dari problematika yang akan dihadapi nanti. 

"Butuh teman cerita atau pengin sendiri?" tanya Mas Arvin yang tiba-tiba sudah duduk manis di sampingku. Aku hanya merespons dengan senyum simpul. 

"Di sini saja nggak apa-apa, Mas. Lagian, ini tempat umum," timpalku kemudian. Aku bisa saja mengusir lelaki ini, tetapi hati kecilku berteriak ingin ditemani. 

Suasana kembali hening. Tanganku hanya sesekali memainkan pasir pantai, lalu kubentuk menjadi gumpalan-gumpalan abstrak tanpa makna. 

"Kalau ada yang ingin disuarakan, lepaskan saja, Ra! Tidak baik memendam masalah sendirian. Sebenarnya, Mas ingin menyuruhmu berteriak di bibir pantai, seperti adegan film yang pernah kamu tonton, tapi itu nggak mungkin. Nanti dikira sedang patah hati," ujar Mas Arvin yang membuatku tergelak. 

Adegan yang dimaksud adalah salah satu scence pada film romansa anak muda yang begitu kugemari dulu. Aku dan Anjani sering menonton bersama. Maka dari itu, Mas Arvin begitu paham mengenai hal itu. Sebab, lelaki ini juga sering ikut menonton, meski ujung-ujungnya berkomentar tak sedap di akhir cerita. 

"Kisah cinta di kehidupan nyata tidak sama dengan adegan di film. Nggak usah terlalu mendramatisir. Nanti, kalau sudah waktunya, kalian berdua akan merasakan sendiri tantangan hidup sesungguhnya. Setiap orang, tuh, beda-beda ceritanya. Cara menghadapi masalah pun nggak bisa dipukul rata."

Kalau dulu, aku dan Anjani langsung marah-marah mendengar respons tidak mengenakkan dari Mas Arvin tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, aku baru mengerti bahwa ritme hidup setiap orang memang tak sama, cara menyikapi permasalahan yang dihadapi pun juga tak seirama. 

Aku lantas memandang sengit ke arah Mas Arvin. Lelaki ini terkadang sungguh menyebalkan.

"Mas Arvin, ih. Aku nggak lagi patah hati. Gimana, ya, bilangnya? Patah hati bukan, tapi sesaknya, kok, kebangetan," ucapku perlahan. Mas Arvin pun terbahak-bahak. Puas banget lelaki ini menertawaiku yang sedang kesakitan. 

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang