17. Terapi Cinta

25 10 0
                                    

Pagi ini, aku dikejutkan dengan bunyi ponsel yang tidak berhenti berdering. Sungguh, suara itu benar-benar mampu membuatku bangkit dari lelap. Mataku masih menyipit menahan kantuk. Akan tetapi, secara tidak sadar, aku dipaksa untuk duduk. Padahal, aku baru bisa terlelap pada pukul 2 dini hari setelah berkutat pada perombakan naskah yang tak kunjung sudah.

Kurasa, baru kemarin pagi aku bisa duduk santai di rumah. Malamnya, telepon dari sang editor membuat kepalaku pusing bukan main. Masak iya, naskah yang berjumlah 253 halaman harus dikerucutkan menjadi 215 halaman saja. Padahal, isinya sudah sangat padat. Aku sampai bingung, bagian mana yang harus dipangkas. Alhasil, aku sampai lembur tadi malam untuk menyingkirkan hampir lima puluh halaman yang tidak berguna tersebut.

Kini, tidur yang belum genap dua jam harus terus terusik dengan nada panggilan yang tiada henti. Biasanya, menjelang tidur, aku tak pernah lupa mematikan ponsel. Namun, tidak untuk tadi malam. Rasa kantukku lebih dominan. Sehingga, ponsel pun kutaruh sembarangan tanpa lebih dulu dimatikan.

"Siapa, sih?" gerutuku jengkel, sambil meraih ponsel yang berada di atas nakas. Jika tidak diangkat, takutnya berita penting lagi dari sang editor yang beberapa waktu lalu berhasil meneror kedamaian hatiku.

"Mbak Anggi? Tumben. Ada apa, sih?" gumamku pelan seraya mengangkat telepon itu.

"Asalamualaikum, Mbak. Ada apa?" tanyaku dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.

"Waalaikumussalam. Ya Allah, baru bangun, Fir? Biasanya jam segini sudah sibuk senam jari. Ganggu, ya?" ucap Mbak Anggi sambil menyelipkan kekehan karena tidak sengaja mengganggu tidurku.

"Ganggu banget, Mbak. Baru juga tidur dua jam," seruku sebal.

Di seberang sana, Mbak Anggi tertawa sendiri.

"Maaf, deh," ucap Mbak Anggi. "Nanti ke toko, ya!" lanjutnya lagi.

"Nggak janji, deh, Mbak. Kalau nggak oleng," jawabku asal.

"Fira! Dasar bocah. Tokonya beneran tak jual kali ini. Mulai belajar mengelola toko sendiri, deh, Fir. Jangan mengandalkan Mbak terus. Nggak selamanya Mbak bisa jagain toko kamu itu," perintah Mbak Anggi dengan penuh ancaman.

Mbak cantik satu itu memang sudah sering banget mengancam akan menjual toko kalau aku jarang muncul. Katanya, hasilnya lumayan bisa buat modal pribadi. Apalagi, yang memegang kendali toko selama ini adalah wanita tangguh itu. Aku terima bersihnya saja. Namun, aku percaya ucapan Mbak Anggi tentang itu tidak pernah serius. Sejauh aku mengenalnya, dia adalah orang yang paling jujur. Maka dari itu, aku dengan penuh keyakinan menyerahkan masalah pengelolaan toko padanya.

"Mbak nggak serius, kan?" tanyaku pada Mbak Anggi yang ditimpali dengan tawa kerasnya.

"Mbak Anggi nggak serius, kan, mau menjalin hubungan dengan Mas Ardi, terus menikah lagi, lalu meninggalkan toko gitu aja," lanjutku lagi.

"Semprul!"

Jawaban Mbak Anggi sukses membuatku terbahak-bahak. Aku berhasil mengakhiri panggilan telepon dari Mbak Anggi tanpa drama panjang seperti yang biasanya wanita itu lakukan. Namun, kantukku sudah menghilang. Terpaksa, aku harus bergegas bangun dan membersihkan diri serta dilanjut dengan bermunajat pada Sang Ilahi.

***


Tepat pukul 8, aku sudah sampai di toko. Aku lantas beranjak ke kamar yang berada di  lantai dua. Biasanya aku menepi sebentar di sini, sebelum sibuk dengan kegiatan toko. Sebelumnya, aku menyapa Mbak Anggi dan dua karyawan yang sedang merapikan toko.

Sesampainya di kamar, yang sekaligus menjadi ruang kerjaku jika sedang berada di toko, aku mengambil ponselku. Lalu, kukirim pesan pada Mas Akhdan, memberinya kabar bahwa aku sedang berada di toko dan bisa makan siang bersama seperti permintaannya tadi pagi.

Setengah jam berselang, aku turun menuju dapur mini yang berada di lantai bawah.

Tea time! seruku dalam hati.

"Ada yang mau dibuatin yang anget-anget, nggak, nih?" tawarku pada mereka yang sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing.

"Teh, ya, Fir!" perintah Mbak Anggi. "Santi dan Vina mau apa?" lanjut Mbak Anggi menawarkan pada dua karyawan toko itu.

"Samain saja, Mbak!" sahut Santi dan Vina malu-malu.

Aku terkadang lupa dengan Santi dan Vina ini. Bahkan, aku sering tertukar memanggil nama kedua orang itu. Aku memang susah menghapal nama-nama orang. Sehingga, aksi salah sebut nama semacam itu sudah biasa bagiku. Namun, kalau keliru menyebut nama 'dia' dalam doa-doa sepertinya tidak pernah. Ah, kalau pun salah, aku mau minta semoga Tuhan merevisi suratan takdir-Nya.

Duh, kamu halu, Fir! Memangnya siapa kamu sampai berani mendikte Tuhanmu? hatiku bergumam tidak jelas.

"Kenapa kamu, Fir? Tiba-tiba geleng-geleng dan senyum sendiri kayak gitu. Mau tak rekomendasikan pada Si Ardi, nggak, nih?" ledek Mbak Anggi.

"Sembarangan, Mbak! Aku nggak segila itu, ya, sampai harus ketemu Mas Ardi segala," timpalku dengan sedikit kesal.

"Enak saja merekomendasikan pada Mas Ardi. Aku belum butuh terapi apa pun. Jiwaku masih aman tentram," lanjutku lagi yang membuat Mbak Anggi terpingkal.

Aku baru tahu bahwa Mas Ardi ini adalah seorang psikiater yang menangani Mbak Anggi. Pantas saja Mbak Anggi semangat terapi. Selain jiwanya sembuh, cinta juga bisa direngkuh. Namanya berarti berubah menjadi terapi cinta. Ah, aku geli sendiri memikirkannya.

"Bisa terapi cinta gitu, enak, ya, Mbak?"

Mbak Anggi hanya memelotot ke arahku. Aku puas karena bisa mengusili balik wanita itu. Saat ini, rona merah tidak bisa disembunyikan dari pipi Mbak Anggi.

Duh, jangan-jangan memang ada 'something' antara Mbak Anggi dan Mas Ardi.

"Kerja! Kerja! Kerja!" teriak Mbak Anggi dengan raut jengkel yang dibuat-buat. Aku tahu bahwa Mbak Anggi kali ini sedang menahan malu. Santi dan Vina yang menyaksikan kehebohan kami berdua hanya tersenyum penuh arti. 

Pada jam dinding yang menggantung, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan tepat. Setelah teh yang diminum tandas, kami pun mulai melanjutkan aktivitas. 

Sebenarnya, aku bingung dengan alasan Mbak Anggi menyuruhku ke toko hari ini. Pasalnya, tidak ada kerjaan yang berarti yang harus melibatkan banyak orang untuk melakukannya.

"Mbak Anggi, aku kudu ngapain ini?" tanyaku mengutarakan kebingungan.

"Duduk saja, Fir! Mengamati rutinitas di toko. Biar Mbak lebih semangat menggelembungkan isi ATM-mu itu," ujar Mbak Anggi santai sembari mencatat keuangan toko.

Aku berdecak kesal. Aku makin bingung. Lantas, aku mengambil handphone yang sengaja kutinggal di kamar atas tadi. Tak butuh waktu lama, aku sudah beranjak ke lantai bawah lagi.

Sesampainya di pijakan tangga terakhir, langkah santaiku seketika membeku. Aku membatu di tempat. Pasalnya, ada suara orang-orang yang begitu kukenal terdengar. Mereka tampak berjajar di kursi tunggu yang berada di dekat deretan dress wanita.

Naufal dan Anjani? Siapkah aku bertemu dengan mereka di tempat dan waktu yang bersamaan seperti saat ini?

Ah, aku sedikit kalut. Namun, jika tidak dihadapi, aku benar-benar akan diseret Mbak Anggi ke tempat praktik Mas Ardi. Terapi cinta? Membayangkan itu, aku kian geli.

Bismillah. Saatnya berdamai sepenuhnya dengan masa lalu, rapalku dalam hati.


_____________
To be continued.

Selamat membaca. 🌹

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang