29. Hilang Percaya

25 8 0
                                    

"Bu, kok, belum siap-siap?" tanyaku pada Ibuk yang masih berkutat dengan urusan dapur padahal sudah jam enam pagi. 

"Nggak berangkat. Bapak mau ada urusan," jawab Ibuk singkat. 

"Memangnya, mau ada urusan apa, Bu?" tanyaku lagi. 

"Tanya Bapak saja! Ibu nggak tahu. Katanya, urusan lelaki," timpal Ibu sedikit kesal. 

Aku segera meluncur ke depan, menemui Bapak yang sedang berbincang seru entah dengan siapa. Suaranya terdengar samar di telinga. 

"Loh? Kok, sepagi ini sudah di sini, Mas?" kataku penasaran. 

"Urusan lelaki. Kepo banget, sih, kamu," ucap Bapak yang terdengar menyebalkan bagiku. 

"Apa, sih? Aku, kan, nggak tanya sama Bapak," sungutku menimpali ucapan Bapak. Pak Kamil memang sering iseng seperti ini. Tidak hanya padaku saja, Mbak Anggi juga sudah menjadi salah satu korbannya. 

"Mau mancing, Ra. Semalam sudah janjian pas meminta izin pas antar kamu pulang telat," jelas Mas Arvin padaku. 

Ya, lelaki yang datang sepagi ini adalah Mas Arvin. Aku tidak paham kapan tepatnya, kedua lelaki ini akrab, selaiknya dengan teman lama saja. 

Tadi malam memang Mas Arvin menghubungi Bapak, meminta izin secara langsung bahwa kami pulang telat. Sesampainya di rumah pun, mereka tampak berbincang sejenak. Aku sungguh tidak mengetahui bahwa Mas Arvin dan Bapak sudah berencana memancing bersama. 

"Ya, sudah, deh. Lanjutkan!" ucapku sambil berlalu. Bapak dan Mas Arvin tampak tertawa kompak melihatku yang sedang kesal. 

Sebenarnya, aku tidak benar-benar marah atas sikap jahil Bapak. Aku hanya sedang menutupi keresahan hati memikirkan keakraban dua orang yang sedang sibuk dengan urusan memancing itu. Yakni, Bapak dan Mas Arvin. 

"Nggak ada udang di balik bakwan, kan?" gumamku pelan.

"Kalau udang di balik bakwan malah jadi Tahu Gimbal, dong. Makanan khas kota seberang, tempatku menimba ilmu dulu," lanjutku lagi dengan pikiran yang tidak karuan. 

Entahlah. Aku, kok, percaya diri banget. Memangnya, siapa aku? Tidak mungkin Mas Arvin mempunyai maksud lain selain benar-benar ingin menghabiskan waktu bersama Bapak. Lagipula, keluarga Mas Arvin dan keluargaku sudah akrab sejak dulu. Bahkan, sebelum aku lahir. 

"Hape-nya dari tadi bunyi, tuh," teriak Ibu setelah langkahku sudah cukup dekat di area dapur. Sebelum menemui Bapak dan Mas Arvin, aku memang meletakkan ponselku di meja makan di sebelah dapur bersih tadi. 

Saking penasaran, aku agak berlari menyambar ponsel kesayanganku itu. 

"Mas Akhdan," ucapku lirih. 

Ada sekitar lima panggilan tak terjawab terpampang di layar. Aku lantas beranjak ke kamar untuk menghubungi Mas Akhdan balik. Aku takut ada hal penting. Apalagi, setelah kejadian tak terduga kemarin, aku belum memberi kabar pada lelaki itu. 

Sudah dua kali aku menekan kontak Mas Akhdan, tetapi tidak ada tanda-tanda panggilan akan dijawab. Kalau satu kali lagi tetap tidak diangkat, kubiarkan dulu kali ini. Tunggu nanti siang saja, barangkali lelaki itu sedang sibuk.

Kuletakkan ponsel ke atas nakas. Aku segera beralih untuk melaksanakan aktivitas yang belum tuntas. 

"Berangkat dulu, ya, Bu. Baik-baik di rumah. Jangan kangen!" kata Bapak dengan lantang. 

Ucapan pamit Bapak pada Ibu membuatku geli sendiri. Aku mencebik mendengar kebucinan dua orang tua itu. Untung saja, aku berada di kamar. Sehingga, tidak melihat rona di pipi Ibu yang tercetak samar ketika Bapak sedang menggombal.

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang