18. Titik Nostalgia

23 10 0
                                    

Aku terpaku cukup lama, memandang lurus ke depan, memastikan netraku tak salah tangkap. Sesekali aku mengerjap. Ternyata, penglihatanku memang sudah tepat. Di ujung sana, yang sedang duduk manis di sofa tunggu adalah Anjani dan Naufal. 

Selama ini, aku tidak pernah membayangkan akan berada dalam satu ruangan yang sama dengan mereka.

"Ya Allah, Say! Cerobohnya kumat, deh," seru Anjani lumayan lantang. Sungguh, aku tidak ingin kejadian semacam ini menimpa. Di pijakan tangga terakhir, aku hampir terjatuh karena tidak fokus. Sehingga, pandangan orang-orang langsung tertuju padaku. Aku hanya tertawa singkat menanggapi tatapan aneh orang-orang di sekeliling. 

"Hai!" Hanya sapaan singkat itu yang berhasil keluar dari bibirku setelah menghampiri Anjani dan Naufal serta seorang wanita cantik yang belum kutahu namanya. Sedari tadi, aku sebenarnya enggan menyapa mereka. Namun, sudah kepalang basah. Aku tidak mungkin berputar arah.

Rasa canggung menyergap begitu aku berada di antara Anjani dan Naufal. Biar bagaimana pun, kami bertiga pernah terlibat pada kisah rumit yang sampai sekarang aku tak ingin menceritakannya. Ada setitik cerita yang masih mengganjal. Namun, ya, sudah. Aku tidak ingin terlalu lama berada pada titik nostalgia itu.

"Ada agenda apa, nih, datang ke sini rame-rame?" tanyaku melebur rasa canggung itu. Tentu saja, disertai dengan senyum yang mengembang dariku. 

"Ada rekomendasi Couple Set, nggak, Say? Yang modelnya simple, tapi masih pas untuk acara resmi," celetuk Anjani seketika. Beragam tanya tak henti menggema. Namun, aku mencoba untuk bersikap biasa saja. 

"Acara apa dulu, nih, Say? Kebetulan, ada banyak model baru yang datang kemarin," jawabku untuk mengobati rasa penasaran yang berkelebat tanpa bisa dicegah. 

"Tunangan, Say," jawab Anjani singkat.

Kualihkan pandanganku ke arah lain. Gemuruh di dada itu masih ada ketika mendengar secara langsung berita seperti ini. Antisipasiku kalah cepat. Aku tidak bisa menyembunyikan kegaduhan yang menguasai raga. 

"Alhamdulillah, selamat, ya, Say. Akhirnya, kalian meresmikan ikatan ini. Aku turut bahagia." 

Ucap syukur meluncur dari lisanku. Bahagia apanya? Sedangkan saat ini, hatiku masih mengaduh kesakitan. Seperti ada tangan yang secara sengaja mencubit. 

"Ngawur kamu, Say," ucap Anjani seraya memukul tanganku dengan pelan. Aku semakin kebingungan. "Bukan aku, tapi mereka, tuh," lanjut Anjani sambil menunjuk kedua insan yang sedang duduk berdampingan di sofa. Dari ekor mataku, Naufal tampak memandangiku dengan seringaian yang sulit kubaca maknanya. 

"Sampai lupa belum dikenalin, ya? Kalian, sih, udah heboh duluan setiap ketemu," ujar Naufal mencairkan suasana. 

"Kenalin, Fir! Sarah, masih calon. Dek, kenalan dulu sama Mbak Fira!" perintah Naufal pada kekasih hatinya.

Apa tadi katanya? Mbak? Wah, penghinaan berat ini namanya. Segitu tuanya diriku, ya? 

"Sarah, Mbak," ucap gadis itu sambil menjabat tanganku. Kupindai sekilas sosok yang sekarang berada dihadapanku ini, dia adalah tipe yang begitu disenangi kaum Adam. Pendiam dan pemalu. Ada juga sisi anggun yang makin menambah nilai dirinya. Tentu saja, hal seperti itu bisa dengan mudah memikat para pria. Wajar jika pada akhirnya pencarian Naufal berhenti pada gadis ini. 

Kulepas jabatan tangan itu sembari berkata, "Sudah tahu, kan, namaku? Salam kenal, ya, Sarah." Sarah pun mengangguk, masih dengan malu-malu.

"Oh, iya. Mau dress yang seperti apa, Sarah?" tanyaku pada gadis muda itu. Ia tampak berpikir. Lalu, kuarahkan untuk menemui Mbak Anggi agar ditunjukkan yang sesuai seleranya. Kalau denganku, mana aku paham? Rajin ke toko saja baru hari ini. Itu pun setelah menerima ultimatum dari Mbak Anggi. 

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang