10. Ujian Ikatan

31 10 0
                                    

Komunikasi itu sangat penting dalam sebuah hubungan. Jika salah langkah sedikit saja, ikatan yang sudah terbina dengan indah akan mudah goyah. Seperti yang hampir terjadi padaku beberapa hari yang lalu, berawal dari kesalahpahaman, berujung pada uring-uringan.

Namun, kedewasaan diri dari Mas Akhdan dalam menyikapi suatu permasalahan, membuatku mengerti bahwa lelaki seperti itu yang begitu kuinginkan.

Setelah diskusi panjang dari hati ke hati tempo hari, masalah kami selesai. Aku bahagia karena bisa belajar lebih banyak lagi.

"Loh, Fir? Kamu, kok, sudah di sini?"

Mbak Anggi terkejut melihatku pagi-pagi sekali sudah duduk manis di toko.

Pagi ini, hujan sedang mengguyur kota. Sehingga, sepagi ini aku sudah berada di LMode karena berangkat bareng Bapak semenjak selepas subuh tadi.

"Hujan deres banget, kan? Jadi aku nebeng Bapak tadi, Mbak," jawabku santai sambil sesekali melihat Mbak Anggi dari atas sampai bawah.

"Naik apa, Mbak? Tumben hujan gini baju Mbak nggak basah," selidikku spontan.

"Itu ... anu. Naik taksi online," timpal Mbak Anggi gelagapan.

Mataku memicing, mencoba menyelami kepastian. Namun, rasanya tidak etis menanyakan hal privasi pada Mbak Anggi. Sebenarnya, aku masih penasaran, tetapi kuabaikan. Aku hanya manggut-manggut menanggapi penjelasan Mbak Anggi yang terbilang mencurigakan.

"Besok ke toko, ya, Fir! Kerjaan bakal full."

Kata Mbak Anggi via telepon tadi malam, hari ini kerjaan lumayan padat. Maka dari itu, kuputuskan untuk menyambangi toko sekadar mengulurkan sedikit bantuan.

Setelah bersantai sejenak, aku dan Mbak Anggi bersiap untuk melakukan tugas kami. Tak lama dari itu, dua karyawan toko sudah datang. Mereka langsung melakukan tugasnya masing-masing setelah menyapa Mbak Anggi dan aku sebentar.

Waktu terus berjalan, tak terasa sudah pukul sembilan. Saatnya toko busana muslim LMode ini dibuka.

Aku melangkah ke gudang dengan santai, diikuti oleh Mbak Anggi yang berada tepat di belakangku. Di sini, kami akan berperang dengan tumpukan barang yang akan segera menemui tuannya.

"Packing time!" sorakku lantang.

Mbak Anggi yang berada di depanku hanya geleng-geleng saja. Aku mungkin sudah dianggap gila. Namun, tak apa. Asal Mbak Anggi bahagia.

"Faza sehat, Mbak?"

Faza ini anaknya Mbak Anggi. Umurnya sekitar 4 tahun. Setiap melihat anak itu, air mataku selalu saja menitik. Hatiku rasanya koyak menyaksikan anak sekecil itu harus melihat orangtuanya berpisah.

"Alhamdulillah sudah lebih baik, Fir. Biasa itu, kalau sedang kangen dengan bapaknya selalu seperti itu," jawab Mbak Anggi dengan santai seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, aku yakin gemuruh di dadanya sangat membara.

Aku tidak ingin melanjutkan membahas hal ini lagi. Aku takut luka lama Mbak Anggi terbuka kembali.

Suasana kembali hening.

"Kisah Mbak ini jadikan pelajaran, Fir. Sebelum menikah, harus saling terbuka. Soalnya, nggak mudah menyamakan persepsi dua kepala. Apalagi, ditambah beberapa kepala yang ikut menaunginya."

Mbak Anggi mengatakan itu dengan tatapan sendu, seperti ada irisan di hati yang masih perih. Namun, ia mencoba untuk segera pulih.

"Dalam sebuah rumah tangga pasti ada ujiannya. Setiap orang mengalami liku kehidupan yang tak sama. Maka dari itu, mental harus matang kalau mau menuju ke jenjang pernikahan."

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang