24. Perihal Sepasang

21 7 0
                                    

Semesta sedang berbaik hati padaku, tidak ada gelisah yang mengganggu. Hanya ada binar bahagia yang menyelimuti pagi ini. Hal menyenangkan seperti ini yang membuat semangat dalam diri membuncah tak terkendali.

"Astagfirullah. Ibu kaget. Kirain Si Mpus yang bikin kegaduhan di dapur sepagi ini," ujar Ibu dengan heboh begitu mengetahui anak gadisnya sudah berkutat di dapur pagi-pagi sekali. Bahkan, lebih dulu dari Ibu.

Aku hanya menoleh sejenak sambil tersenyum tipis merespons kekagetan Ibu.

Bukan Si Mpus, Bu. Ini anakmu yang sedang bahagia sekali. Serasa mendapatkan jackpot hari ini, bisikku dalam hati.

Si Mpus adalah kucing hitam penghuni rumah ini. Biasanya, kucing tersebut memang sering membuat kegaduhan pada waktu-waktu tertentu, terlebih padi pagi hari seperti sekarang ini.

Kali ini, pembuat onar itu bukan Si Mpus, melainkan aku. Semangat memasakku memang sedang baik pagi ini. Alasannya adalah karena seseorang yang dengan baik hati akan meluangkan waktu makan siang bersama hari ini. Maka dari itu, setelah menunaikan kewajiban menghadap Gusti Pangeran, aku menyegerakan diri mengolah makanan.

"Mau masak apa, to? Kok, kelihatannya banyak banget yang diolah? Sampai bahan makanan dikeluarin semua dari kulkas," tanya Ibu penuh selidik.

"Masak gurame asam manis sama capcay saja, kok, Bu. Paling ditambah tempe goreng," jawabku disertai dengan seulas senyum yang terus mengembang.

"Tumben rajin. Pasti ada sesuatu ini. Curiga Ibu," ledek Ibuk sembari memindai seisi dapur yang hampir tak beraturan. Banyak barang bertebaran yang merusak pemandangan. Aku pun hanya menanggapinya dengan cengiran.

"Ibu duduk saja sana! Nanti kalau sudah selesai, tak panggil, deh. Siap-siap sekalian juga boleh, Bu," seruku pada Ibu.

Wanita kesayanganku itu pun langsung mengiakan. Meski curiga dengan sikap anehku, Ibu tak lagi melanjutkan tanya. Wanita yang tetap cantik pada usia hampir setengah abad itu langsung melipir ke kamar.

"Tempat Naufal ada dress code gitu, ya, Dek? Kalau nggak, nanti siang Mas ke toko, ya? Kita pilih baju yang pas untuk dipakai ke acara itu."

Itulah sebaris kalimat penyemangat dari Mas Akhdan menjelang subuh tadi. Lelaki itu mengabari bahwa ia akan ke toko. Oleh sebab itu, aku memilih meramu makanan sepagi ini, untuk dibawa serta. Sehingga, aku dan Mas Akhdan dapat menikmati makanan yang kumasak dengan tenang, tanpa gangguan di sana.

Selepas bergelut dengan bumbu-bumbu selama hampir satu jam, seluruh menu sudah matang. Aku membaginya ke dalam beberapa wadah. Tepatnya ada tiga rantang besar. Satunya untuk Bapak dan Ibu. Lalu, yang dua rantang lainnya akan kubawa.

Setelah menyelesaikan urusan dapur, aku segera menuju ke kamar. Membersihkan badan yang rasanya sudah tidak karuan.

"Jadi bareng Bapak, Nduk?" teriak Ibu dari luar kamar.

"Nggih, Bu. Sebentar lagi selesai," jawabku dari dalam kamar sembari merapikan diri dan sesekali meneliti kembali barang bawaanku.

Selang sepuluh menit, semuanya sudah siap. Aku mengikuti Bapak dan Ibu dengan tergesa. Tiga rantang besar itu pun sudah diletakkan di jok paling belakang.

Deru kendaraan memecah sunyi pada subuh ini. Bapak mengemudi dengan santai, tak ada obrolan singkat seperti biasanya. Kami bertiga hanya diam dalam senyap.

Aku melangkah riang ketika memasuki toko sembari membawa dua rantang di tangan kanan dan kiriku, setelah Bapak menurunkanku di depan LMode. Kalau Mbak Anggi mengetahui tingkah menggelikan yang kutunjukkan ini, aku mungkin langsung diseret ke tempat praktik Mas Ardi.

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang