Sayup terdengar, suara bising kendaraan di jalan raya menggema, saling bersahutan. Dari balik jendela, kulihat hilir mudik para pengendara tiada henti. Lalu, kualihkan pandangan karena sudah tidak tertarik lagi dengan keadaan di luar.
Kulirik arloji di tangan kiriku sebentar. Ternyata, sudah lebih dari lima menit aku terdampar di sini. Di kedai makan yang bernama E.A.T Mie.
Namanya unik, pikirku kala pertama kali mendengar nama tersebut.
Menu di sini memang olahan segala macam mi. Dari mulai aneka mi goreng dan kuah, semuanya ada. Pilihan rasanya pun terbilang menarik, ada rasa ayam pedas, yang ayamnya dimasak ala-ala menu ayam siap saji yang menawarkan sensasi pedas itu. Bahkan, camilan dari mi pun tersedia di sini. Salah satunya adalah burger mie, yang bisa banget dijadikan menu andalan untuk makan siangku ketika tidak sempat membawa bekal.
E.A.T Mie ini memang lokasinya tidak jauh dari tokoku, hanya berjarak dua ruko saja. Maka dari itu, aku dan pegawai LMode sering memesan beragam menu di sini. Kebetulan, para pekerja di tokoku yang merekomendasikan tempat makan aneka mi tersebut. Katanya, ada tempat makan baru yang super enak, yang belum lama ini buka. Aku pun tertarik. Alhasil, sekali mencoba, aku langsung suka.
Seperti ada candunya saja tempat ini, ujarku dalam hati.
Kuamati sekali lagi jam tangan yang melingkar di tangan, lebih dari sepuluh menit berselang, tapi sosok yang kutunggu tak kunjung datang.
"Apa jam tanganku rusak?" gumamku untuk ke sekian kali.
Semenjak kejadian di kafe tempo hari, aku memang sengaja mengalihkan diri dengan menyelesaikan naskah yang harus rampung bulan ini. Padahal, bukan itu alasan sesungguhnya. Aku hanya sedang menghindari bertemu langsung dengan Mas Akhdan. Sebab, aku takut tidak bisa mengendalikan diri. Maka dari itu, setiap kali lelaki itu mengajak bertemu, aku selalu bilang, "Maaf, Mas. Nggak bisa. Deadline, nih."
Tepatnya, sudah kisaran dua minggu ini, aku memaksakan otakku untuk berpikir keras. Meskipun, hasilnya tidak cukup memuaskan, karena memang pikiranku masih tak kunjung normal.
Itulah tidak baiknya kalau menulis dalam keadaan stres, tidak bakal ada yang beres. Yang terjadi malah sebaliknya, kamar tercinta berubah fungsi laiknya ruang kosong yang tidak pernah dihuni. Barang-barang berserakan di mana-mana. Banyak kertas dan buku bertebaran. Beberapa bungkus makanan ringan pun tak luput dari jangkauan.
Sungguh, ketakutanku jika sewaktu-waktu ditinggalkan kerap membayang. Aku benar-benar tidak ingin kejadian yang lalu terulang.
Aku memang sepengecut itu, selalu tak punya keberanian untuk menghadapi kenyataan. Maka dari itu, hari ini kupaksakan diri untuk menyudahi pergulatan batinku dengan setumpuk keraguan yang tak kunjung padam.
"Maaf telat. Ada beberapa pekerjaan yang baru selesai ini tadi, Dek," ucap lelaki itu seolah sedang diburu waktu.
"Nggak apa-apa, Mas. Santai," jawabku sekenanya. Padahal, sedari tadi rasa bosanku seolah-olah sudah bercokol begitu hebatnya.
"Mau pesan apa, Mas?" tanyaku pada Mas Akhdan.
Lelaki itu tampak sedang serius menatap ponsel di tangannya. Entah urusan penting macam apa yang membuatnya tak lepas dari telepon pintar yang digenggamnya.
Kalau gini ceritanya, ngapain ngajak ketemu, sih? bisik hatiku dengan jengkel.
"Hah? Eh, samain saja, Dek."
Jawaban Mas Akhdan makin membuatku kesal. Namun, aku kembali diam, tak ingin memulai perdebatan.
"Kalau Mas memang sesibuk itu, kita take away saja, ya! Nggak enak kalau sampai ganggu pekerjaan," kataku masih dengan nada lembut.
Aku harus menahan diri agar tidak tersulut emosi. Tidak seperti biasanya, lelaki di depanku ini bersikap begini. Raut lelahnya memang terlihat dengan jelas, tetapi seperti bukan dia saja. Biasanya, kalau sedang bersama seperti sekarang, fokusnya tidak pernah berpusat pada hal lain.
"Eh jangan! Kita sudah lama nggak ketemu, loh, Dek," cegah lelaki itu sedikit memohon.
"Nggak enak rasanya kalau kita ngobrol dengan orang yang ada di depan mata, tapi pikirannya entah di mana, Mas," sindirku dengan nada santai.
Dari ekor mataku, aku bisa melihat rasa bersalah Mas Akhdan terpancar. Lalu, ia segera meletakkan ponsel berwarna hitam itu di meja, seraya berucap maaf berkali-kali.
"Akhir-akhir ini lagi sibuk banget, ya, Dek? Kayaknya susah banget mau ketemu kamu, tuh," ucap lelaki itu.
Apa aku harus bilang padanya bahwa aku cemburu melihatnya terlibat perbincangan dengan wanita lain, gitu?
Ah, aku segera menepis pemikiran ngawurku. Mas Akhdan pasti akan menertawakanku dengan senyum jahilnya yang menyebalkan itu.
"Gak kebalik, nih?" Aku balik bertanya. Padahal, sebenarnya, aku sedang menyembunyikan kemelut yang bergelayut di dada.
Mas Akhdan tergelak. Ia seakan-akan ingin mencoba untuk mengelak, tetapi tidak bisa. Aku merasa menang kali ini. Resah yang sedari tadi melingkupiku berhasil kututup dengan rapi.
Tak lama dari itu, pesanan pun datang, mi ayam teriyaki dan es teh manis. Aku sengaja tidak memesan mi rasa pedas yang menjadi andalan di E.A.T Mie ini. Aku tidak ingin membahayakan perut Mas Akhdan yang begitu anti dengan makanan pedas.
"Mari makan, Mas! Makan yang banyak, ya! Kerja keras juga butuh energi ekstra," ucapku seolah-olah tidak ada beban.
Mas Akhdan tertawa terbahak-bahak sambil menyahuti ucapanku.
"Harusnya kamu yang kudu banyak makan, Dek. Kurusan gitu. Lembur boleh, tapi jangan lupa makan. Jaga kesehatan itu penting," cerocos Mas Akhdan.
Mas Akhdan memang sedikit bawel ketika menunjukkan perhatian. Bahkan, aku yang perempuan saja terkadang tak sampai seperti itu.
Jaga hati juga tak kalah penting, Mas, ungkapku dalam hati.
Namun, aslinya, aku hanya menanggapi dengan senyum tipis saja. Mood-ku sedang memburuk kali ini. Sehingga, aku terlalu malas untuk berbasa-basi.
Berbeda dengan Mas Akhdan, aku memang cenderung tidak ekspresif, kalau ada apa-apa memilih memendam, alih-alih mengungkapkan dengan gamblang, seperti yang terjadi saat ini.
Akhirnya, kami melanjutkan makan sambil sesekali berbincang ringan.
"Apa ada masalah, Dek?" celetuk Mas Akhdan di sela-sela makan.
"Nggak ada, Mas. Aman," timpalku sedikit berbohong.
Apanya yang baik-baik saja jika beberapa hari ini bawaannya uring-uringan melulu. Aku bermonolog.
Eh, memang tidak ada masalah apa-apa. Pikiranku saja yang sering melanglang buana.
Aku mulai menyadarkan diri. Bahwa, yang terlihat dalam pandangan mata belum tentu fakta. Barangkali, aku hanya berburuk sangka. Sungguh, kalau itu tidak benar, aku sudah menuduh sembarangan. Oleh sebab itu, aku harus terbiasa berpikir dari berbagai sisi. Aku tidak ingin kesalahpahaman tak berarti merobohkan pertahanan diri.
Namun, itu semua terjadi sebelum sekilas notifikasi muncul di ponsel Mas Akhdan. Sederet tulisan yang mengusik hatiku tertera dengan jelas di sana.
Farah: Terimakasih sudah mengantarku pulang hari ini—
Aku tidak tahu kelanjutan kata-katanya, karena yang terpampang di pop up notifikasi sebatas itu saja. Pesan itu dari Mbak Farah. Seketika, titik ragu itu mencuat kembali. Sekuat hati aku menyangkal, pikiranku tetap tidak bisa tenang.
________________
To be continued.Happy reading all. 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...