Gara-gara semangkuk pindang tadi siang, rasanya semakin tidak karuan. Perhatian yang berlebihan dari Mas Arvin hari ini sungguh tidak masuk akal. Aku hampir saja tidak kuasa mengendalikan diri.
Dia tidak mendadak berubah menjadi Superhero, kan? Aku membatin.
Tak mau berpikir macam-macam, aku lantas membuka ponselku yang sedari tadi kudiamkan. Meminta tolong Mas Akhdan untuk menjemput, sepertinya ide yang bagus. Paling tidak, bisa sedikit membunuh kecanggungan yang sedari tadi menguasai diri ini.
Semoga urusan Mas Akhdan sudah kelar. Biar aku nggak perlu menyiapkan banyak alasan untuk tidak berlama-lama dengan lelaki penuh daya tarik itu, pikir disela lamunan.
Sembari menunggu balasan dari Mas Akhdan, aku menggulir layar ponsel untuk mengalihkan kecanggungan. Untung saja, selang lima menit, balasan dari pesan yang kukirim sontak membuatku semringah. Urusan Mas Akhdan sudah beres, dan dia akan segera meluncur ke sini. Aku pun merasa lega mendapat kabar baik itu.
"Mau diantar jam berapa, Fir?" tanya Anjani memastikan.
Saat ini, kami sedang duduk di sofa ruang tamu bertiga, tanpa Bunda. Semenjak salat Duhur tadi, Bunda masih berdiam diri di musala rumah ini, menuntaskan wirid yang biasa dilakukan selepas salat.
"Ada yang jemput, Say. Orangnya lagi di jalan. Sebentar lagi mungkin sampai," timpalku sembari melirik arloji yang melingkar di lengan kiriku.
Saat aku berucap demikian, Mas Arvin sedikit tercengang. Lalu, ia kembali pada mode diam. Lelaki satu ini memang sulit ditebak. Kadang diam seribu bahasa, kadang bersuara tanpa jeda. Seperti tombol power pada remote control televisi, bisa on-off begitu saja.
Saat aku, Anjani, dan Mas Arvin masih sama-sama terdiam, suara salam dari luar tiba-tiba memecah keheningan. Dari sudut mataku, aku menangkap kalau sosok Mas Akhdan sudah berada di depan pintu. Ia tampak menyunggingkan senyuman dengan lebar.
Seperti baru saja memenangkan lotre saja, bisikku.
"Oh, jadi seseorang yang dekat itu Mas Akhdan, nih, Fir?" seru Anjani yang membuatku geleng-geleng.
Aku memang cerita singkat dengan Anjani beberapa waktu yang lalu. Aku bilang padanya bahwa ada seorang lelaki yang sedang dekat denganku. Bukan apa-apa, aku hanya sedang meminimalisir kesalahpahaman semata.
Mas Akhdan hanya menanggapinya dengan senyuman anehnya. Tanpa mengeluarkan penjelasan pun, orang-orang sudah paham dengan binar bahagia yang terpancar dari lelaki di dekatku ini.
Sementara itu, Mas Arvin tampak lebih banyak diam, senyum yang muncul seharian ini sontak meredup. Entah mengapa, yang jelas aku tidak ingin memikirkannya.
"Kuatkan hatimu, Mas!" ucap Anjani sembari melirik Mas Arvin yang hanya dibalas dengan senyum tipis saja.
"Bunda mana?" tanya Mas Akhdan untuk mengalihkan pembicaraan.
"Masih di musala, biasanya keluar selepas Asar," jawab Mas Arvin. "bikinin minum dulu, Dek!" lanjutnya lagi.
"Mau minum apa, Mas? Air galon atau kran?" tanya Anjani dengan iseng.
Mas Akhdan sontak terbahak-bahak dan tawa itu pun menular padaku, tentunya tidak dengan Mas Arvin yang masih bersikap cuek. Raut wajah lelaki itu sungguh tak terbaca. Tingkah Anjani memang selalu mengejutkan. Untungnya, orang-orang terdekatnya sudah pada paham dengan tingkah usilnya.
"Nggak usah, Jani. Kita langsung pulang. Takut kesorean nanti, ya, Dek?" jawab Mas Akhdan.
Aku pun hanya menanggapi dengan anggukan tanda setuju saja.
"Uluh-uluh. Perhatian banget, sih, Mas. Ini beneran mau pulang atau masih mampir ke mana, gitu?" ucap Anjani sambil mengedipkan mata.
Anak ini memang benar-benar minta disentil. Kekonyolannya makin membuatku kehabisan kata.
Tak ingin meladeni tingkah usil Anjani lebih jauh, aku pun segera meminta izin untuk pulang dan menitip salam pada Bunda karena tidak bisa bertatap muka langsung sewaktu pamit tadi. Lalu, diikuti dengan Mas Akhdan yang melakukan hal yang sama sepertiku.
"Mau mampir dulu?" tawar Mas Akhdan padaku ketika berada di mobil. Lalu, lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Terserah Mas saja, sih, kalau aku," jawabku spontan. "Eh, mampir ke mana dulu, nih?" ralatku dengan raut kebingungan.
Mas Akhdan terkekeh, "Kalau ke KUA, mau?" tawar Mas Akhdan yang membuat mataku mendelik. Aku langsung memukul tangannya yang masih memegang kemudi itu dengan tas selempang yang kupegang.
Ke Kantor Urusan Agama bukan perkara main-main, Mas!
"Bisa-bisanya, nih, orang bercanda terus. Masalah serius seperti ini juga," gumamku pelan sambil merengut.
"Canda, Dek. Gitu aja langsung ngambek," timpal Mas Akhdan.
"Oh, berarti Mas Akhdan nggak pernah serius sama aku? 'Kita' ini hanya bercandaan saja, ya? Jadi, selama ini maksudnya apa, Mas? Ajang seleksi saja, gitu? Kalau kurang pas bisa ditinggal. Terus, sehabis itu bisa dengan santainya mencari yang lain. Iya?" selorohku dengan nada serius.
Mas Akhdan seketika panik. Lelaki itu sampai mengerem mendadak dan menepikan mobilnya. Padahal, aku tidak sungguh-sungguh. Aku hanya berniat membalas kejahilannya saja.
"Nggak gitu maksudnya, Dek. Aduh! Mas salah ngomong kayaknya. Maaf, ya?" ucapnya sambil menatapku dengan menunjukkan rasa bersalahnya yang begitu dalam.
Aku sudah tidak kuat menahan tawaku lagi. Aku sontak tertawa lepas. Sungguh, aku tidak habis pikir, orang seperti Mas Akhdan bisa dikerjain juga.
Mas Akhdan pun kaget melihat tawaku yang meledak. Aura wajahnya berubah kesal menangkap canda semu yang kulontarkan tadi.
"Nggak lucu, Dek." ujarnya dengan sebal. Lalu, dia melajukan kembali mobilnya yang sudah lebih dari sepuluh menit berhenti di tepi jalan.
"Maaf, deh, Mas Sayang. Bercanda saja tadi, tuh. Niat hati mengimbangi Mas, malah bablas," jelasku pada Mas Akhdan.
"Apa tadi, Dek?" tanya Mas Akhdan dengan serius.
"Apa, sih?" timpalku tidak paham.
"Yang 'itu' loo. Kamu manggil Mas dengan sebutan apa tadi? Kayaknya ada kata 'asing' yang nempel gitu."
Mas Akhdan mengucapkan itu sambil mempersembahkan senyum yang sulit diartikan. Aku pun mencoba mengingat rangkaian kata yang sudah kuucapkan tadi.
Astagfirullah. Aku tadi tidak sengaja membubuhkan kata 'Sayang', ya?
Ya Allah, sembunyikan aku di mana saja, please! pintaku pada Gusti Allah.
Aku sungguh malu. Mas Akhdan yang melihatku salah tingkah seketika senyum-senyum tak jelas.
Setelah puas melihatku salah tingkah, Mas Akhdan kembali fokus pada kemudi. Aku pun memilih diam, tidak ingin membuka suara lagi.
Suasana kembali hening. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Perjalanan yang biasanya singkat, mendadak menjadi lama. Mungkin saja, karena baru saja, fokusku terbelah kemana-mana.
"Memangnya, kalau Mas beneran ngajak serius, kamu sudah siap, Dek?" tanya Mas Akhdan dengan hati-hati.
Lagi dan lagi, setiap kata-kata itu keluar, aku seolah dipaksa terdiam. Bibirku rasanya kaku untuk sekadar membalas dengan ucapan.
Jujur, aku masih belum begitu yakin. Bukannya aku tidak serius membuka hati, tetapi ada satu titik ragu di hati yang masih terselip. Aku sendiri juga bingung.
Kira-kira, ada apa dengan hatiku?
_______________
To be continued.Selamat membaca. 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...