20. Tentang Rumi

28 10 3
                                    

Entah apa yang membuat langkah kakiku begitu ringan menginjakkan kaki di tempat ini; kafe buku Bait Ilmu. Rindu? Mungkin saja. Pasalnya, perjumpaan dengan pemiliknya sempat tertunda kemarin. Sehingga, aku mengusulkan untuk menemuinya hari ini. 

Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga belas lebih lima, Mas Akhdan mungkin sudah menungguku sedari tadi di kafe miliknya. Aku tidak ingin terlalu terburu-buru. Biarkan saja lelaki itu mengganti waktunya yang tidak ditepati itu. Toh, waktu bertemu hari ini tidak tentu. Aku bisa datang ke kafe ini sesuka hatiku. 

"Mas Wil, sibuk banget, ya?"

Kuhampiri Mas Wildan, salah satu teman Mas Akhdan yang juga seorang barista di kafe buku Bait Ilmu. Rupanya, ia sedang keteteran meng-handle pesanan. Biasanya, memang ada salah satu karyawan yang dipercaya turut membantu jika sedang ramai seperti ini. Akan tetapi, kali ini lelaki dengan apron hitam yang menempel di badannya itu hanya sendiri.

"Eh, Fir. Lama nggak nongol, kemana saja? Nyari wangsit, ya?" tanya Mas Wildan dengan nada meledek. 

Aku hanya tertawa singkat. Pertanyaan Mas Wildan mungkin benar. Aku sedang bersemedi selama beberapa minggu ini, bergelut dengan beragam aksara yang tak ada habisnya. Sehingga, tak ada waktu untuk mengunjungi kafe ini.

"Ada pesanan khusus, nggak, Fir?" ledeknya sekali lagi. Bagi orang yang baru kenal, mungkin mengira kalau Mas Wildan ini sosok pendiam. Namun, itu semua terpatahkan ketika sudah akrab dengannya, seolah-olah sifat aslinya keluar dari sarangnya. Sungguh, usilnya terkadang kebangetan. 

"Mas, mau dibuatin vanilla latte, dong! Jangan lupa pakai cinta, ya!" ucapku sambil tertawa. 

"Kalau itu, aku malah takut dimarah 'Bos', Fir. Bahaya kalau nggak digaji nanti. Eh, kalau kamu mau, boleh, deh. Nanti bisa nego," seloroh Mas Wildan dengan santai.

Aku hanya berdecak kesal seraya geleng-geleng. 'Bos' yang dimaksud oleh Mas Wildan adalah pemilik kafe buku ini, yang tak lain adalah Mas Akhdan. Seluruh penghuni di kafe buku ini memang paham dengan kedekatanku dengan lelaki yang sedang kutunggu itu. 

Tak ingin berlama-lama berbincang tak karuan dengan Mas Wildan, aku segera menepi. Menuju ke tempat duduk favoritku, yaitu di dekat deretan buku sastra yang berbaris rapi di rak yang terletak di samping jendela. Sungguh, meladeni tingkah Mas Wildan tidak akan ada habisnya. 

Selain vanila latte, aku juga memesan french fries dan roti panggang (ropang) dengan toping es krim vanila dan cokelat. Aku memang sengaja tidak mengisi amunisi diri sewaktu berangkat dari rumah tadi. Di sini, aku akan melahap beberapa menu yang dipastikan cukup untuk memenuhi kebutuhan perutku. 

Sudah lebih dari lima menit, Mas Akhdan belum juga datang. Aku menunggu dalam sunyi sembari senam jari, membalas satu per satu pesan yang masuk di ponsel kesayanganku. 

Belum sempat aku menggulir aplikasi sosial media, aroma parfum yang begitu kukenal menyusup indra penciuman. 

"Sudah dari tadi, Dek?" pertanyaan retoris sebenarnya. Seluruh menu pesanan sudah tersaji di meja, itu artinya, aku sudah berada di sini lumayan lama. Malas mempermasalahkan, aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis saja, menanggapi pertanyaan dari Mas Akhdan tersebut. 

"Mas mau makan apa?" tanyaku tanpa berekspresi. 

"Masih kenyang, Dek. Tadi sudah makan bareng rekan kerja," jawab Mas Akhdan singkat. 

"Ada buku baru tentang Rumi, Mas sudah tahu? Baru pre-order sih. Karya Muh Nur Jabir, founder Rumi Institute," jelasku pada Mas Akhdan sambil menikmati menu pesananku. 

"Mas telat info, nih. Judulnya apa, Dek?" tanya Mas Akhdan memastikan. 

"Matsnawi Maknawi Maulana Rumi. Ini baru Kitab 1 saja dari yang seharusnya sampai Kitab 6 kalau nggak salah, Mas. Pada Kitab 1 ini terdapat dua jilid yang berisi sekitar 4000 bait. Terjemahan dari bahasa Persia, loh, itu. Gila nggak, tuh, Mas," ceritaku antusias. 

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang