13. Batu Safir

29 9 4
                                    

Semburat jingga sudah terlihat berkilau di ufuk barat. Kemilau indahnya begitu kentara meski aku hanya mengamati dari kaca jendela mobil saja. 

Sepulang dari pusat perbelanjaan tadi, aku berpencar dengan Mbak Anggi. Wanita itu diantar pulang oleh Mas Ardi dengan alasan rumah mereka searah. Namun, aku tidak tahu dengan pasti alasan sesungguhnya. Sialnya, Mas Akhdan tidak jadi menjemputku. Katanya, ada urusan mendadak. Sehingga, saat ini, di kendaraan roda empat ini, aku harus terjebak dengan lelaki yang selalu membuatku grogi.

"Menepi dulu, ya, Ra!" kata Mas Arvin yang membuatku kebingungan. Alhasil aku hanya melongo. "ke masjid," lanjutnya. 

Memahami maksudnya, aku pun mengangguk. Sebenarnya, kalau mau melanjutkan perjalanan, tidak akan ketinggalan salat Magrib begitu sampai di rumah. Namun, aku tahu dari dulu kalau lelaki ini selalu salat tepat waktu. Bukan sepertiku, yang sering mengulur waktu. Apalagi, jika sudah asyik menonton drama korea atau membaca novel. Bubrah. Mengahadap Tuhannya pasti selalu menjelang injury time. Sungguh, yang seperti ini tidak boleh dilanggengkan apalagi ditiru.

Kalau yang dilanggengkan hubunganku dengan Mas Arvin boleh kali, ya?

Kutepuk bibirku pelan. Tidak ingin berkhayal yang tidak-tidak. Pikiranku memang sering tak tentu arah jika dekat dengan lelaki di balik kemudi ini. 

Ingat Mas Akhdan, Fir! rutukku dalam hati. 

"Ada apa, Ra? Are you ok? Kalau keberatan, boleh langsung pulang, kok," ucap Mas Arvin dengan nada tidak enak. 

"Santai, Mas. Nggak apa-apa. Lagi bayangin yang 'iya-iya' saja, kok, tadi."

Haduh, aku salah omong lagi.

"Maksudku, lagi kepikiran sesuatu saja tadi," jelasku kemudian. 

Mas Arvin tertawa singkat. Renyah sekali. Tidak biasanya lelaki ini bisa tertawa dengan lepas seperti ini. 

Menyadari hal itu, Mas Arvin kembali pada persona awalnya. Cool. Itu memang imej yang sudah ia bangun sejak dulu.

Eh, aslinya memang kalem, sih. 

"Aku lagi cuti, Mas," ucapku malu-malu. "Aku tunggu di sini saja, kan? Mas Arvin nggak bakal lama atau mau wirid—"

Belum sempat kutuntaskan kalimatku, Mas Arvin sudah menyahut. 

"Iya, bawel," jawab Mas Arvin singkat disertai dengan tangan yang terulur mengusap-usap lembut kepalaku yang tertutup jilbab.

Sikap spontan Mas Arvin itu sontak mengagetkanku. Hatiku rasanya jedag-jedug, seperti ada genderang yang menabuh dengan begitu kencang.

Amankan jantungku, Mak! teriakku dalam hati sambil tersipu, menahan malu. 

"Sorry. Mas laporan dulu, ya. Kalau mau mainan hape ambil saja di dashboard," ucap lelaki itu sambil berlalu.

'Laporan' yang dimaksud adalah ritual menghadap pada Tuhan.Yakni, salat. Sudah kebiasaan dari dulu lelaki itu menyebut 'laporan' jika mau melaksanakan kewajiban lima waktu itu. 

Berbicara menyoal ponsel, ponselku memang sudah kehabisan baterai sejak tadi. Namun, sebelum itu, aku sudah mengabari Bapak dan Ibu kalau aku pulang terlambat, dengan alasan ada urusan yang belum tuntas. Keduanya pun mengiakan. Maka dari itu, aku sedikit lega sekarang.

Azan Magrib baru saja dikumandangkan. Waktu yang dibutuhkan berdiam diri di mobil ini masih lama. Sehingga, aku kehabisan ide, bingung mau melakukan apa lagi untuk menunggu Mas Arvin melaksanakan kewajibannya. 

Dengan kekuatan penuh, aku memberanikan diri untuk menyentuh ponsel milik Mas Arvin itu. Kuamati dengan singkat ponsel keluaran terbaru yang sedang hits ini.

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang