Embusan angin pagi menerpa kulitku, membuatku menggigil tak tentu. Namun, aku harus sekuat tenaga membunuh rasa dingin ini. Kalau tidak, aku dipastikan akan tertinggal rombongan jika tidak segera mempersiapkan diri dari selepas subuh ini.
Lebih mengerikan sikap dingin lelaki itu, batinku.
Pikiranku malah berkelana entah ke mana. Terkadang, aku sendiri heran dengan jalan pikiranku yang susah ditebak alurnya.
Hari ini, saatnya pertunangan antara Naufal dan Sarah akan berlangsung. Kediaman calon istri Naufal terbilang jauh. Tepatnya, di ujung paling timur kota bertapis ini, yang jarak tempuhnya sekitar empat jam dari sini. Maka dari itu, sepagi ini, aku harus bersiap-siap.
Anjani: Say, aku sama Mas Arvin besok berangkat duluan, ya? Kebagian jatah menyambut tamu di sana. Lagian, tidak enak sama keluarga Sarah kalau sampai terlambat.
Itu adalah chat dari Anjani tadi malam. Sahabatku itu mengabariku kalau dia akan berangkat lebih dulu. Sebelumnya, aku memang sudah mengatakan padanya bahwa aku akan berangkat bareng Mas Akhdan. Sehingga, Anjani tak perlu menjemputku.
Semalam, aku baru mengetahui juga kalau Sarah adalah salah satu karyawan Kalandra Tour & Travel. Ternyata, Naufal dan Sarah terlibat cinta lokasi di tempat itu. Sebuah berita baru sekaligus kejutan tak terduga bagiku. Yang kupikirkan setelah mendengar cerita itu langsung dari Anjani adalah bagaimana kabar hati Anjani. Pasalnya, ketiga orang itu berada di ruang lingkup kerja yang sama.
"Apa nggak canggung?" bisikku pelan. Membayangkan itu, otakku seketika mendidih.
"Ah, lupakan!" seruku pada diri.
Aku segera menghentikan rasa penasaranku yang sudah tidak beraturan ini. Kali ini, aku harus fokus pada masalahku sendiri. Jalan cerita cintaku saja tidak mulus. Mengapa begitu repot-repot mengurusi kisah cinta orang lain?
Mas Akhdan: Mas sudah siap, Dek. Sepuluh menit lagi Mas ke rumah, ya?
Pesan dari Mas Akhdan mengagetkanku. Sebab, aku belum selesai berhias. Mungkin saja, kebanyakan merenung sejak tadi, yang membuat fokusku terganggu. Sehingga, kegiatan sesederhana ini saja membutuhkan waktu lebih lama dari yang kukira.
Kukirim pesan balasan untuk Mas Akhdan bahwa aku belum siap, jadi dia harus lebih bersabar menungguku. Ternyata, tidak ada balasan lagi.
Mas Akhdan mungkin sudah di jalan.
Tak ingin membuang waktu, aku lantas melanjutkan acara melukis wajah yang masih setengah jalan. Aku harus segera menuntaskan kalau tidak ingin membuat Mas Akhdan menunggu lama setelahnya.
Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Demi apa pagi buta seperti ini aku sudah berkutat dengan make-up? Padahal, aku biasanya paling malas berdandan. Namun, kali ini aku begitu semangat merias diri. Bukan bermaksud untuk menunjukkan kecantikan, hanya saja, aku ingin menyesuaikan saja dengan keadaan.
Suara deru mobil sudah terdengar dari luar. Aku segera melangkah ke depan untuk menemui Mas Akhdan. Tentu saja, setelah aku menyelesaikan kegiatan touch up yang kulakukan barusan.
"Asalamualaikum," ucap Mas Akhdan sambil menatapku tanpa berkedip selama beberapa detik. Tidak lama. Namun, rentang tatap yang sekejap itu sudah mampu membuatku tak berdaya. Aku sungguh salah tingkah karenanya.
"Waalaikumussalam. Masuk dulu, Mas!" tawarku pada Mas Akhdan. Ia pun hanya menjawab dengan gelengan. Aku paham alasannya. Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Bapak dan Ibu sudah berangkat ke toko sejak tadi. Sehingga, Mas Akhdan memilih duduk santai di teras depan rumah, untuk menghindari fitnah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...