09. Lagu Pilu

27 9 0
                                    

Terimakasih sudah mengantarku pulang hari ini-

Sebait pesan dari Mbak Farah masih mengusikku. Dari sikapnya, Mas Akhdan sepertinya menyadari perubahan sikapku. Tak perlu menyelami terlalu dalam, diamku sudah menunjukkan bahwa hatiku sedang tidak karuan.

Rasanya, aku ingin menangis. Aku benar-benar tidak siap jika harus dikecewakan lagi. Apa lagi, dengan seseorang yang baru saja kuletakkan harapan cukup tinggi menyoal hati. Meski belum terlalu dalam, aku yakin bahwa lukanya akan sama-sama membuat hati mengerang.

Jangan sampai bikin aku hilang percaya lagi, Ya Allah.

Setelah menyudahi acara makan malam di E.A.T Mie, aku lantas meminta Mas Akhdan untuk mengantarku pulang, sebelum rasa marahku menjadi lebih dominan.

Perjalanan pulang terasa sangat lambat kali ini. Aku dan Mas Akhdan saling diam, tidak ada obrolan singkat apalagi merajut cerita, hanya hening yang tercipta. Mas Akhdan fokus dengan kemudinya. Sementara itu, aku berkutat pada asumsi liar yang berkelana di kepala.

"Sudah sampai, Dek." Mas Akhdan menyentak lamunanku. Ucapannya yang tiba-tiba itu cukup mengagetkanku.

Aku tersenyum singkat, lalu beranjak dengan sedikit tergesa menuju ke rumah. Dari derap langkah yang terdengar, Mas Akhdan mengikutiku.

Tolong berhenti, Mas! batinku bergemuruh.

Sungguh, aku tidak ingin membahas apapun malam ini. Pikiranku sudah dipenuhi taksiran serampangan yang bisa saja mengoyak hati. Kalau diladeni, aku takut kalau ada yang terluka karena bakal keluar kata-kata yang tak terkendali, hingga akhirnya malah menyakiti hati.

"Duduk sebentar di teras, yuk, Dek! Kita butuh bicara," ujar Mas Akhdan sebelum aku melenggang ke rumah.

"Loh? Kan, tuan rumahnya aku, Mas," timpalku untuk menutupi resah.

Mas Akhdan tak dapat menahan tawanya. Setelahnya, suasana sedikit mencair. Lalu, lelaki itu membuka suara.

"Ada yang ingin ditanyakan, Dek? Kayaknya, ada yang mengganjal. Kalau Mas yang bicara duluan, Mas khawatir kalau nanti dikira cuma pembelaan diri," ucap Mas Akhdan yang sesungguhnya tak ingin kutanggapi.

"Memangnya, ada apa, Mas?" timpalku untuk mengalihkan pembicaraan. Padahal, hatiku sudah nyaris mendidih karena dipenuhi pelbagai tebakan yang kuciptakan sendiri.

"Kebiasaan, deh. Kamu itu kalau ada masalah, selalu disembunyikan, nanti tiba-tiba meledak. Mas bakal panik kayak yang sudah-sudah." Mas Akhdan terlihat sedikit kesal.

Aku tertawa singkat, lalu melanjutkan mode diamku.

"Komunikasi itu penting, Dek. Kalau kita memang ingin serius, hal apapun harus diselesaikan dengan cara baik-baik, bukan dengan cara menghindar seperti ini. Harapannya, tidak menjadi kebiasaan jika suatu saat nanti, kita menghadapi permasalahan yang lebih pelik dari kali ini."

Kata-kata Mas Akhdan membuatku tersentak. Aku ingin menyangkal, tetapi bibirku seketika kelu. Terkadang, menjadi orang yang susah berekspresi memang tidak enak. Namun, aku juga kesulitan untuk mencari padanan kata yang pas agar keresahan dalam hati dapat tersalurkan dengan tepat, tanpa sedikit pun melukai pihak lain.

Bukankah dia sendiri seperti menutup-nutupi sesuatu dariku? sanggahku dalam hati.

"Ya, sudah. Mas mau pulang dulu. Sampaikan salam untuk Bapak dan Ibuk, ya! Mohon maaf, Mas nggak sempat mampir," pungkas Mas Akhdan.

"Sepertinya, malam ini memang bukan waktu yang tepat untuk kita bercakap, ya, Dek, tapi nggak apa-apa. Tenangkan diri dulu! Kalau sudah siap, hubungi Mas! Kita berbincang dari hati ke hati. Apa yang tidak pas bisa kita benahi nanti," lanjut Mas Akhdan.

Aku masih terdiam, meresapi deretan kalimat yang Mas Akhdan utarakan. Sampai mobil yang lelaki itu tumpangi menghilang, aku masih saja enggan beranjak. Secara tak sadar, ada beban yang mampir di pundak.

Tak ingin menjadi santapan manis para nyamuk, aku segera masuk ke dalam rumah. Kini, ruang keluarga sudah sepi. Aku menebak kalau Bapak dan Ibu sudah bersiap menyambut mimpi.

***


Sudah seminggu berlalu semenjak perbincangan berat malam itu, aku masih tidak berani menghubungi Mas Akhdan. Lelaki itu mungkin benar. Segala sesuatu harus dihadapi dengan berani, bukan malah melarikan diri seperti yang kerap kulakukan selama ini.

Satu minggu ini terasa berat. Ada setitik rindu yang berarak, tapi aku enggan bergerak. Rasa gengsi tetap meninggi. Sehingga, berdiam diri sambil sesekali mengecek ponsel, sudah menjadi rutinitas baruku saat ini.

Selama jeda waktu yang tak pasti ini, aku sama sekali tidak mendapat satu pesan pun dari Mas Akhdan. Sungguh, lelaki itu benar-benar membuatku kelimpungan.

"Nggak enak, ya, rasanya dicuekin. Apa seperti ini yang dirasakan Mas Akhdan beberapa tahun ini?" gumamku pelan.

Di dalam senyap yang merayap, lagu Pamungkas yang berjudul I Love You but I'm Letting Go diam-diam menyusup, lagu pilu yang sudah beberapa kali kuputar hari ini.

Pamungkas menulis bait lagu ini dengan sangat apik. Ia melagukan patah hati dengan cara dewasa. Bukan dengan menahan sang pujaan hati menetap di sisi, tetapi dengan cara merelakannya pergi. Cinta itu sungguh masih ada. Maka dari itu, Pamungkas menunjukkan bahasa lain dari cinta itu sendiri, yaitu melepaskan. Ia hanya sedang menyelamatkan hatinya dari kepingan rasa yang sudah tidak ingin dirawat bersama.

Bagaimana jika Mas Akhdan berpikir demikian?

Hatiku semakin tidak karuan kala membayangkan kemungkinan buruk semacam itu. Aku benar-benar tidak siap kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku lagi.

Semakin lama, irama lagu yang kudengar ini berubah menjadi nyanyian pilu. Padahal, Pamungkas membawakannya dengan begitu merdu. Namun, aku mengartikannya sebagai elegi yang tiada ampun menyayat kalbu.

Kini, mataku tiba-tiba basah. Ponsel di tangan sudah berteriak, memaksa diri untuk beranjak. Aku menimbang untuk ke sekian kali.

"Haruskah kuhubungi Mas Akhdan sekarang saja, ya?" Aku bermonolog, meraba kepastian yang memenuhi sanubari.

"Masalah yang dibiarkan mengendap dalam rentang yang cukup lama, akan membuat kadar rumitnya semakin tak terhingga."

Aku ingat kata-kata yang pernah kutulis beberapa waktu yang lalu. Aku makin merutuki diri. Ternyata, menasehati diri sendiri tidak semudah itu dijalani.

Setelah melakukan pertimbangan yang matang, kuhubungi sosok yang begitu menyita waktuku belakangan ini.

"Tidak diangkat. Mungkin, dia sedang sibuk," ujarku pelan. Aku sedikit kesal.

Aku memutuskan untuk menyerah saja setelah dering yang sudah lebih dari dua kali itu tidak menemui balasan. Lalu, kuletakkan handphone yang sudah panas itu di atas nakas.

Tatap mataku beralih ke luar kamar. Kuintip sekilas dari sela-sela jendela, cuaca di luar sangat mendung. Maka dari itu, aku memutuskan untuk bergelung di balik selimut, sekadar merebahkan badan, siapa tahu suasana hati lebih nyaman.

"Lagi apa kamu, Mas?" ucapku di sela lamunan.

Aku berusaha untuk memejamkan mata. Dengan harapan, ketika aku bangun nanti, rasa gelisah sudah bisa diamankan. Namun, belum sempat mataku terpejam, suara denting notifikasi terngiang. Ternyata, ada satu pesan yang menunggu untuk dibaca.

Mas Akhdan: Maaf, Dek. Lagi hectic banget di kampus. Nanti kukabari kalau sudah senggang.

Pesan singkat itu menambah rasa kecewa. Aku makin tenggelam dalam duka.


_______________
To be continued.

Selamat membaca, Guys! 🌹

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang