"Mbak, kamu di mana? Jadi jemput, kan?"
Aku merasa kesal dengan Mbak Anggi. Ia bilang akan menjemputku di bandara. Namun, sudah setengah jam semenjak pesawat mendarat sempurna di bandara kebanggaan orang Lampung ini, batang hidungnya belum juga kentara.
Tahu gitu ... aku naik taksi aja. Kalau kayak gini ... tanggung, kan? gerutuku untuk ke sekian kali.
Pasalnya, aku sudah seperti orang hilang di sini.
"Jadi, Fir. Bentar, ya! Tadi macet banget di Tegineneng. Maklum, deh. Sabar, ya!" jawab Mbak Anggi di telepon.
Aku lantas segera mengakhiri panggilanku. Toh, kalau mau meninggikan emosi pun percuma. Mbak Anggi tidak akan spontan muncul di depan mata dalam waktu sekejap saja.
Sungguh, aku benar-benar tidak tahu seberapa padatnya jalanan hari ini, hingga membuatnya begitu terlambat tiba di sini. Di jalan utama lintas Sumatra yang dilewati untuk menuju bandara memang kerap macet, apa lagi ada beberapa area yang sedang mengalami perbaikan jalan, kata Mbak Anggi tadi.
"Fira!"
Aku terkejut ketika ada yang menepuk pundakku pelan sambil menyebut namaku. Aku yakin seratus persen itu bukan Mbak Anggi. Sebab, suaranya begitu lembut merasuk di telinga, berbeda dengan karakter suara Mbak Anggi yang agak sumbang dan lumayan membahana.
Begitu aku menoleh, aku terkejut dibuatnya. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan wanita ini di tempat seperti ini.
"Ternyata benar kamu. Apa kabar, Fir? Lama nggak ketemu."
Mendengar pertanyaan semacam itu, aku masih terdiam tanpa kata. Sepertinya, efek kejut masih menguasaiku sepenuhnya.
Nggak baik, Mbak!
Aku sebenarnya ingin menjawab begitu, tetapi tidak mungkin. Aku bukan lagi sosok yang selemah itu.
"Alhamdulillah. Seperti yang Mbak lihat," jawabku sambil menampilkan senyuman lebar, yang sedikit kupaksa tentunya.
"Maaf, ya, Mbak ... aku nggak bisa datang pas acara nikahan sampean. Masih ada beberapa urusan yang belum kelar dan baru bisa pulang sekarang." Aku berlanjut meminta maaf pada Mbak Farah. Ya, wanita yang menyapaku ini adalah dia, seseorang yang pernah membuatku gelisah tanpa arah.
"Nggak apa-apa, Fir," sahut Mbak Farah dengan nada lembut, seperti biasanya.
Kali ini, aku menahan napas setengah mati. Aku masih meraba apa yang akan terjadi nanti. Bahkan, aku tidak berani menanyakan keberadaan suaminya karena aku belum siap untuk patah hati lagi. Apa lagi, kalau memang benar dia orangnya.
"Farah, Sayang ... maaf lama. Tadi antre banget."
Efek kejut kembali berulah ketika aku mendengar suara lelaki yang menyapa Mbak Farah.
Bagaimana ini? teriakku dalam hati.
"Ah, iya, Fir ... ini Mas Arman, suamiku. Mas ... ini Fira, temanku," kata Mbak Farah mengenalkan sang suami padaku.
Aku masih bergeming, tak sanggup berpikir jernih setelah menyadari kebodohanku. Aku baru menyadari bahwa nama dengan inisial A itu bejibun di dunia ini. Makanya, bukan berarti F & A itu artinya Farah dan Akhdan.
Makan, tuh, prasangka, Fir! Aku memaki diri sendiri.
Sebelum semua bertambah runyam, aku menyambut perkenalan diri dari Mas Arman—suami Mbak Anggi, dengan baik. Setelah berbincang sejenak, pasangan pengantin baru tersebut pamit untuk pulang lebih dulu. Aku pun mengiakan.
Setelah itu, aku kembali duduk di ruang tunggu sembari menetralkan degup jantungku yang masih berantakan. Efek kejut kali ini sungguh membuat tatanan hatiku tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...