11. Rumus Lega

30 10 0
                                    

Tetesan hujan sudah reda sejak beberapa jam yang lalu. Kali ini, terik yang berganti mengusik. Bukan menyoal sinarnya yang menyengat, tetapi karena jarak dengan lelaki yang ingin kuhindari ini begitu dekat.

Aku menghela napas panjang karena merasa bingung harus mulai membuka pembicaraan menyoal apa. Alhasil, aku hanya diam saja sampai keadaan hati bisa segera diajak kompromi.

Mau bicara tentang apa, sih? Aku nggak mau berlama-lama dengan orang ini," batinku gelisah.

Aku melirik ke arah lelaki yang berjalan di dekatku ini. Kuamati lamat-lamat meski terbilang singkat. Sejauh ini, tidak ada yang berubah dari dirinya, tetap saja gagah. Senyumnya juga masih begitu indah; seulas senyum yang pernah membuatku lemah.

Aku menarik napas dengan dalam dan segera mengalihkan pandangan. Mataku bergerak ke sembarang arah, tak ingin lagi membangkitkan rasa yang sudah lama punah.

"Di sana saja nggak apa-apa, kan? Biar nggak terlalu panas," tawarku sembari menunjuk satu bangku kosong di bawah pohon besar yang menghiasi Taman Merdeka Kota Metro, Lampung.

Lelaki itu pun mengangguk, lalu mengikutiku. 

Aku memilih salah satu bangku taman yang menghadap ke jalan raya. Di samping kanan dan kiri bangku, terdapat beragam bunga yang berjajar rapi. Ada bunga Asoka, Tapak Dara, Lantana, dan masih banyak lagi jenis bunga lainnya.

Sungguh indah bunga-bunga ini, bisikku dalam hati sekadar untuk mengalihkan degup kencang yang ada pada diri. Antara rindu dan kecewa yang berkecamuk di dada, kini mewarnai hati. Entah bagian mana yang paling mendominasi keduanya, aku masih meraba. 

"Di sini saja," ucapku sembari mendaratkan diri di bangku taman, yang hanya cukup dipakai duduk untuk dua orang saja.

"Baiklah. Aku manut," jawabnya sembari duduk tepat di sebelahku. 

Dalam jarak yang hanya beberapa jengkal ini, kami berdua kembali terdiam. Hanya lalu-lalang kendaraan di jalanan yang seolah-olah menambah kebisingan. Taman kota yang tidak begitu ramai ini bertambah senyap. Sebab, hampir setengah jam di sini, hanya hening yang menguasai. 

Udah lama nggak ketemu, jadinya canggung. Apa lagi, penyebab putusnya komunikasi juga bukan perkara baik.

Sudah dua tahun tepatnya, perjumpaan itu tidak pernah ada. Meski kami masih tinggal dalam satu kota, rasa enggan bertemu itu masih membayang dalam relung sukma. 

"Fir, Maaf," ucap lelaki itu sambil menunduk, tak berani menatap ke arahku sama sekali.

Suara lelaki itu memecah sunyi, menjadi warna setelah beberapa saat, nuansa hening meraja. Sepertinya, bibirnya terlalu kaku untuk sekadar berucap panjang lebar seperti dulu. Aku pun bingung dan berusaha mencerna. Aku berpikir keras, "Ke mana larinya raut ceria yang lelaki ini punya?"

Sejak kapan lelaki yang biasanya rame ini berubah menjadi pendiam? batinku menggema penuh tanya.

Lelaki yang berada di sampingku ini adalah Naufal Karim. Sosok yang dulu pernah melambungkan harapan, tetapi dengan tega menghempaskan. Tanpa basa-basi sama sekali, hingga tak ada kesempatan untukku mempersiapkan diri.

Aku diam sejenak memaknai tujuan pertemuan kami berdua kali ini, meresapi sebuah kata maaf yang ia utarakan beberapa saat yang lalu.

Aku tahu berbicara lagi dengannya akan memakan waktu yang lama. Maka dari itu, aku memilih pergi dari toko dan mengajaknya ke tempat ini, tepatnya di taman kota yang sebenarnya menyimpan banyak kenangan ini. Di sini, aku berharap kalau kami bisa lebih leluasa berbincang dan segera menyelesaikan urusan hati yang belum sepenuhnya tuntas.

"Apa yang harus dimaafkan? Alasan kamu pergi atau—?"

Aku menjeda cukup lama sebelum melanjutkan deretan kata yang masih tertahan di tenggorokan.

"Jika kedatangan kamu ini karena rasa bersalah, tidak perlu. Simpan saja semua niat itu di hatimu. Sungguh, aku sudah baik-baik saja sekarang," lanjutku dengan helaan napas yang panjang.

"Aku memang bersalah, kan?" ujar Naufal menambahkan. 

"Tentu tidak. Komunikasi kita berdua yang memang tidak baik. Harusnya, aku peka dengan rasa yang kamu punya. Bukan malah menuntutmu untuk mengertiku dengan cara yang tentu saja tidak kamu suka."

Rasa peka yang kupunya memang tidak kuat. Sehingga, ketika rasa nyaman yang lelaki ini miliki berkurang, aku malah kerap menyudutkan. Dalam hal ini, aku juga bersalah. 

Ternyata, pelajaran hidup dengan Mbak Anggi tadi pagi juga sangat berguna untuk menghadapi situasi semacam ini.

"Tapi, Fal ... sedari awal, kamu juga harus terbuka. Kalau ada yang tidak pas, dibicarakan dengan baik, bukan dengan mencari pelarian hanya agar aku mundur teratur. Aku juga sadar, kok. Sesuatu yang dipaksa, hasilnya tidak akan berjalan mulus pada akhir cerita."

Di sampingku, Naufal masih diam seribu bahasa. Ia mungkin masih merenungkan kalimat yang baru saja kulontarkan. Namun, selang beberapa menit, yang kudapat bukan kalimat panjang sebagai respons. Naufal hanya mengucapkan kata maaf bertubi-tubi, yang membuat telingaku panas dan rasa sesak yang sudah berusaha dilupakan seakan-akan singgah kembali.

"Sudah, ya! Tidak perlu merasa bersalah lagi. Dari kisah ini, kita sama-sama belajar untuk lebih peka, untuk lebih terbuka. Suatu saat nanti, jika kita menemukan masalah yang sama dengan pasangan kita, rumus serupa bisa kita terapkan, yaitu membangun komunikasi kedua belah pihak dengan lebih baik lagi."

Kurasa, bagianku sudah selesai. Aku merasa lega setelah meluapkan semua resah yang selama ini mengganjal. Ternyata, sebuah penerimaan yang tepat bisa menjadi rumus lega yang luar biasa.

"Jadi, kita masih bisa berteman seperti dulu?" ucap Naufal ragu-ragu. 

"Berteman, sih, masih bisa, Fal. Namun, kalau untuk bisa seperti dulu, aku butuh waktu. Kamu tahu, kan, bahwa tidak mudah bagiku menyusun kembali kepingan hati yang sudah terlanjur pecah," jelasku dengan tegas.

"Oke, aku mengerti," timpal lelaki itu singkat. 

Setalah dirasa cukup, aku dan Naufal menyudahi pembicaraan. Lalu, dia pamit. Setelah itu, kami berpisah di tempat ini. Perpisahan yang dibubuhi dengan senyuman yang lebih berarti. Tak ada kekecewaan lagi, hanya rasa lega yang meliputi.

Sebenarnya, Naufal menawarkan diri untuk mengantarku pulang, tetapi aku tolak. Aku masih ingin menyendiri di sini. Sekadar menikmati semilir angin seraya meluapkan rasa lega yang berhasil dilalui hari ini. 

"Teruntuk diri, terimakasih,  ya! Kamu hebat hari ini," gumamku pelan. 

Aku begitu bersyukur. Satu per satu beban terangkat. Kali ini, rumus lega bisa digunakan dengan akurat.

"Ah, nggak boleh seneng dulu. Masih banyak permasalahan hidup yang sudah menanti di depan sana." Aku mengingatkan diri sendiri.

Sepulangnya Naufal, aku masih betah di taman, sembari bercengkerama dengan penjual minuman dan makanan ringan yang menawarkan dagangan. Senyum tulus dari sang ibu paruh baya itu seolah-olah menguatkan. Sehingga, rasa syukur kian mengembang.

Mas Akhdan: Lagi di taman, ya? Anggi tadi yang bilang. Apa mau dijemput?"

Aku lantas tersenyum semringah ketika membaca pesan singkat dari Mas Akhdan. Rasa lega menyelimuti hati. Selain masalah dengan Naufal selesai, salah paham dengan Mas Akhdan juga sudah reda.

Setidaknya, untuk saat ini.

_____________
To be continued.

Monggo dibaca! 🤭🤗

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang