63.

301 55 3
                                    

"Qil-la ingin kem-bali ke pondok yang dulu."

Umma dan Adhim terlihat terkejut, berbeda dengan Abi yang terlihat tenang. Pria itu memang sedikit sulit mengekspresikan dirinya.

"Bukannya kamu ingin menyelesaikan SMA disini Qil?" tanya umma.

"Kenapa mendadak pengin balik pondok dek?" tanya Adhim.

"Qil-Qilla berubah keputusan." Khasna memilin ujung khimarnya, gadis itu berbicara sambil menundukkan kepalanya.

"Apa kau sudah memikirkannya matang-matang?" Abi angkat bicara. Khasna mengangguk.

"Apa keputusanmu ini dampak dari masalah yang akhir-akhir ini menimpa keluarga kita?" Khasna diam mendengar pertanyaan sang abi. Memang benar apa yang dikatakan sang abi meski itu tidak sepenuhnya.

"Abi, Khasna ingin meneruskan pendidikan di pondok saja Abi. Qilla rasa Qilla lebih nyaman berada di lingkungan pondok."

Abi menghela nafas berat, "Sedari kecil kau dibesarkan dan didik di pesantren. Tidak ada batasan untuk menuntut ilmu syar'i. Tapi kau juga harus ingat ilmu yang kau dapatkan tak ada artinya jika tidak diamalkan. Maka berusaha selalu mengamalkannya baik untuk diri maupun keluarga serta kehidupan bermasyarakat." Jeda  beberapa detik.

"Abi harap kau dapat belajar bersungguh-sungguh, dan dapat mengamalkan ilmu yang kau pelajari selama di pesantren. Besok Abi akan urus surat-surat kepindahanmu." Setelahnya Abi berdiri, meninggalkan mereka yang terdiam.

Khasna tersenyum sedikit. Ia bahagia mendengar keputusan sang Abi, tapi dari tatapan sang Abi ia melihat kesedihan di sana. Ia akan kembali menuntut ilmu di pesantren, yang jauh dari keluarganya. Ia akan kembali berpisah dengan keluarganya dengan waktu yang tak menentu untuk menuntut ilmu.

.
.
.
.
.
.

Khasna sedang berada di dalam kamar Adz. Tatapannya terlihat sendu mengamati kamar dengan bau lavender yang menjadi aroma parfum kesukaan Adz.

Netranya berhenti pada sebuah poto yang menampilkan dua gadis remaja yang saling merangkul yang terlihat bahagia. Senyum lebar terpatri di wajah keduanya.

Air mata Khasna kembali menetes, itu adalah poto terakhirnya dengan Adz.

"Khasna, di bawah ada Putri." Khasna  membalikkan badannya. Menatap Adhim kemudian mengangguk.

Setelahnya ia turun kebawah menghampiri Putri.

Putri segera memeluk Khasna erat.

"Kamu serius mau balik ke pesantren lagi Khas?" Khasna mengangguk, kemudian menghapus air mata Putri yang menetes.

"Entar aku di sini sendirian dong, gak ada temen curhat."

"Kamu punya banyak temen, tidak hanya aku. Jika kamu tak puas ada Allah sebaik-baiknya pendengar. Kamu bisa curhat sepuasmu ke Allah."

"Apa kamu tidak bisa merubah keputusanmu itu Khas?" Khasna menggeleng sambil tersenyum.

"Kenapa tidak di Bumiayu aja yang dekat? Jadi aku sesekali bisa menjengukmu ke sana?"

Khasna tersenyum, ia bingung mau menjawab apa.

Putri menghela nafas saat Khasna tak kunjung menjawab pertanyaanya malah justru tersenyum doang, "Lalu sampai kapan kamu akan tinggal di sana dan kembali ke sini?"

Khasna diam sebentar, "Dari dulu aku ingin melanjutkan pendidikan di Mesir, mungkin setelah lulus SMA aku akan melanjutkan ke sana?" Khasna mengedikkan bahu.

"Apa? Itu terlalu jauh Khas. Apa kamu yakin dengan itu?" Khasna hanya tersenyum.

"Khasna, ayok mobilnya dah siap. Kita harus segera pergi ke stasiun," ucap Umma menghentikan obrolan dua sahabat itu.

Khasna dan Putri mengangguk, kemudian mereka ( keluarga Khasna) dan Putri ikut mengantar Khasna menuju stasiun.

Sekitar 45 menit mereka sampai ke stasiun terdekat. Keadaan semakin haru tat kala keluarga itu dan Putri melepaskan kepergian Khasna untuk menuntut ilmu.

Khasna tersenyum menatap keluarga dan sahabatnya, kemudian melambaikan tangan kanannya, yang dibalas lambaian mereka juga. Setelahnya gadis bergamis biru dongker itu memasuki gerbong ketiga kereta.

Beberapa menit setelah ia duduk kereta berjalan. Ia menutup matanya. Ini keputusan dirinya. Semoga kedepannya bisa lebih baik.

Selamat tinggal kota penuh kenangan. Kota penuh suka dan duka, yang banyak memberikan cerita penuh arti dan pelajaran dalam hidup ini. Hari ini, untuk sekian kalinya aku meninggalkan kota ini dengan waktu yang tak menentu. Semoga hati ini cepat membaik, dan bisa kembali lagi ke sini dengan membuka lembaran baru. Mengikhlaskan masalalu, dan menyambut masa depan dengan hati yang lapang.

Dan untukmu pria yang kurindui. Ku harap kau baik-baik saja di negeri sana.

Semoga hati ini segera cepat melupakanmu. Karena ku tahu rasa cinta kita selamanya tak akan pernah bersatu.

Ada cinta yang harus diri ini kejar dan dapatkan. Lebih dari cinta pada makhluk, cinta yang akan membuat hati damai dan bahagia di akhirat, yaitu cinta kepada sang Robbi, Allah Tuhan semesta alam.

Khasna perlahan membuka matanya sambil mengembuskan nafas lega. Hatinya sedikit tenang. Ia tersenyum sedikit, kemudian wajahnya ia alihkan ke kaca kereta di sisi kirinya, terlihat hamparan sawah yang luas menyejukkan matanya.

Cinta Sebening SyahadatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang