Part 26: Kecemasan Mera

2.5K 240 2
                                    

°°°

Mera selesai merapikan beberapa pakaian ke dalam kopernya. Besok Mera akan pulang kembali ke kota asalnya.

Mata Mera masih sembab, dia masih menangis. Penyesalannya sangat dalam. semuanya dia berikan kepada Ben, cinta tulus, waktu dan dirinya. Mera tahu, dia tidak boleh terus menangisi Ben dan hubungan terlarangnya. 

"Aku harus bisa melupakan semuanya." gumam Mera menatap kosong ruang tamunya. Begitu banyak kenangannya dengan Ben. Bagaimana pun Ben adalah Cinta pertamanya. Mera menepuk pipinya.

"Sudahlah dasar Mera bodoh." Mera mengomentari dirinya sendiri. 

Ting tong

Seseorang membunyikan bel pintunya.

"Cepat sekali Jim sudah balik.?"
Mera beranjak menuju pintu, dan membukanya.

"Jim kok cepat cari...?"

Ternyata Ben yang berdiri di depan pintunya. Mera terkejut.

"Be... Ben? Kenapa kamu datang kemari? Aku pikir kamu tidak akan menemuiku lagi." Ada rasa senang di hati Mera, ternyata Ben masih menemuinya sebelum dia pergi meninggalkan kota itu.

Ben tidak menjawab, dia hanya diam.

Dari lubuk hatinya, Mera masih mencintai pria ini. Mera sadar membiarkan Ben menyakiti hatinya, Apalagi dia berbohong soal pernikahannya.

"Ben, Aku besok pulang ke kota asalku."

Ben tetap diam, wajahnya datar memandangi Mera. Tapi Mera berharap Ben mau memeluknya dan mengucapkan perpisahan kepadanya.

"Mera, aku sangat menyukaimu, sampai aku tidak mau jujur soal pernikahanku."

Mera hanya diam, Ben mendekatinya, membelai rambutnya.

Mera berpikir Ben akan memeluknya.

"Tentu saja karena ulahmu, istriku sangat murka. Kami hampir saja bercerai! Dia juga mengancam pekerjaanku untuk melaporkan hal ini ke Dekan." Ben menarik rambut Mera, Ekspresi Ben terlihat sangat marah.

"Kamu hampir saja menghancurkan keluargaku dan karirku!." Ben membentak Mera. Semakin marah, Ben semakin kuat menarik rambutnya.

Mera terkejut. Mera tidak merasa melakukankan apapun, bahkan dia tidak tahu Ben sudah menikah! Cincin pernikahannya pun tidak ada. Dia belum pernah melihat Ben seperti itu. dengan sekuat tenaga Mera berhasil mendorong Ben dan segera menutup pintunya.

Ben menendang pintu itu dengan keras, hingga Mera terjungkal. Ben mendekati Mera yang kesakitan. Ben tertawa dia nampak puas melihat Mera kesakitan

"Mera, jangan sampai kamu muncul lagi di hadapanku. Kalau suatu hari, aku sampai bertemu denganmu lagi, aku bisa sekali membunuhmu tanpa ada orang yang tahu!." Dengan Emosi, Ben mencengkram dagu Mera.

"Jangan lupa kata-kataku ini perempuan tolol!." Ben memakinya.

Suara bentakan dan makian Ben sangat keras di telinga Mera. Suara-suara itu Ben masih melekat jelas di ingatan Mera. Sering sekali Mera tiba-tiba terbangun di tengah malam, karena terkejut mengira Ben ada di depan ranjangnya dan memakinya. Hal itu selalu berulang, hingga merubah Mera menjadi mudah cemas.

Mera adalah duck syndrome menyembunyikan perasaan kecemasan dan ketakutannya dan terlihat baik-baik saja. Mimpi tentang Ben itu mulai mengganggu setiap Mera terlelap. Sampai dia sempat tidak berani tidur. Entah kenapa Mera tidak berani menceritakan hal ini dengan siapa pun. Selama beberapa tahun, kondisi itu mulai hilang karena Mera memutuskan untuk terapi dengan Dokter Psikiater. Di sanalah Mera bertemu dengan Arini.

MERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang