Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hidup matiku kehendak Tuhan. Tapi jika manusia yang menginginkan kematianku, haruskah ku penuhi?
_________
Hari Sabtu yang cerah, banyak orang menghabiskan waktu libur akhir minggu bersama keluarga. Atau ada juga yang memilih berpergian dengan sahabat maupun kekasih.
Berbeda dengan cara orang lain menikmati hari, Sansekerta sudah senang memakai setiap menit yang ia punya untuk bekerja, memasak pesanan catering beberapa pelanggan.
Kebetulan ada pesanan cukup banyak. Bunga - istri ketua RT di kampung sebelah, memesan jamuan makan siang pada Lestari karena akan mengadakan arisan di rumahnya.
Mengetahui jika masakan Sansekerta terkenal lezat, Bunga jadi tak tanggung-tanggung memesan sebanyak 50 kotak nasi meski yang ikut arisan hanya 25 orang. Katanya yang sisa akan dibagikan pada bapak-bapak yang kebagian tugas kerja bakti.
"Nak, sayurnya habis, nggak ada sisa," ujar Lestari usai mengisi kotak terakhir dengan lauk pauk, kemudian menatap anaknya sendu. "Nanti kamu makan sama apa? Ibu nggak ada stok sayur lagi, belum dapat jatah dari Bu Zaenab."
Bibir Sansekerta bergerak seiring menggoyangkan tangan kanannya. Gapapa. Ata juga belum laper.
Kemudian Sansekerta menunjuk nasi yang tersisa dibakul dan mengangkat botol kecap yang isinya tak sampai setengah. Tangannya bergerak menirukan gaya orang makan dan tersenyum.
Ata bisa makan pakai kecap.
Melihat anaknnya yang tersenyum seakan semuanya baik-baik saja, membuat Lestari bersedih sekaligus bersyukur dikaruniai seorang anak yang kuat dan hebat.
"Maaf ya, Nak. Kamu harus ngerasain hidup sederhana kaya gini. Maaf ibu belum bisa kasih kehidupan yang layak buat kamu," ucap Lestari dengan senyum tipis.
Sansekerta yang sedang mengumpulkan wajan dan piring kotor, menghentikan kegiatannya dan menghampiri Lestari.
Dengan senyuman hangat Sansekerta merengkuh ibu yang amat disayanginya. Pelukan itu menandakan bahwa Sansekerta tidak pernah mempermasalahakan kehidupan yang mereka jalani, justru bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup meski serba kekurangan.