10 | Permintaan

2.5K 519 45
                                    

Mulut memang diciptakan untuk bersuara kata namun bukan cacian semata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mulut memang diciptakan untuk bersuara kata namun bukan cacian semata.

_______

Sejak semalam, alat bantu dengar Sansekerta menghilang. Meski sudah berkali-kali mencari dan menyusuri semua tempat di kamar dan sekeliling rumah, benda penting itu tak kunjung ditemukan.

Sebentar lagi sudah waktunya Sansekerta berangkat ke sekolah. Sekali lagi, lelaki itu mengecek tempat tidur sampai ke kolong nya, namun tidak juga terlihat benda yang dicarinya.

Lestari yang baru saja selesai menyiapkan bekal, masuk ke kamar dan menepuk pundak sang anak agar menghadapnya. "Sudah ketemu?"

Mengandalkan mata untuk melihat gerakan bibir Lestari, Sansekerta menggeleng sebagai jawaban. Wajahnya nampak tertekan karena kehilangan benda yang sangat penting untuk menunjang kesehariannya. Ditambah lagi, harga barang itu tidak murah. Sansekerta tidak ingin membebani Lestari untuk membelikannya lagi.

"Sudah mau jam 7," ucap Lestari seraya menunjuk jam dinding membuat Sansekerta makin kelimpungan. "Atau kamu libur aja hari ini?"

Sansekerta memiringkan kepala menatap Lestari. Dengan sabar sang ibu mengulangi ucapannya diiringi gerakan tangan.

"Kamu hari ini gak usah sekolah," Lestari menggoyangkan kedua tangannya.

Paham dengan apa yang dikatakan ibunya, gantian Sansekerta yang mengibaskan tangan sambil menggeleng. Menyampaikan bahwa ia tidak mau membolos.

"Yasudah, kamu berangkat nanti telat," ujar Lestari lembut sembari memasukan kotak bekal ke dalam tas dan menyuruh Sansekerta supaya bergegas. "Nanti ibu bantu cari lagi habis pulang dari rumah Bu Marta."

Kepala Sansekerta mengangguk lemah. Rasa semangat yang setiap pagi membara, sekarang menguap entah kemana. Lelaki itu mendesah pelan, membayangankan betapa sulitnya belajar di sekolah tanpa bisa mendengar apapun. Jika di SLB mungkin Sansekerta tidak akan kebingungan seperti ini, lain halnya di sekolah umum. Terlebih di sekolah, Sansekerta tidak pernah mendapat perhatian khusus.

Akhirnya Sansekerta berpamitan pada Lestari kemudian mengendarai sepedanya penuh kehati-hatian. Berusaha supaya tidak mencelakai diri sendiri maupun orang lain.

Sampai di sekolah, perasaan cemas Sansekerta makin bertambah. Harusnya dia merasa lega karena tidak mendengar olokan orang-orang yang berpapasan dengannya di sepanjang lorong. Tapi kali ini tidak, seolah dunia memang sangat jauh dari jangkauannya. Padahal sudah biasa Sansekerta tak mendengar suara apapun.

Untuk pertama kalinya Sansekerta melihat Sembagi lebih dulu datang daripada dirinya. Gadis itu duduk di bangkunya sambil menelusupkan kepala di selipan lengan.

Sansekerta melewati belakang bangku Sembagi perlahan, takut membangunkan gadis yang tengah menyelami alam mimpi itu.

Cukup lama Sembagi tertidur, terlihat sangat nyenyak. Bahkan saat bel masuk berbunyi, tidak ada tanda-tanda Sembagi akan bangun.

Bahasa Sansekerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang