Mungkin ini bukan akhir yang diharapkan, dan semua manusia berhak mendapatkan akhir yang bahagia maupun tidak. Dan inilah kisah dari manusia-manusia yang menuai apa yang ia tanam.
________________
Hiruk pikuk kota Jakarta tak pernah padam, apalagi kala malam. Di pusat kehidupan dunia malam, tepatnya di sebuah club, tempat dimana para manusia modern datang guna melepas penat, Arizona duduk di sofa pojok bersama teman-temannya. Tangan Arizona memegang segelas wishky dengan wajah sayu, sementara Sabrang telah sibuk berjoget di dance floor.
Gelora yang juga menikmati alunan musik itu hanya menggoyangkan kaki dan bahunya di sebelah Arizona, ia tidak tega meninggalkan sahabatnya itu dengan bersenang-senang. Gadis itu tahu jika Arizona sedang tidak baik-baik saja setelah memutuskan perjodohan dengan Sembagi. Walau dalam hati Gelora merasa senang dengan keputusan tersebut, ia tetap ingin menunjukan simpatinya pada Arizona.
"Udah cukup," uajr Gelora merebut botol kala Arizona ingin menuang isinya ke gelas. "Lo udah mabuk, anjir."
"Apa sih, Ra! Gue gak mabuk," kilah Arizona kesal.
"Lo kalo udah sewot berarti mabuk!"
Karena tak berhasil mendapat minuman yang ia inginkan, akhirnya Arizona menyerah dan menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Arizona meraup wajahnya kasar, suara musik yang berdentum membuat kepalanya sakit.
Sejujurnya, Arizona ingin tetap terlihat baik-baik saja, sialnya ternyata Sembagi begitu mempengaruhi pikirannya. Namun jika ditanya apakah ia menyesal setelah membatalkan perjodohan, maka jawabannya adalah tidak. Benar kata Sembagi, ini jalan terbaik bagi mereka agar tidak banyak pihak yang tersakiti.
"Tapi sekarang, gue doang yang sakit," gumam Arizona pelan. "Fuck."
"Harusnya gue gak sampai begini cuma buat mikirin cewek kaya Agi," monolog Arizona yang tak didengar siapapun. Lelaki itu terkekeh bodoh. "Dia gak ada apa-apanya dibanding cewek-cewek yang pernah gue mainin."
"Ar...,Ari!"
Panggilan Gelora hanya dibalas gumaman oleh si pemilik nama. Arizona benar-benar malas diajak berbicara, ia ingin menikmati sakit hati pertamanya setelah perceraian orang tuanya dulu.
"Ck, gak usah melow gitu. Gak cocok sama lo, Ar. Lo kesini harusnya seneng-seneng kaya biasa," celetuk Gelora sembari menyesap cocktailnya.
Melihat Arizona yang tak bergeming, membuat Gelora kesal. Tetapi sekarang bukan saatnya untuk marah, Gelora tahu Arizona hanya butuh pencerahan dan kata-kata penenang, maka lelaki itu akan sadar jika ia hanya membuang waktu untuk meratapi hubungannya dengan Sembagi.
"Ar, gue udah kenal lo dari jaman kita belum bisa ngomong. Gue paling tau lo orangnya kaya gimana, dan Ari yang gue kenal gak pernah terburuk kaya gini gara-gara masalah cewek doang," ujar Gelora panjang lebar. "Lo ganteng, baik, kaya, ramah, punya segalanya. Jadi jangan karena ditolak sama cewek, lo merasa hidup lo hancur. Masih ada kita sahabat lo, lo masih punya gue, Ar."
Lamat-lamat sudut bibir Arizona terangkat samar. Perkataan Gelora yang terkesan santai itu mampu membuat Arizona tersadar, setidaknya ia harus menghargai perhatian sahabatnya. Lagipula ucapan Gelora ada benarnya, tak masalah kehilangan satu perempuan dalam hidupnya. Orang pasti datang dan pergi, entah bagaimana caranya.
"Sok bijak lo," canda Arizona mengusak rambut Gelora gemas.
Gadis itu berdecak sebal sambil merapikan rambutnya. "Gue bukan bijak, cuma ga suka aja liat lo murung begini."
"Thanks, Ra." Gelora menatap Arizona yang juga memandangnya dengan sorot sayu. Detik berikutnya Arizona menarik bahu Gelora ke dalam pelukannya. "Lo emang sahabat terbaik gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahasa Sansekerta (Selesai)
Подростковая литература"𝙰𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚋𝚎𝚍𝚊. 𝚃𝚊𝚙𝚒 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗𝚔𝚊𝚑 𝚍𝚞𝚗𝚒𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚑 𝚙𝚎𝚛𝚋𝚎𝚍𝚊𝚊𝚗. 𝙻𝚊𝚗𝚝𝚊𝚜 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚙𝚊 𝚊𝚔𝚞 𝚍𝚒𝚊𝚜𝚒𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗?" Sansekerta harusnya punya banyak teman dan digandrungi banyak perempuan. Parasnya...