Mirélen [Part 43]
Ditengah temaramnya lampu di dalam kamar itu, Mirele masih setia menekuk kedua kakinya sebagai tumpuan bagi wajahnya. Mirele duduk di atas tempat tidurnya, masih terngiang-ngiang seluruh perkataan Galen beberapa jam yang lalu yang terus berputar di benaknya.
“Kenapa kak Galen bisa tau sih,” Gumamnya, “Gue-gue ga bisa janji apapun ke lo kak, bahkan ke diri sendiripun gue ga bisa.”
Cuaca malam hari itu sepertinya sangat mendeskripsikan suasana hati dari Mirele saat itu. Hujan disertai gemuruh, seperti itulah kira-kira isi hatinya sekarang.
“Gue bukan orang yang tepat buat lo kak. Gue cuma cewek sakit-sakitan yang bakalan selalu buat lo susah.”
“Gue-gue bukannya gak berjuang, gue udah berjuang sebisa gue. Tapi waktu terus berjalan, penyakit gue gak lagi dalam kategori bisa disembuhkan.”
Andai saja dia bisa berkata demikian saat tadi Galen masih ada di sampingnya. Sayangnya, Mirele memang sepecundang itu. Dia hanya bisa diam tadi, tidak ada kata yang bisa ia jabarkan untuk menjawab ucapan Galen, seakan kalimat yang sempat tertata apik di benaknya tiba-tiba sirna begitu saja begitu melihat bagaimana raut wajah Galen ketika menatapnya.
Mirele memejamkan matanya, berharap ada satu hari saja dimana dia bisa hidup layaknya manusia normal yang tidak membawa beban penyakit di tubuhnya.
Tangan yang semula menekuk di antara lipatan kakinya kini bergerak dengan cepat ke arah nakas, mengambil kotak obat miliknya yang sejak kemarin tidak di konsumsinya.
Mirele mengambil sebulir obat yang langsung ditegaknya tanpa air sedikitpun. Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya, memeluk bantal dengan erat dan menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya.
***
Keringat dingin mengucur di sepanjang wajah gadis itu, tidurnya terusik, badannya bergerak gelisah, Mirele bangun begitu merasakan sakit di tubuhnya terutama bagian punggungnya. Gadis berpiama Abu itu menghidupkan lampu kamarnya dengan cepat, berjalan ke arah kamar mandi dengan linglung. Apa yang terjadi dengannya saat ini pernah ia alami beberapa kali sebelumnya.
Dini hari pukul 3. Mirele merasakan gerah di tubuhnya, jadi dia memutuskan untuk mencuci wajahnya di dalam kamar mandi agar mungkin dapat sedikit mengurangi rasa panas itu.
Gadis itu kemudian keluar dari kamar, AC di kamarnya tidak mengurangi rasa gerah yang dirasakannya. Punggungnya masih sakit, karena merasa tidak tenang, dan sedikit tidak enak badan, Mirele memilih keluar dari dalam kamarnya menuju dapur untuk mencari udara segar.
Dia kembali ke kamarnya membawa secangkir susu hangat. Gadis itu duduk di meja rias, menatap pantulan dirinya yang terlihat sedikit pucat pagi itu.
Rambutnya tampak kusut, Mirele mulai menyentuhnya, meraba dari atas kepala hingga rontokan rambut itu terasa nyata ditangannya.
“Gue belum siap kehilangan rambut ini.” Gumamnya kecil, “Gue pasti jelek nanti. Gak, pokoknya lo harus bertahan.”
Mirele memutuskan untuk mendiamkan saja rambutnya yang sudah terlihat tipis itu. Lebih baik lagi dirinya pura-pura tidak tahu mengenai rambutnya yang sudah sangat parah keadaannya dibandingkan dengan dia harus mencukur rambut kebanggaannya itu. Tidak!
“Tubuh gue akhir-akhir ini kenapa jadi lemah gini sih? Udah waktunya banget emang?”
“Gabisa lebih lama lagi apa? Gue 'kan udah rajin minum obat, ya— walaupun masih bolong-bolong.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirélen [END]
Teen FictionKisah mereka dimulai ketika Mirele dipertemukan dengan Galen, kakak kelas yang menabraknya di halaman sekolah. Galen itu warna baru bagi Mirele, sementara Mirele itu kepingan puzzle bagi Galen. Keduanya seperti dua ujung tali berbeda yang disambung...