3. Badness

14.5K 1.4K 131
                                    


Mirelen [part 03]

•••

Pagi ini Mirele merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. karena akibat tidak memasang alarm kemarin malam, dirinya menjadi telat datang ke sekolah.

Mirele memperhatikan Gerbang sekolah yang tertutup rapat dengan helaan nafas gusar. Gadis itu berbalik badan, memasang kembali earphone di kedua telinganya lalu mulai melangkah menjauhi area sekolah.

Mirele bingung ingin kemana sebenarnya. Ia seperti tidak punya arah tujuan. Jadi Mirele memutuskan memberhentikan angkot lalu masuk ke dalamnya.

Di dalam angkot Mirele hanya diam. Tak memperdulikan ibu ibu yang mengomeli anaknya ataupun suara kokokan ayam yang sangat berisik yang dibawa oleh seorang kakek tua.

Mirele fokus dengan pandangan kosong sembari mendengarkan lagu.

"Diam! Ibu pusing denger kamu nangis terus."

Mirele yang semula acuh dengan keadaan mulai tertarik pandangannya ke arah ibu ibu yang sejak tadi terus memarahi anaknya. Mirele menarik kabel earphonenya perlahan.

"Ta- tapi ini sakit Bu.. hiks," Anak perempuan yang mengenakan seragam taman kanak kanak itu terisak sedih. Mirele memperhatikan lutut anak itu, ada luka yang cukup besar disana.

"Gak usah cengeng. Ini juga bakalan sembuh." Ibu itu menggeplak luka anaknya yang membuat sang anak semakin terisak.

Mirele membulatkan matanya menyaksikan itu. Apa apaan ibu itu. Apa begitu caranya menenangkan seorang anak?

"Ibu gak pantes disebut seorang ibu jika kasar kayak gitu." Celetuk Mirele yang langsung menarik perhatian ibu itu.

"Jangan ikut campur kamu, jangan sok suci juga. Saya liat liat dari dandanan sama gaya kamu kayak cewek murahan."

Mirele diam. Gadis itu menarik sudut bibirnya.

"Saya emang bukan orang yang pantes disebut baik baik. Tapi saya masih punya akal untuk inget kalau dosa itu ada."

"Seenggaknya saya gak bejat kayak ibu," lanjut Mirele sarkas yang mampu memancing emosi ibu itu.

"Gak sopan sekali ya kamu."

"Orang kayak ibu gak pantes di disopanin. Sama darah daging sendiri aja jahat."

"Tutup mulut kamu." Ibu itu hendak menarik kasar tangan Mirele. Tapi kakek kakek yang sejak tadi diam di samping Mirele menahan tangan ibu itu.

"Jangan suka main kasar. Tangan kamu ini terlalu sering menyakiti orang." kakek itu menyentak kasar tangan ibu itu. Mirele memandang itu dalam diam.

"Anak kamu masih kecil, jangan dikasari. Kamu gak bakalan pernah tau perbuatan kamu ini berdampak apa bagi dia kedepannya." nasehat kakek itu yang tak digubris ibu itu.

"Pak! Berhenti disini," Ibu itu terlanjur muak dengan Mirele dan kakek tua itu, setelah angkot berhenti, Ibu itu menarik tangan anaknya mengajaknya keluar dari dalam angkot.

"Kamu tidak apa apa nduk?"

Mirele menoleh. Tersenyum singkat ke arah kakek tua itu "Gapapa kek, makasi."

Kakek tua itu mengangguk. Angkot itu berhenti, Mirele mulai menggendong kembali tas sekolahnya lalu keluar dari dalam angkot. Sebelum itu, ia menoleh sebentar ke arah si kakek.

"Kakek manggil namaku?"

Kakek tua itu menggeleng, mengelus ayam yang dibawanya "Tidak,"

Mirele mengerutkan dahi. Perasaan ada yang memanggil namanya tadi. Jelas jelas ia tak salah dengar.

Mirélen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang