24. Useless

6K 869 190
                                    

Mirelen[part 24]

•••

"Selamat siang, pak." Kepala sekolah dan pak Yudhatama saling menjabat tangan.

"Selamat siang juga, pak Anton."

Mirele masih memperhatikan pak Yudhatama yang merupakan seorang kakek yang beberapa kali dilihatnya beberapa hari belakangan ini itu dengan pandangan berbeda. Dia sedikit ragu awalnya, tapi- Mirele pernah melihat kakek itu mengenakan jas, jadi pasti mereka orang yang sama.

Jadi, selama ini kakek itu menyamar?

Pandangan pak Yudhatama terarah ke arah Mirele. "Senang bertemu kembali, Aydhia."

Semuanya tercengang, termasuk Mirele. Gadis itu berkedip beberapa kali. Pak Yudhatama tau nama depannya? Nama depannya yang bahkan jarang sekali diketahui orang-orang.

"Bapak mengenal Mirele?"

"Tentu saja, dia cucu saya."

"A-apa!?" Semuanya tercekat. Mirele berdiri kaku, apa yang dimaksud pak Yudhatama? Cucu?

"Cucu?" Gibran beralih menatap Mirele. "El?"

"Cucu apa maksud bapak?" Mirele merasa detak jantungnya semakin berpacu. Aura, Gege, dan Sinta sudah berkeringat dingin di posisinya.

"Saya kakek kamu, Aydhia. Yoga adalah anak saya," Pak Yudhatama tersenyum.

Mirele masih belum mengerti dengan semua ini. Ini seperti lelucon baginya. Bagaimana bisa pak Yudhatama tiba-tiba mengakui dirinya sebagai cucu?

"Hah?" Fazan berkedip-kedip.

Semua yang ada di ruangan itu berdiri kaku. Sementara pak Yudhatama tersenyum simpul, dibenarkannya letak jas hitamnya. "Bisa kita duduk?"

Kepala sekolah mengangguk. "Te-tentu."

Kepala sekolah mempersilahkan pak Yudhatama duduk. "Kalian semua boleh duduk."

Yang lainnya beralih duduk, kepala sekolah sedikit mendekati Bu Tutik, kemudian berbisik. "Apa yang harus saya katakan?"

Bu Tutik ikut menggeleng. "Saya tidak pernah mengetahui fakta ini sebelumnya, pak."

Pak Yudhatama berdehem, menarik seluruh atensi mengarah ke arahnya. "Saya Abraham Yudhatama. Pemilik baru SMA Dewara,"

"Dan- seperti yang sudah dijelaskan mungkin oleh pak Anton, saya tidak menerima sumbangan dana dari siapapun mulai sekarang."

Aura menundukkan pandangan.

"Mengenai peraturan tata tertib dan juga keadilan di sekolah ini tempo dulu, saya sungguh menyayangkan itu semua. Kurangnya keadilan akan menambah banyaknya siswa-siswi yang semena-mena disini. Bukan cuma murid, guru-guru pun sering kali berlaku tidak adil sesama anak didik mereka."

"Pak, maaf-"

Pak Yudhatama mengangkat tangannya, meminta pak Anton untuk menghentikan ucapannya.

"Selain Mirele adalah cucu saya, Mirele juga seorang murid disini. Saya tidak berbicara seperti ini hanya karena Mirele adalah cucu saya, saya juga berbicara seperti ini untuk keadilan anak didik saya. Jadi- Kalian bertiga saya berikan hukuman skorsing satu bulan, dan panggilan orang tua tetap dijalankan."

Mirélen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang