BAB IV "Gara-gara Anjing"

364 9 0
                                    

Setiap hari, setiap aku membuka mata di pagi hari. Harapanku adalah agar aku bisa segera move on dari kamu. Menyakitkan rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Sangat menyiksa rasanya cinta dalam diamku.

"Inilah aku seseorang yang mencintaimu dalam diam.
Yang berjuang sendiri untuk mendapatkan cintamu.
Yang selalu menyebut namamu di setiap doaku.
Yang selalu berharap kamu adalah jodohku."

Sampai detik ini aku masih belum bisa melupakan kamu. Aku masih saja kepoin sosmed kamu. Aku tahu yang aku lakukan ini hanya akan bikin aku tambah sakit hati. Tapi aku belum bisa melupakan kebiasaanku dulu, yang selalu kepoin sosmed kamu. Tersenyum sendiri melihat foto kamu. Membayangkan seakan-akan aku ada di samping kamu. Foto bersama kamu berdua. Sayangnya Tuhan tak mengizinkan harapanku menjadi nyata. Bukan aku yang kini ada di samping kamu. Tapi dia yang kini sudah sah menjadi istri kamu.

Sedih? Iyalah. Pasti. Siapa sih yang tidak sedih kalau orang yang dicintainya lebih mencintai orang lain?

Bahagia? Akan aku ciptakan. Karena aku tak ingin bersedih terlalu lama.

Obat yang paling manjur dari patah hati itu adalah bahagia. Tapi bisakah aku bahagia, jika tanpa kamu? Karena bahagiaku adalah "Kamu" memiliki kamu selamanya.

***

Kulihat seorang anak kecil sedang bermain bersama orang tuanya. Mereka terlihat sangat bahagia. Membuatku rindu akan sosok ayah di hidupku. Ayahku yang sudah lebih dulu pergi ke Surga. Meninggalkanku, ibuku, dan saudara-saudaraku. Aku sangat merindukanmu ayah. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, aku masih tetap merindukanmu ayah.

"Hai ayah apa kabar?
Bahagiakah ayah di sana?
Aku rindu ayah.

Bisakah ayah datang ke mimpiku?
Aku ingin bertemu ayah.
Karena aku rindu ayah."

Aku selalu ingin tahu, gimana sih rasanya punya ayah? Bahagiakah? Merasa ada yang melindungi? Ada yang menjaga? Kata orang cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Tapi bagiku, aku tidak tahu apa itu cinta pertama.

***

Hari Minggu yang menyebalkan. Banyak sekali kejadian di sekitarku yang membuatku kesal. Niatnya mau berolahraga lari pagi biar badan sehat. Tapi nyatanya malah melihat anak-anak muda yang sedang pacaran di taman. Bikin iri. Bikin frustasi. Masih muda sudah pacaran. Nah aku sudah tua masih saja jomblo. Seperti sedang menertawai diri sendiri.

Mengabaikan apa yang ada di depan mata. Itu jauh lebih baik. Daripada melihat bikin hati kesal. Fokus pada niat awal "Olahraga". Semalam banyak sekali makanan manis yang masuk ke perutku. Itulah kenapa hari ini aku harus berolahraga. Agar tidak gemuk. Bayangkan berapa banyak makanan manis yang kemarin masuk ke perutku. Es krim, coklat, dan beberapa cemilan manis lainnya. Sudah tidak terhitung lagi. Bahkan bungkus-bungkusnya masih berserakan di kamarku. Aku sudah bisa membayangkan saat ibuku masuk ke dalam kamarku. Beliau pasti berteriak memanggil namaku dengan nada marah. Makanya selain berolahraga, alasanku ada di sini adalah kabur dari omelan ibuku.

Aku tidak berniat membuat kamarku berantakan dengan bungkus-bungkus makananku semalam. Aku hanya masih malas untuk membersihkannya.

***

Di perjalanan pulang, aku bertemu dengannnya. Aku membencinya. Aku tidak menyukainya. Aku takut. Anjing itu terus menggonggong ke arahku. Apa yang harus aku lakukan? Banyak pasang mata melihat ke arahku, tapi tak satupun diantara mereka yang berani menolongku. Aku harus menolong diriku sendiri. Aku tidak mau digigit oleh anjing itu.

Sang pemilik anjing ke luar dari rumahnya. Lalu pemilik anjing itu berkata, "Tidak apa-apa, nggak usah takut. Anjingnya sudah jinak." 

Jinak? Jinak apanya coba. Gonggong terus gitu dari tadi. Gimana kalau tiba-tiba anjingnya mengigit aku? Rasanya ingin sekali memukul itu kepala pemilik anjingnya dengan batu besar yang ada di sebelahku. Biar sedikit waras.

Aku harus menolong diriku sendiri. "Berlari" hanya itu yang terlintas dipikiranku. Memberanikan diri untuk berdiri, dan dalam hitungan ketiga aku berlari sekencang mungkin. Tapi anjing-anjing itu malah mengejarku. Bahkan jaraknya semakin dekat denganku. Aku harus bagaimana? Kakiku sudah lelah untuk berlari lagi. Aku semakin terjebak saat kumelihat danau di depanku. Aku tidak bisa berenang.

"Byur." Akhirnya aku memilih menjatuhkan diriku ke danau. Seketika bayang-bayang tentang kamu berputar di kepalaku.

"Aku mencintaimu Raihan." Bahkan di detik terakhir kematianku, aku masih mengingatmu.

***

Saat ku buka mataku. Kulihat seseorang di depan mataku. Dia terus menyuarakan sesuatu kepadaku. Aku tidak begitu jelas mendengarnya.

"Raihan." Aku tidak tahu kenapa aku menyuarakan nama itu. Nama itu, aku berharap kamu yang saat ini menyelamatkanku. Nama itu, aku berharap kamu yang ada di sini saat ini bersamaku.

"Mbak mbak sudah sadar. Mbak nggak apa-apa kan?"

"Aku baik-baik saja. Terimakasih karena sudah menolongku." Anganku hilang saat ku tahu bukan kamu yang menyelamatkanku, tapi orang lain. Orang asing yang sama sekali tidak aku kenal.

Mati? Meninggal? Itu tidak terjadi kepadaku. Aku masih baik-baik saja. Aku masih bisa bernapas. Aku masih bisa bergerak. Aku masih bisa beraktivitas. Ada orang baik yang menyelamatkanku dari kematian. Menyelamatkanku dari rasa luka. Sayangnya itu bukan kamu, Raihan.

***

Rabu, 16 Februari 2022

Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang