Pagi-pagi sekali aku pergi keluar. Aku pergi tanpa berpamitan pada Livia dan Darren. Aku tidak ingin mengganggu istirahat mereka. Apalagi saat ini Livia sedang hamil. Aku takut kalau dia akan kecapaian karena aku terus merepotkannya.
Aku pergi ke makam Daffa. Entahlah saat ini yang ingin aku lakukan adalah curhat dengan Daffa.
"Hai Daffa. Apa kabar?"
"Kamu pasti bosan ya, karena aku terus ke sini."
"Jangan bosan ya Daffa."
"Tahu nggak, aku lagi kesel banget sama kakak kamu. Dia memintaku memberikan haknya. Tapi dia sendiri nggak pernah sekalipun bilang sayang dan cinta sama aku."
"Memang salah ya kalau kita ingin mendengar ungkapan cinta dari pasangan kita sebelum memberikan haknya."
"Aku tahu, kamu pasti juga akan bilang kalau itu salah. Sama persis dengan yang dikatakan Livia padaku."
"Memang sih itu salah. Aku juga menyadarinya. Padahal selama ini perhatian dari kak Vano padaku sudah lebih dari cukup. Masih aja aku belum puas. Masih aja aku mengharapkan hal lain. Padahal yang manis dimulut belum tentu manis di tindakannya juga. Seharusnya aku bersyukur punya suami seperti kak Vano."
"Aku sudah mencoba meminta maaf sama kakak kamu. Tapi dia malah nggak ngangkat telepon aku. Terus kemarin dia juga malah nggak pulang. Padahal aku nungguin dia. Aku juga udah masakin makanan kesukaan dia. Biar dia maafin aku. Tapi sepertinya percuma. Dia udah marah banget sama aku."
"Aku nggak marah sama kamu Risa." kata seseorang. Dia menghampiriku dan berjongkok di sampingku. Di samping makam Daffa.
"Kak Vano." kataku pelan.
"Maafin aku ya. Aku memang bukan orang yang biasa mengungkapkan cintanya." Kak Vano menggenggam tanganku. Dia juga menatapku. "Tapi di depan makam adik aku, aku akan bilang sama kamu kalau aku cinta dan sayang banget sama kamu Risa."
Mendengar ucapan kak Vano hatiku terasa berbunga-bunga. Yang tadinya sedih karena khawatir hubungannya akan berakhir. Tapi kini berubah bahagia hanya dengan satu kalimat saja.
"Kenapa senyum-senyum? Kamu nggak mau bilang sesuatu juga sama aku." kata kak Vano lagi.
"Enggak. Aku mau pulang." kataku lalu berdiri. Aku meninggalkan kak Vano yang masih terdiam di tempat. Dia pasti kesal karena tanggapanku yang seperti ini. Yaitu mengabaikan ungkapan cintanya dan malah berniat untuk pergi.
Setelah berjalan beberapa langkah ke depan. Aku kembali berjalan mundur. Aku menghampiri kak Vano lagi. Berjongkok di samping kak Vano. Aku meminta kak Vano menghadap ke arahku.
"Kak Vanoku sayang. Aku juga cinta dan sayang banget sama suami aku ini. I Love You." kataku tersenyum menatap kak Vano. Aku juga mengelus pipi kak Vano dengan cinta.
Di tempat lain aku melihat bayangan Daffa. Dia tersenyum kepadaku. Dia pasti juga bahagia karena akhirnya kisahku dan kak Vano berakhir bahagia.
"Makasih Daffa. Aku sayang kamu." kataku dalam hati.
***
Aku mengajak kak Vano pergi ke suatu tempat. Tempat ternyaman untuk melihat bintang.
"Aku masih ngambek tahu sama kak Vano. Kemarin kenapa kak Vano nggak pulang? Aku udah nungguin kak Vano semalaman." kataku.
"Aku pulang kok. Tapi pas aku pulang, kamu udah pergi sama Livia dan Darren. Aku juga ngikutin kalian sampai ke rumahnya mereka. Tapi pas aku mau masuk, aku bertemu Livia di depan. Livia memintaku untuk membiarkanmu menginap di rumahnya dulu. Ya udah aku pulang setelah itu. Aku tidak jadi menjemputmu." kata kak Vano.
"Kak Vano nggak bohong."
"Kamu bisa tanya Livia kalau kamu nggak percaya. Aku juga tahu kamu masakin makanan kesukaan aku kan. Aku udah makan itu."
"Terus kenapa kak Vano nggak ngangkat telepon aku? Aku pikir kak Vano marah sama aku."
"Mana bisa sih aku marah sama kamu." Kak Vano mencubit hidungku gemas. Membuatku jadi malu. "Kemarin itu aku lagi banyak kerjaan. Makanya aku nggak ngangkat telepon kamu. Terus waktu aku mau telepon kamu balik, ponsel aku mati."
"Maafin aku ya kak. Kemarin aku sempat berpikiran yang negatif sama kak Vano."
"Kamu pasti berpikiran kalau aku lagi sama perempuan lain. Atau kamu berpikiran aku selingkuhin kamu. Mungkin kamu juga berpikiran aku lagi bersama Bella. Masih cemburu sama Bella."
"Aku nggak berpikiran kak Vano lagi sama Bella. Atau jangan-jangan kak Vano emang lagi sama Bella ya kemarin." Aku menatapnya penuh kecurigaan.
Bukannya menjawab pertanyaanku, di detik selanjutnya kak Vano malah menciumku. Hanya sebentar seperti yang pernah ia lakukan beberapa waktu yang lalu.
"Ih kak Vano." Aku memukul kak Vano pelan. Kesal dengan kelakukannya yang menciumku tanpa Izin.
"Kamu nggak lupa kan Risa. Setiap kali kamu berpikiran yang negatif tentang aku. Aku akan mencium kamu seperti ini."
Aku mengerucutkan bibirku kesal. Hanya kesal di luar. Karena sebenarnya hatiku sangat bahagia saat ini.
"Kalau mau senyum, ya senyum aja. Nggak usah di tahan-tahan." goda kak Vano. "Pura-pura kesal padahal mau lagi tuh. Hahaha."
"Apaan sih kak?" Kataku kesal. Namun aku tidak bisa menyembunyikan lagi kebahagiaanku. "Udah malem. Pulang yuk kak." kataku mengajak pulang.
"Hahaha." Aku malah mendegar suara tawa dari mulut kak Vano. Dia nggak tahu apa kalau aku sedang malu karena ulahnya.
***
Beberapa bulan kemudian.
"Kak Vano." teriakku memanggil kak Vano. Aku keluar dari kamar mandi dan mencari keberadaan kak Vano.
"Ada apa sih teriak-teriak?" tanyanya yang kini sudah berada dihadapanku.
"Lihat nih kak." Aku menunjukan tespeck dengan dua garis merah di sana pada kak Vano. "Ada 2 garis. Aku hamil kak."
Kak Vano langsung memelukku setelahnya. "Kamu beneran hamil Risa? Alhamdulillah, akhirnya kamu hamil juga. Aku seneng banget deh." Tak hanya memelukku, dia juga menciumi kepalaku.
"Iya kak. Kita kabari ibu, mama, papa, sama yang lainnya yuk."
Setelah mengabari seluruh keluarga kita, aku lalu bersandar di kepala kasur bersama kak Vano.
"Kak." panggilku.
"Nanti kalau anak kita cowok, aku boleh ya namain dia dengan nama Daffa." kataku.
"Berarti nanti kalau anak kita cewek, aku juga boleh dong namain dia dengan nama Bella." kata Kak Vano.
"Iya iya tahu yang mantan terindah. Susah di lupain."
"Kalau terindah nggak bakal jadi mantan dong." Kak Vano tertawa setelanya.
"Bercanda Risa." katanya. Mungkin dia tahu kalau aku kesal dengan bercandannya. "Kamu boleh kok namain anak kita dengan nama Daffa kalau anak kita nanti cowok. Tapi kalau anak kita cewek, gimana kalau kita namain Sava atau Riva."
"Sava Riva?"
"Iya. Sava itu artinya Risa dan Vano, Riva juga sama artinya Risa dan Vano. Cuma pengambilan katanya aja yang berbeda."
"Bagus sih kak. Apalagi kalau anak kita nanti kembar cewek. Bisa dipakai deh itu nama Riva dan Sava."
"Kamu mau anak kembar?"
"Ya mau lah. Emang kak Vano nggak mau?"
"Apapun Risa mau cewek mau cowok. Mau kembar mau enggak. Aku nggak masalah. Yang penting anak kita nanti sehat." Kak Vano tersenyum menatapku. Begitu juga denganku, tersenyum menatapnya.
"I love you suami aku."
"I love you too istri aku sayang."
Di detik selanjutnya kak Vano menciumku.
***
Jum'at, 06 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RandomTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...