Aku terus memandangi ponselku sejak tadi. Berharap kak Vano meneleponku. Namun beberapa jam aku menunggu, tak ada sama sekali panggilan telepon darinya. Pikiranku semakin kalut. Aku benar-benar takut kalau kak Vano marah dan menanggapi serius permintaanku tadi. Aku masih belum mau bercerai dari kak Vano. Walaupun pernikahan ini tanpa cinta. Tapi aku tidak mau pernikahan ini berakhir. Aku masih ingin bersamanya.
Ku beranikan diriku untuk menelepon kak Vano lagi. Tapi ternyata ponselnya masih mati. Membuatku semakin frustasi.
"Hai." sapa kak Gilang duduk di sampingku.
"Hai juga kak Gilang." kataku tersenyum.
"Gimana suami kamu? Masih marah sama kamu?"
"Nggak tahu. Masih belum bisa dihubungi. Kayaknya beneran marah deh sama aku. Aku nggak mau cerai dari kak Vano."
"Kamu sayang banget ya sama suami kamu."
Aku mengangguk ragu. Karena sebenarnya aku pun juga tidak tahu perasaanku sendiri padanya. Sayangkah aku? Cintakah aku? Sepertinya aku hanya sudah mulai terbiasa bersamanya. Walaupun pernikahanku baru berjalan 2 bulan. Masih sebentar.
Selama itu juga aku belum menemukan alasan yang tepat untuk mengakhiri kebohonganku. Kehamilan pura-puraku yang hampir berjalan 3 bulan. Perut yang seharusnya semakin membesar, tapi masih sama rata tak ada bedanya. Kehamilan pura-puraku memang hampir sama dengan kehamilan Livia. Itulah kenapa aku selalu sukses berbohong. Karena aku sudah lebih dulu tahu apa jawabannya saat mertuaku dan Kak Vano bertanya tentang kehamilanku.
"Suami kamu nggak mungkin marah sama kamu Risa. Dia nggak mungkin langsung menuruti permintaan kamu yang mau cerai itu. Sepertinya dia itu sayang banget sama kamu. Buktinya waktu kamu hilang kemarin, dia yang paling khawatir sama keadaan kamu." kata Kak Gilang.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan kak Gilang padaku. Sebegitu khawatirkah kak Vano denganku. Lolly pun juga bilang begitu padaku. Membuatku semakin bingung untuk mencernanya.
***
Hari ini aku diajak livia untuk kontrol. Suaminya yang bernama Darren tidak bisa mengantarnya karena sedang ada meeting diluar kota. Situasi yang seperti ini bisa aku jadikan untuk alasanku sendiri. Berpura-pura aku yang sedang kontrol. Padahal cuma nganterin doang.
Masalah kemarin sama sekali belum terselesaikan. Kak Vano selalu menghindar saat aku ingin berbicara. Bahkan hari ini pun dia pergi pagi-pagi sekali tanpa berpamitan padaku. Seperti biasa dia kembali ke dirinya yang cuek dan dingin. Sampai detik ini aku masih bingung dengan sikap kak Vano yang selalu berubah-ubah. Kadang baik dan perhatian, tapi kadang juga dingin dan cuek. Mungkin waktu 2 bulan masih belum cukup untuk memahaminya.
"Makasih ya Risa udah nemenin aku kontrol hari ini." kata Livia saat kita hendak berjalan pulang. Setelah tadi diperiksa, aku dan Livia pergi ke kantin rumah sakit dulu. Soalnya tadi aku belum sempat sarapan pas di rumah.
"Iya sama-sama Livia. Itu kan gunanya sahabat. Saling membantu." kataku.
"Ah makin sayang deh sama kamu." Livia memelukku di detik selanjutnya. Aku pun membalas pelukan dari sahabatku itu.
"Kak Vano." gumamku pelan saat aku tak sengaja melihat kak Vano dari kejauhan. Aku menghampiri kak Vano yang ternyata tidak sendiri. Dia lagi bersama seseorang yang bernama Bella. Aku lalu membaca tulisan di depan pintu. Dr Farida dokter kandungan. Membuatku syok seketika.
"Kamu hamil?" tanyaku pada Bella tanpa basa basi. Bella mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaanku padanya.
Melihat itu aku tidak lagi bisa berkata-kata. Aku memilih pergi setelahnya. Air mataku turun tanpa aku minta.
"Risa." Aku mendengar namaku dipanggil oleh kak Vano. Namun aku tetap berjalan menjauh. Tak menghiraukan panggilan kak Vano sama sekali. Kak Vano terus berteriak memanggil namaku. Aku terus berlari menjauh darinya. Berlari keluar rumah sakit. Aku hanya ingin menyendiri saat ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sesakit ini rasanya dibohongi suami sendiri. Dia punya anak dari wanita lain. Walaupun aku tahu hal seperti ini pasti akan terjadi, karena aku pun sudah merebut kak Vano dari Bella. Memisahkan mereka dengan paksa. Tidak seharusnya aku marah. Karena ini semua adalah kesalahanku sendiri. Aku pun juga berbohong demi untuk bisa menikah dengan kak Vano.
"Risa awas." teriak kak Vano yang membuatku menoleh seketika. Aku melihat mobil melaju kencang ke arahku.
"Aaa." teriakku lalu semua terasa gelap.
****
"Daffa." kataku yang langsung memeluk orang yang ada di depanku saat ini.
"Ini beneran kamu kan Daffa. Ini bukan mimpi kan." Aku memandangi wajah Daffa. Memastikan kalau yang ada dihadapanku saat ini benar-benar Daffa. Daffa mengangguk. Membuatku kembali memeluknya. Karena aku begitu merindukannya.
"Aku kangen banget sama kamu Daffa. Aku nggak ingin berpisah lagi denganmu. Jangan pergi lagi. Jangan tinggalin aku Daffa."
"Kalau seandainya ini cuma mimpi. Aku nggak ingin bangun lagi. Karena aku selalu ingin bersama kamu Daffa. Hanya kamu yang bisa mengerti aku. Hanya kamu yang cinta dan sayang sama aku dengan tulus."
Aku masih memeluknya. Sangat terasa nyata pelukannya. Membuatku tak ingin melepaskan pelukannya.
"Risa. Aku bukan Daffa. Aku Vano." suara itu membuatku sadar. Tidak ada Daffa. Semua hanya khayalanku. Aku melepaskan pelukanku setelahnya.
"Maaf kak." kataku lalu kembali berbaring di tempat tidur. Memunggungi kak Vano. Karena aku masih kesal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.
"Gimana keadaan kamu? Tadi dokter bilang kalau kamu keguguran." kata Kak Vano.
"Keguguran kak?" tanyaku bingung. Aku berbalik arah melihat kak Vano.
Aku tidak hamil. Bagaimana bisa aku keguguran? Hal yang membuatku semakin bingung. Apa ini waktu yang tepat untuk bilang kalau aku tidak hamil. Karena sepertinya dia tahu tentang kebohonganku. Apa ini cuma akal-akalan kak Vano saja untuk menutupi kebohonganku. Sebenarnya apa yang ada dipikiran kamu kak Vano? Aku benar-benar tidak mengerti apa-apa tentang kamu.
Belum sempat aku mengetahui jawabannya. Mama dan papa mertuaku sudah lebih dulu datang. Mereka menangis memelukku. Sepertinya merekapun juga sudah tahu kalau aku keguguran.
"Risa yang sabar ya." ucap Mama Fara.
***
"Kak." panggilku. Mumpung mama dan papa mertuaku sudah pulang. Aku ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin saat inilah waktunya aku untuk jujur tentang kehamilan pura-puraku.
"Kenapa?" tanyanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi sih kak?" tanyaku balik.
"Tadi kamu habis ketabrak mobil. Terus kamu keguguran." jawabnya.
Cukup lama aku diam. Aku masih belum berani jujur. Aku takut kak Vano akan marah padaku.
"Soal Bella?" Hanya kalimat ini yang bisa kuucapkan.
"Bella memang hamil. Tapi bukan aku ayah dari bayi yang dikandung Bella."
"Terus kenapa kak Vano yang nganterin Bella buat kontrol? Kenapa nggak ayah dari bayi itu aja?"
"Karena ayah dari bayi itu nggak mau tanggung jawab."
"Permisi." ucap seseorang dari luar kamar dan mengetuk pintu kamar. Orang itu lalu masuk membawakan sekotak makan malam untukku.
"Mau makan sekarang?" tanya kak Vano lembut.
"Iya. Tapi disuapin." jawabku.
Kak Vano melirikku. Tatapan matanya mengisyaratkan kalau dia tidak mau menuruti permintaanku.
"Ya udah kalau nggak mau." kataku lalu mengambil sendok dari tangan kak Vano. Namun kak Vano menahannya. Seperti biasa dia selalu mengiyakan permintaanku. Hanya saja tanpa bersuara. Dengan muka datarnya ia lalu menyuapiku. Membuatku tersenyum bahagia. Walaupun kadang ngeselin, tapi dia baik juga ternyata.
"Dikunyah bukan senyum-senyum." kata kak Vano judes. Membuatku merasa kesal seketika.
***
Sabtu, 26 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RastgeleTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...