"Risa." panggil seseorang menarik tanganku.
"Daffa." kataku lirih, lalu aku memeluknya. Sangat erat, karena aku sangat merindukannya. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Karena yang kuingat hanyalah kegelapan.
Saat cahaya menyinari gelapku. Aku melihat sosok laki-laki yang tak lagi asing bagiku. "Raihan." kataku lirih. "Daffa mana?" tanyaku. Aku tidak tahu kenapa aku menanyakan hal itu. Karena yang kuingat beberapa menit lalu aku melihat Daffa. Dia tepat berdiri di depanku dengan senyumnya. Aku pun masih ingat betapa hangatnya pelukan Daffa.
"Risa sadar dong, Daffa udah meninggal. Kamu harus lupain Daffa. Jangan terus-terusan mengingat tentang Daffa. Yang ada itu bakal nyiksa kamu sendiri. Kamu lupa? Kamu hampir aja ketabrak mobil beberapa menit yang lalu. Untung aja tadi aku ngelihat kamu, dan bisa nyelamatin kamu. Coba kalau nggak? Apa yang akan terjadi? Mau kamu nyusul Daffa? Atau itu memang mau kamu?"
Aku menggeleng atas pertanyaan Raihan yang terakhir.
"Aku tahu kamu sangat mencintai Daffa. Tapi nggak kayak gini juga Risa. Hidup kamu itu masih panjang. Kamu harus tetap lanjutin hidup. Ikhlasin Daffa pergi. Aku yakin Daffa bakalan sedih kalau lihat kamu kayak gini Risa."
"Maafin aku Raihan."
"Aku nggak butuh permintaan maaf kamu. Yang aku butuh kamu tetap semangat jalani hidup kamu. Ada atau nggak ada Daffa kamu harus tetap bahagia Risa."
Aku tersenyum dengan semua yang dikatakan Raihan. Rasanya semangat itu kembali tumbuh saat aku mendengar nasihat Raihan untukku.
"Makasih ya Raihan. Makasih udah nyelamatin aku tadi. Makasih juga atas semua nasihat kamu. Aku janji aku nggak bakal sedih-sedih lagi. Aku bakal tetap semangat dan selalu bahagia."
"Nah gitu dong senyum. Gitu kan cantik. Nggak kayak tadi sedih mulu, jelek jadinya. Haha."
"Ih apaan sih. Nggak lucu tahu." Emang nggak lucu sih, tapi ucapan Raihan bikin aku tersenyum.
"Katanya nggak lucu, tapi kok ketawa sih. Hahaha." Raihan kembali menggodaku, membuatku sedikit kesal, namun juga membuatku bahagia.
Aku takut rasa itu akan kembali muncul karena kejadian hari ini. "Raihan, aku pulang dulu ya." pamitku kemudian.
"Ya udah aku anterin aja." kata Raihan menawarkan untuk mengantarku.
"Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri kok."
"Udah aku anterin aja. Aku takut kalau nanti terjadi apa-apa lagi sama kamu."
Raihan aku lebih takut kalau rasa itu kembali muncul karena kebaikan kamu hari ini. Aku takut aku tidak bisa mengontrolnya lagi. Asal kamu tahu Raihan butuh waktu sangat lama buatku untuk aku bisa move on dari kamu. Tapi melihatmu saat ini. Melihat kamu yang begitu peduli sama aku. Melihat kamu yang sangat perhatian sama aku. Aku benar-benar takut jika nanti rasa itu kembali ada. Kembali membuatku menjadi peran antagonis.
***
"Kamu kenapa bisa sama Raihan?" pertanyaan itu datang dari sahabatku Livia. Dia terlihat penasaran karena melihatku pulang diantar sama Raihan.
Aku pun menceritakan segala hal yang terjadi hari ini pada Livia. Mulai dari saat di mana aku bertemu Bella. Bella yang terus menyalahkanku atas kematian Daffa. Kesalahpahaman yang terjadi diantara aku dan Sherly. Sampai saat di mana Raihan yang menolongku dari kecelakaan yang hampir terjadi. Hingga akhirnya Raihan mengantarkanku pulang.
"Kamu masih ada rasa sama Raihan?"
Entah kenapa pertanyaan itu terasa sangat sulit untuk aku jawab. Padahal beberapa hari lalu aku sangat yakin kalau rasaku sama Raihan tak lagi ada. Yang kusuka, yang kusayang, yang kucinta hanya Daffa. Tapi kenapa saat ini aku merasa ragu akan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RandomTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...