Aku kehilangan bukuku. Buku segala tulisan tentang kamu. Kutulis juga anganku tentang kita di sana. Terakhir aku membawanya saat berolahraga kemarin. Aku ingat, aku menuliskan sesuatu saat itu. Lalu setelah itu aku lupa. Di mana aku harus mencari? Hilang sudah tulisanku tentang kamu.
Danau? Aku tak yakin meninggalkannya di sana. Seingatku, aku tak membawa apapun saat berlari. Bukuku tertinggal sebelum aku berlari. Aku yakin di tempat aku bertemu anjing, di sanalah aku meninggalkan bukuku. Tapi kenapa, saat aku mencarinya ke sana, tak ada tanda-tanda bukuku di sana? Sebenarnya di mana bukuku hilang?
Aku sudah lelah mencarinya.
"Ya udahlah Risa. Cuma buku doang. Beli lagi aja yang baru."
Semua orang bisa berkata seperti itu. Tapi aku tidak bisa mengikhlaskan bukuku hilang. Banyak tulisanku di sana. Ceritaku tentang kamu. Cerita tentang hidupku. Bukuku lebih berharga dari apapun. Dia adalah copian isi hatiku.
***
Buku baru. Tulisan baru. Cerita baru. Orang baru. Rasanya berbeda saat yang ada di tanganku bukan lagi buku lamaku. Kosong, masih bersih, tak ada coretan, seperti membuka lembaran baruku tanpa kamu.
"Aku tahu kamu sedih. Tapi nggak usah lebay juga Risa. Buku doang kamu tangisin sampai segitunya. Buku kamu yang hilang, itu pertanda kalau kamu harus benar-benar mengikhlaskan Raihan. Tak ada lagi Raihan, dan tak ada lagi cerita tentang Raihan. Kamu harus membuka lembaran baru dengan buku baru dan orang yang baru. Raihan itu bukan jodoh kamu. Jadi nggak usah mengharapkan Raihan lagi." Apa yang dikatakan Livia membuatku sadar bahwa aku benar-benar harus melupakan Raihan. Membuat cerita baru lagi tanpa kamu Raihan.
Aku akan mengikhlaskan bukuku hilang. Mengikhlaskan tulisan yang bertahun-tahun aku tulis tentang kamu. Mengikhlaskan juga perasaanku padamu. Selamat tinggal cinta masa laluku.
Lembar baru dengan harapan baru sedang menantiku. Secangkir kopi selalu bisa menemani malamku. Menemaniku menulis harapan baru. Melupakan kenangan lama. Tapi bisakah aku melupakan kenangan lamaku bersamamu?
***
Ashila mengajakku ke kafe. Katanya sih hangout. Bosen di rumah terus. Tapi nggak tahunya, dia cuma mau ngecengin gebetannya doang. Penyanyi kafe yang katanya ganteng banget gitu.
"Kak, dia ke sini. Dia pasti mau nyamperin aku. Gimana dong? Aku udah cantik belum kak?"
"Hai, kamu masih inget sama aku?"
"Kalian saling kenal?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Ashila saat tahu kalau cowok yang dia taksir bukan menghampirinya tapi menghampiriku. Ekspresi wajahnya terlihat bingung. Sama sepertiku. Pasalnya aku tidak mengenal cowok di depanku ini.
"Kamu siapa ya? Memang kita pernah kenal?"
"Pas di danau. Kemarin aku yang menolong kamu. Kamu inget kan?"
Laki-laki itu lalu mengajakku berkenalan. Belum sempat aku mengucapkan namaku, Ashila lebih dulu menyebutkan namanya. Membuat laki-laki itu menoleh sekilas ke arah Ashila. Ashila adalah adik sepupuku. Dia itu mudah sekali suka sama cowok. Apalagi cowok ganteng model Daffa gini. Pasti suka.
Sesaat setelah Daffa pergi, banyak sekali pertanyaan dari mulut Ashila untukku. Membuatku pusing untuk menjawabnya. Aku memilih pergi ke toilet daripada harus menjawab semua pertanyaan Ashila yang panjangnya melebihi 3 gerbong kereta api itu.
***
"Hai Risa. Masih inget kan sama aku? Nggak lupa lagi."
Daffa, laki-laki yang tempo hari menolongku. Laki-laki yang disukai sama Ashila. Aku tidak pernah tahu takdir apa yang selalu mempertemukan aku dan Daffa.
"Kamu suka ya sama cowok itu?"
Kenapa Daffa bisa bertanya seperti itu? Apa rasa sukaku sama Raihan terlihat jelas? Tapi kenapa Raihan tidak pernah sedikitpun tahu itu? Apa sebenarnya Raihan tahu, dan dia pura-pura tidak tahu? Apa ini cara Raihan menolakku secara halus? Menolak perasaanku dengan cara pura-pura tidak mengetahui perasaanku.
Seharusnya aku sadar kalau Raihan memang menolakku sejak awal. Seharusnya aku sadar Raihan tidak pernah mencintaiku. Seharusnya aku sadar cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
Mengikutimu sejak tadi rasanya hanya sia-sia. Menyadari yang kulakukan hanya membuang-buang waktu. Mencintaimu selama bertahun-tahun ternyata juga sia-sia.
Aku mengikutimu sejak dari rumahmu. Awalnya aku hanya iseng lewat rumah kamu. Aku hanya merindukanmu. Mungkin dengan lewat rumahmu, aku bisa melihatmu. Melihatmu dari jarak yang jauh. Tapi rasa penasaranku memuncak, saat aku melihatmu pergi tanpa istrimu. Siapa yang kamu temui malam-malam gini? Pacar baru? Gebetan baru? Selingkuhan kamu? Itu yang aku harapkan. Aku mempunyai bukti tentang perselingkuhan kamu. Memberikannya pada istri kamu. Istri kamu cemburu, dan akhirnya istri kamu mengajukan perceraian.
Ternyata aku hanya melakukan hal bodoh. Kamu pergi menjemput istri kamu. Tapi bodohnya aku masih tetap mengikutimu sampai ke kafe. Kalian makan berdua. Sementara aku hanya ditemani kursi kosong.
"Risa." Daffa memanggilku dengan lembut. Aku lupa ada Daffa di depanku. Daffa yang beberapa saat lalu datang dan menemaniku. Menemaniku menghalu tentang kamu.
***
Senin, 21 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RandomTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...