BAB XX "Dingin, Es Batu"

104 3 0
                                    

Aku berpamitan pada orang tua Daffa. Namun ibunya Daffa malah mengajakku untuk makan malam dulu. Ada rasa bahagia saat diperlakukan seperti keluarga sendiri di keluarganya Daffa. Mungkin kalau ada Daffa juga di sini kebahagiaan ini akan jadi lebih sempurna.

Ibunya Daffa bercerita banyak hal tentang Daffa. Cerita tentang Daffa membuatku jadi bersemangat. Ada banyak hal tentang Daffa yang ternyata tidak aku ketahui.

Bercerita tentang Daffa membuatku lupa waktu. Hingga tak terasa hari mulai sore. Aku pun pamit pulang. Tiara dan Raihan menawarkan diri untuk mengantarku. Namun aku menolaknya karena aku merasa tidak enak merepotkan mereka. Rumah Tiara dan Raihan itu tidak searah denganku. Apalagi kondisi Tiara yang sedang hamil muda. Tiara pasti butuh waktu yang cukup untuk istirahat. Sayangnya Tiara tidak menerima penolakanku. Tiara tetap memaksaku untuk ikut dengannya. Dengan berat hati aku pun akhirnya mengiyakannya juga.

"Tante, om, makasih ya buat hari ini. Risa pamit pulang dulu ya." pamitku pada orang tua Daffa.

"Vano." Ibunya Daffa memanggil Vano yang baru pulang entah dari mana. "Anterin Risa pulang ya." katanya yang membuatku syok, karena membawa-bawa namaku.

"Risa siapa?" tanya Vano. Pasalnya Vano tidak mengenalku. Aku pun juga tidak mengenalnya. Baru kali ini aku melihatnya.

"Ini Risa, pacarnya adik kamu Daffa." jawab ibunya Daffa memperkenalkanku pada Vano.

"Bisa pulang sendiri kan?" tanya Vano melirik ke arahku. Seoalah-olah pertanyaan itu memang ditujukan padaku.

"Kasihan tahu cewek pulang sendiri malem-malem gini." jawab Ibunya Daffa menjawab pertanyaan Vano.

"Tante, Risa kan pulang sama aku." kata Tiara kemudian.

"Biar Vano aja yang nganterin Risa pulang." kata Ibunya Daffa. Ia membujuk anaknya agar mau mengantarkanku pulang.

Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya Vano mengiyakan juga permintaan Ibunya. Dengan terpaksa Vano pun mengantarkanku pulang. Kehororan mulai terjadi saat aku hanya berdua saja dengan Vano di mobil. Dia tak berkata apapun selain menanyakan alamat rumahku.

"Makasih ya kak Vano udah nganterin aku pulang." kataku sesudah sampai rumah.

"Hemm." jawab Vano berdehem. Ia pun berlalu pergi setelahnya. Dia benar-benar dingin, pikirku.

"Dasar nyebelin. Pantes aja di selingkuhin sama Bella. Dingin gitu. Mana ada cewek yang betah di deket dia." gerutuku kesal.

***

"Cie cie gebetan baru nih. Atau malah udah jadian. Kenalin dong kak." kata Ashila menggodaku.

"Kakak capek mau istirahat." kataku yang langsung masuk ke dalam kamar, dan mengunci pintu kamarku dari dalam.

"Lhoh lhoh kak, kok dikunci sih. Aku ke sini kan mau menghibur kak Risa biar nggak sedih mulu mikirin kak Daffa." kata Ashila dari luar pintu kamarku. Dia protes dengan yang baru saja kulakukan.

"Kamu pulang aja Ashila. Kakak udah baik-baik aja kok. Kakak udah nggak sedih lagi."

"Beneran nih kak?"

"Iya Ashila. Udah kamu pulang aja."

"Oke. Ashila pulang dulu ya kak."

Setelah Ashila pergi, aku lalu membersihkan diriku. Kemudian bersantai tiduran sambil mendengarkan lagunya Daffa yang dibuatnya untukku. Setidaknya mendengarkan suaranya Daffa sedikit bisa mengobati rasa rinduku pada Daffa.

Aku pun mulai membuka lagi bukuku. Buku yang sudah lama kuanggurkan. Kehadiran Daffa adalah keajaiban bagiku. Daffa, dia selalu bisa menghiburku di saat ku sedih. Mencari segala solusi dari setiap masalahku. Hingga aku lupa menuliskan kisahku lagi di buku.

Kini aku ingin mengenang Daffa. Mengingat segala hal-hal manis bersamanya. Bahagiaku, sedihku, segalanya yang pernah kulakukan bersama Daffa. Dari awal kita bertemu, hingga perpisahan tragis yang terjadi di antara kita.

"Selamat Tinggal Daffa. Aku mencintaimu."

Kalimat terakhir yang ku tulis tentang Daffa. Menutup ceritaku tentang Daffa. Menutup kenanganku bersama Daffa.

Lagu yang kuputar sejak tadi tiba-tiba berhenti sendiri. Setelah aku lihat ternyata Tiara meneleponku.

"Hallo Tiara." sapaku lewat telepon.

"Hallo Risa. Kamu udah sampai rumah belum? Kamu baik-baik aja kan? Nggak diapa-apain kan sama kak Vano?" tanya Tiara bertubi-tubi.

"Iya Tiara aku udah sampai rumah. Aku baik-baik aja kok."

"Syukurlah. Oh ya Risa, besok kamu ke butik nggak?"

"Kayaknya nggak dulu deh. Aku izin nggak masuk lagi ya. Nggak apa-apa kan?"

"Iya nggak apa-apa. Tapi lusa masuk ya."

"Insya Allah ya Tiara."

"Jangan Insya Allah dong Risa. Kamu nggak lupa kan kalau lusa itu ada acara fashion show."

"Oh iya ya hampir aja aku lupa. Lusa ya acaranya? Iya deh lusa aku usahain masuk."

"Oke deh kalau gitu. Bye Risa. Selamat tidur."

"Bye juga Tiara."

***

Daffa, entah kenapa kamu selalu memenuhi ruang di kepalaku. Daffa, kenapa kamu ninggalin aku di saat aku yakin aku benar-benar mencintaimu.

Daffa, sampai detik ini aku masih saja memikirkan dirimu. Berharap hari-hari lalu hanyalah mimpi buruk.

Hari-hariku benar-benar sepi tanpa hadirnya kamu Daffa. Kamu yang selalu ada untuk menghibur hariku yang buruk.

Andai aku mampu menghentikan waktu. Andai aku mampu mengulang waktu. Akan kulakukan agar selalu bisa bersamamu Daffa.

Dear diaryku, semalam aku bermimpi tentang kamu Daffa. Kita bercanda, kita tertawa, dan kita bahagia. Rasanya aku tak ingin lagi bangun dari tidurku. Namun pagi tetap saja membangunkanku. Membuatku kembali kehilangan kamu.

Terlalu banyak kenanganku bersamamu Daffa. Hingga sulit bagiku untuk melupakanmu. Melupakan segala kenangan yang pernah kita lalui bersama.

Waktu terus saja berjalan maju. Tak membiarkanku sejenak untuk berhenti. Aku lelah terus berjalan sendiri tanpa kamu yang menemaniku.

Bahkan lagu yang kamu buat untukku saja masih terngiang-ngiang di kepalaku. Berharap bukan hanya suaramu yang bisa kudengar. Melainkan juga ada kamu yang bisa kulihat.

Sebucin inikah aku denganmu? Belum sempat kita jadian. Tapi kini kita sudah harus berpisah untuk selamanya.

Berdiam diri di rumah membuatku semakin mengingat tentang Daffa. Kehaluanku, ketidakmungkinan yang kuharapkan. Aku mulai berangan-angan. Hal yang tidak mungkin bisa kembali.

"Sadarlah Risa, ini kenyataan. Bukan cerita fiktif yang sering kamu tonton di televisi atau karangan yang kamu buat sendiri dan kamu yang menentukan akhirnya."

Aku mulai menghalu. Tidak lagi bisa mengontrol diriku. Imajinasiku mulai melayang-layang. Menyampuradukan kenyataan dan karangan.

Akupun lalu memilih untuk berjalan-jalan keluar. Setidaknya dengan berjalan-jalan sedikit bisa menghibur hatiku. Sedikit bisa melupakan Daffa.

Aku tidak tahu akan pergi ke mana. Aku hanya mengikuti langkah kakiku berjalan. Hingga langkah kakiku terhenti sendiri. Berhenti tepat di danau. Tempat yang mempertemukan aku dan Daffa. Tidak lama hanya sebentar, karena waktu itu aku buru-buru pergi setelah mengucapkan terima kasih padanya.

Aku mulai berjalan lagi. Lalu aku pun berhenti di sebuah kafe. Kafe yang sudah tidak asing lagi bagiku. Kafe "Lovely", kafe milik Daffa. Kafe yang dulu aku sempat bekerja di sana. Sebenarnya aku ingin melangkah pergi. Namun rasa lapar dan hausku membuatku memasuki kafe itu.

Aku memesan makanan dan minuman. Aku mengecek handphoneku sambil menanti pesananku datang. Sesekali aku mengarahkan pandanganku ke setiap sudut kafe. Hingga pandanganku terhenti pada sebuah panggung. Panggung di mana Daffa sering bernyanyi di sana. Dulu aku sering melihatnya bernyanyi dan melihatnya bermain gitar. Rasanya aku benar-benar rindu saat-saat itu.

***

Minggu, 01 Mei 2022

Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang