BAB IX "Pacaran Yuk"

138 7 0
                                    

Aku kaget saat melihat Daffa berada di depan rumahku. Daffa mengajakku pergi keluar. Awalnya aku menolak ajakan Daffa. Aku malas untuk pergi keluar. Namun pada akhirnya aku mengiyakan ajakan Daffa juga. Daffa mengajakku ke kafe. Tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Tempat di mana Ashila mengajakku menemui gebetannya. Tapi sekarang gebetannya malah mengajakku jalan. Gimana ya perasaan Ashila kalau tahu soal ini? Aku berharap Ashila tidak pernah tahu soal ini.

"Kemarin kamu kenapa pergi tiba-tiba?" tanya Daffa tanpa basa-basi.

"Aku nggak enak badan kemarin. Maaf ya kamu pasti jadi nyamuk ya diantara Livia dan Darren?" jawabku.

"Iya. Mereka pelukan, eh akunya cuma bisa melukin Handphone doang."

"Jangan iri sama orang pacaran. Masak lagi bikin dosa kamu ngiri sih. Ngiri itu sama orang yang lagi ngumpulin pahala."

"Masih inget aja sama kata-kata aku. Jangan-jangan kamu sering mikirin aku ya sampai kata-kataku aja kamu inget."

"Enggak. Inget sama perkataannya bukan berarti suka mikirin orangnya kan."

"Daffa."

Ada apa lagi ini? Kenapa setiap aku sama Daffa selalu saja ada seorang perempuan memanggil nama Daffa. Apa teman ceweknya Daffa banyak? Jangan-jangan Daffa suka modusin cewek-cewek lagi. Mungkin juga saat ini Daffa sedang modusin aku.

"Hai Tiara, suami kamu mana? " tanya Daffa pada perempuan itu.

Suami? Jadi perempuan itu sudah punya suami. Eh tunggu, Tiara? Sepertinya aku tidak asing dengan nama itu. Benarkah dia adalah orangnya. Aku penasaran, tapi aku terlalu takut untuk melihatnya. Jika dugaanku benar, berarti kamu juga ada di sini. Baru kemarin aku bertemu sama kamu. Masak iya, sekarang bertemu lagi. Padahal luka yang kemarin saja belum kering.

Aku menyibukan diri dengan cemilan-cemilan yang ada di meja depanku. Mengabaikan Daffa dan Tiara yang sedang mengobrol. Aku sedang menghitung berapa banyak kentang yang harus aku masukan lagi ke dalam mulutku, untuk aku bisa kabur setelahnya. Aku harus kabur sebelum dugaanku benar.

"Risa kenalin nih sepupu aku." Daffa memanggilku, mengenalkanku pada sepupunya yang bernama Tiara. Benar seperti dugaanku Tiara adalah istrinya Raihan.

Tak perlu menghitung lagi, aku harus benar-benar kabur saat ini. "Daffa, Tiara, aku ke toilet bentar ya." pamitku pada mereka. Raihan masih ada di parkiran, dan sebentar lagi Raihan pasti akan masuk kedalam kafe. Aku masih belum siap bertemu Raihan dan Tiara dalam satu tempat yang sama.

***

Setengah jam berlalu sudah, tapi aku masih setia didalam toilet. Sampai kapan aku harus berada di toilet? Aku tak sanggup bertemu mereka jika aku keluar. Apa aku kabur lagi saja ya? Mungkin kabur adalah pilihan terbaik saat ini.

"Daffa, kamu ngapain di sini? Ini kan toilet cewek." tanyaku pada Daffa. Pasalnya saat ini Daffa berada di depan toilet. Menyandarkan tubuhnya ke dinding, dan memasukkan satu tanganya kedalam saku celananya. Sesaat aku terpesona dengan ketampanan Daffa.

"Habisnya kamu lama banget sih di toilet. Aku pikir kamu kabur lagi." jawab Daffa.

"Kenapa juga aku harus kabur?" Pura-pura aku bertanya, walaupun sebenarnya aku memang berniat kabur.

"Karena kamu nggak mau bertemu sama Raihan."

"Jadi kamu udah kenal sama Raihan. Tapi kenapa waktu di kafe seolah-olah kamu nggak kenal sama Raihan."

"Waktu di kafe kan aku cuma nanya kamu suka nggak sama orang itu. Tidak menyebutkan namanya bukan berarti aku nggak kenal sama dia kan. Lagian kamu juga nggak nanya. Pertanyaanku saja belum kamu jawab. Kamu kabur gitu aja. Kenapa sih kamu suka banget kabur?"

"Siapa yang suka kabur?"

"Siapa ya?" Daffa membalikan pertanyaanku, seolah-olah dia sedang mengejekku. Karena jawaban dari pertanyaan kita adalah diriku. Aku yang suka kabur jika aku merasa terpojok.

***

"Kamu nggak lupa kan sama janji kamu?" tanya Daffa ketika kita mau pulang.

Beberapa jam yang lalu. Daffa bilang kalau dia jago nulis lagu. Sayangnya aku tidak percaya dengan ucapannya. Daffa yang tidak mau kalah, dia mengajakku untuk taruhan. Siapa yang kalah harus menuruti permintaan yang menang. Taruhannya adalah banyaknya tepuk tangan pengunjung kafe di saat Daffa tampil di panggung.

Aku yang kalah. Aku yang harus menuruti permintaan Daffa. Lagu bikinan Daffa memang bagus, tidak heran kalau pengujung kafe banyak yang suka dan bertepuk tangan buat Daffa. Apalagi suara Daffa yang juga bagus mampu membius setiap orang yang mendengarnya. Tidak seharusnya aku meragukan Daffa. Tidak seharusnya aku mengiyakan ajakan Daffa buat taruhan.

"Apa permintaan kamu?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku mengaku kalah, dan aku akan menuruti permintaan Daffa.

"Aku mau kamu jadi pacar aku." jawab Daffa.

"Nggak mau."

"Kenapa nggak mau? Padahal semua orang ngantri buat jadi pacar aku. Kenapa kamu malah nolak aku?"

"Emang kamu suka sama aku?"

"Enggak."

"Terus kalau enggak, kenapa ngajak aku pacaran?"

"Biar kamu cepet move on dari Raihan."

"Alasan. Bilang aja kamu suka kan sama aku?"

"Enggak. Aku nggak suka sama kamu."

"Oh aku tahu. Jangan-jangan kamu takut ya kalau aku bakal ngerebut Raihan dari sepupu kamu itu. Tenang Daffa, aku bukan orang jahat yang bakal ngerusak rumah tangga orang. Aku bukan tipe orang yang ngelakuin apapun cuma untuk memiliki orang yang aku cintai. Karena bagi aku melihat orang yang kucintai bahagia itu sudah cukup. Meskipun bahagianya bukan dengan aku."

Aku tidak mengerti, kenapa Daffa selalu saja membahas Raihan. Jangan-jangan selama ini Daffa dekat sama aku itu juga karena Raihan dan Tiara. Daffa ingin aku move on agar aku tak mengganggu hubungan Raihan dan Tiara. Ternyata Daffa dan Raihan itu sama saja hanya menganggap diriku orang yang tidak penting.

Bilangnya sih nggak cinta tapi ngajakin pacaran. Buat apa coba? Buat sepupunyalah. Aku tidak menyangka kalau ternyata Daffa adalah sepupu yang baik buat sepupunya. Kamu beruntung Tiara karena banyak orang yang sayang sama kamu. Tidak sepertiku yang tidak ada satu orang pun yang sayang denganku.

"Jadi kamu benaran suka sama Raihan?" tanya Daffa.

"Enggak." jawabku dengan cepat.

"Terus tadi kenapa bilang begitu?"

"Bilang apa?"

"Bilang cinta Raihan."

"Ngarang. Nggak ada ya aku bilang gitu."

Ternyata ajakan Daffa buat pacaran cuma jebakan doang. Daffa hanya ingin tahu bagaimana perasaanku sama Raihan. Kenapa aku bisa sebodoh ini coba? Seharusnya aku mengabaikan pertanyaan Daffa.

"Mau ke mana kamu?"

"Pulang."

"Hati-hati di jalan ya."

"Dasar Daffa nyebelin. Aku pikir dia mau mengantarkanku pulang. Ternyata cuma bilang hati-hati di jalan ya. Padahal dia tadi yang mengajakku keluar. Dasar cowok nggak bertanggungjawab. Ngebiarin cewek pulang sendiri malam-malam gini." gerutuku kesal.

"Ayo naik."

Aku melihat Daffa yang sudah berada di sampingku dengan motornya. Daffa mengajakku pulang bareng. Aku pura-pura menolaknya. Mengabaikannya dan tidak peduli dengannya. Biar Daffa tahu kalau aku lagi kesel sama dia. Biar Daffa tidak terus-terusan membahas perasaanku pada Raihan.

***

Jum'at, 11 Maret 2022

Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang