Aku melirik ke arah kak Vano yang sedang menyetir di sampingku. Mukanya terlihat sangat kesal. Apa dia cemburu? Cemburu? Sepertinya tidak. Tadi saja dia masih sama Bella. Dia masih mencintai Bella. Aku hanya ke PD an saja.
"Angkat tuh teleponnya." kata Kak Vano membuyarkanku dari lamunan panjangku.
"Hemm apa kak?" tanyaku tak terlalu mengerti dengan perkataan kak Vano.
"Angkat teleponnya. Itu pasti telepon dari mama." jawabnya.
"Oh ya." Aku lalu mengangkat telepon di ponselnya kak Vano. Memang benar itu telepon dari mama mertuaku.
"Hallo ma." kataku menjawab sambungan teleponnya. Menampakkan wajah mama dan papa mertuaku di sana.
"Hallo Risa. Akhirnya kamu angkat telepon mama juga. Dari tadi tuh mama teleponin kamu sama Vano, tapi nggak ada yang ngangkat. Kalian baik-baik saja kan?"
"Aku baik ma, kak Vano juga." Aku mengarahkan ponselnya ke arah kak Vano. Agar mereka juga bisa melihat anaknya yang masih baik-baik saja.
"Syukurlah kalau gitu. Oh ya gimana liburannya? Menyenangkan kan?"
"Iya menyenangkan kok Ma."
"Vano jagain Risa ya. Jangan sampai Risa kenapa-kenapa. Bikin Risa seneng, agar bayi yang dikandungnya juga ikut seneng." kata Mama Fara menasihati anaknya. Aku benar-benar merasa bersalah dengan kebohongan ini. Namun untuk berhenti pun aku sudah terlanjur jauh melangkah.
"Maafin aku ma, maafin aku pa, maafin aku kak Vano, maafin aku Daffa. Semua ini aku lakuin untuk kamu Daffa. Semoga kamu nggak nyalahin aku karena udah ngebohongin keluarga kamu." ucapku dalam hati.
"Iya Ma. Vano janji bakal jagain Risa." kata kak Vano menjawab ucapan Mamanya.
Rasanya aku ingin berteriak "Jagain, apa yang kamu lakuin beberapa hari ini. Nyakitin yang ada". Namun suara hatiku hanya bisa didengar oleh diriku sendiri.
Aku teringat akan perkataan Livia beberapa jam yang lalu. Kenapa aku tidak memanfaatkan anak yang aku kandung. Sepertinya anak ini bisa dimanfaatin untuk mengerjai kak Vano sekali-kali.
***
"Kak Vano." panggilku.
"Kenapa?" tanyanya
"Ini kita langsung balik ke hotel ya?" jawabku sambil bertanya.
"Iya." jawabnya singkat.
"Gimana kalau jalan-jalan dulu kak."
"Bukannya tadi kamu udah jalan-jalan."
"Kak aku itu laper. Dari tadi pagi belum makan. Ini beli roti juga belum sempat dimakan. Aku bosen kak makan di restoran hotel terus. Kita cari restoran lain aja yuk kak."
"Kamu makan aja itu rotinya."
"Kak, tapi bayinya nggak mau makan roti. Aku lagi pengen makan sesuatu yang lain dengan suasana yang baru juga. Apa kakak nggak kasihan sama bayinya. Ponakan kakak lho ini. Kalau nggak diturutin nanti kalau dia ileran gimana. Jalan-jalan sebentar yuk kak sambil cari makan. Mau ya?"
Dari tadi aku ngomong panjang lebar, ternyata nggak ada jawabannya sama sekali. Sepertinya dia menolak ajakanku. Aku tidak pandai merayu ternyata. Ya sudahlah. Balik ke hotel lagi. Tidur lagi. Tahu gitu tadi pas diajak jalan-jalan sama kak Gilang aku mau saja ya. Memang belum rejeki.
***
"Aku tadi ketemu sama kak Gilang lagi."
Aku mengirim sebuah pesan ke nomer WhatsApp nya Livia.
"Serius? Kok bisa ketemu lagi?" Livia menjawab pesanku.
"Ya nggak tahu. Tadi itu kan aku beli roti, eh tapi lupa bawa uang. Terus tiba-tiba kak Gilang datang dan bayarin roti aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RandomTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...