"Kak Vano mana ma?" tanyaku pada mama Fara. Aku tak melihat kak Vano sejak tadi. Membuatku penasaran, ke mana dia pergi. Apa dia kembali menemui kekasih gelapnya. Rasanya memikirkannya saja aku sudah tak sanggup. Setiap hari bertemu dengannya. Istri mana sih yang nggak sedih melihat suaminya lebih mencintai perempuan lain. Ya walaupun aku tahu aku yang salah di sini karena sudah memisahkan 2 orang yang saling mencintai. Mungkin ini adalah karma yang aku dapat "Kesedihan", "Merasa Tidak Dianggap".
"Vano kan udah berangkat kerja dari tadi. Emang dia nggak pamit sama kamu?" jawab mama Fara sambil bertanya.
Aku menggeleng sebagai jawaban. "Mama lagi buat apa?" tanyaku mengalihkan dari pikiranku tentang Vano.
"Oh ini mama lagi buat kaos kaki buat anak kamu sama Daffa nanti." jawabnya dengan bahagia.
"Ya ampun ma, ngapain sih repot-repot. Lagian bayi di kandunganku baru beberapa bulan. Masih lama juga ma lahirnya."
"Ya nggak apa-apa. Nyicil Risa. Lagian mama juga bingung mau ngapain."
Aku benar-benar merasa bersalah sama mama Fara. Dia terlalu berharap dengan bayi yang aku kandung. Apa jadinya coba kalau suatu saat nanti mama Fara mengetahui kebohonganku. Dia akan sangat kecewa. Aku tidak tega melihatnya.
"Oh ya ibu kamu gimana kabarnya?" tanya Mama Fara lagi.
"Baik ma. Kemarin ibu juga titip salam buat mama Fara dan papa Gunawan." jawabku.
"Salam balik ya."
"Siap ma. "
"Risa ke kamar dulu ya." pamitku.
***
Aku sedang bercermin. Memandangi gambar diriku. Mengingat perkataan mama Fara beberapa jam yang lalu.
"Oh ya Risa. Kalian beneran mau pindah? Kenapa sih nggak tinggal di sini aja? Rumah ini kan besar. Nanti kalau nggak ada kalian, mama kan jadi kesepian, nggak ada temennya ngobrol."
"Emang siapa yang bilang kalau kita mau pindah ma?"
"Vano. Emang Vano belum cerita apa-apa sama kamu soal rencanya yang mau pindah."
"Belum Ma. Risa aja baru tahu dari mama tadi." Aku istri yang tidak tahu apa-apa. Bahkan rencana sebesar ini saja aku tidak tahu.
Aku masih setia bercermin sejak tadi. Merias sedikit wajahku agar tidak terlalu pucat. Aku berencana pergi jalan-jalan. Namun satu-satunya sahabatku yang mengetahui semua masalahku. Dia masih sibuk kerja. Aku tidak enak mengganggunya.
Aku pergi ke kamar mandi. Entahlah saat ini aku malah sangat merindukannya. Apalagi saat mama Fara mengungkit tentang bayi yang aku kandung. Bayi yang tidak lain adalah anaknya Daffa. Kebohongan yang aku buat sendiri.
Kamar Daffa masih sama. Sama seperti saat pertama kali aku masuk ke kamarnya untuk mengambil buku diaryku. Tak banyak yang berubah. Aku tersenyum saat mengenang hal-hal indah bersama Daffa dulu.
Aku merebahkan tubuhku di kasur empuk milik Daffa. Masih tercium bau khas Daffa. Membuat hatiku tenang.
"Risa." Aku mendengar suara mama Fara memanggilku. Buru-buru aku keluar dari kamar Daffa. Namun yang kulihat di luar kamar Daffa. Mama Fara sudah berdiri di sana. Menatapku penuh arti. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan saat ini. Saat melihatku keluar dari kamar Daffa.
"Risa, mama cariin dari tadi ternyata kamu di sini ya. Kamu lagi kangen ya sama Daffa."
Aku tersenyum mendengar ucapan mama, dan di detik selanjutnya aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Iya aku sangat merindukan Daffa", kalimat yang hanya bisa terdengar olehku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
عشوائيTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...