Aku terus merasakan sakit diperutku sejak tadi. Rasanya tidak enak. Ingin rasanya pulang lalu istirahat. Namun tante Fara terus mengajakku mengobrol. Membuatku jadi tidak enak untuk meminta izin pulang.
Aku tidak fokus dengan apa yang di ceritakan tante Fara padaku. Padahal tante Fara sedang menceritakan masa kecil Daffa. Hal yang selalu ingin aku dengar tentang Daffa. Tapi perutku saat ini tidak bisa diajak bekerja sama.
Aku mengingat-ngingat lagi, apa saja yang sudah aku makan hari ini. Namun seingatku yang aku makan masih dalam batas wajar. Aku tidak makan yang aneh-aneh atau makan makanan yang super pedas. Apa waktunya aku datang bulan? Aku rasa juga tidak. Karena baru 2 minggu yang lalu aku selesai menstruasi. Terus ada apa dengan perutku. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan rasa sakit di perutku ini.
"Kamu kenapa Risa? Sakit?" tanya tante Fara kemudian. Sepertinya tante Fara sadar dengan keanehanku saat ini.
"Nggak kok tante. Aku baik-baik saja." bohongku. Aku hanya tidak ingin membuat tante Fara khawatir denganku.
"Beneran kamu nggak apa-apa? Tapi kok muka kamu pucet banget ya. Ya udah kita pulang aja ya. Tante anterin kamu pulang."
"Akhirnya. Tante Fara peka juga ternyata." batinku bahagia.
"Nggak usah tante. Ngrepotin ntar, biar aku naik taksi aja pulangnya." Aku menolak ajakan tante Fara. Rasanya tidak nyaman merepotkan tante Fara. Apalagi aku bukanlah pacar dari anaknya. Aku hanya seseorang yang kebetulan dicintai anaknya di detik terakhir nafasnya. Apakah pantas aku mendapatkan kebaikan dari tante Fara? Rasanya tidak pantas. Seperti sedang memanfaatkan kebaikannya saja.
Tante Fara menemaniku menunggu taksi online yang sudah aku pesan lewat aplikasi. Tapi kenapa lama banget. Sakit perutku benar-benar sudah tidak bisa ditahan lagi. Cukup lama, hingga akhirnya semua terasa gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
***
Aku terbangun di ruangan yang serba putih. Kulihat tante Fara berada di sampingku dengan wajah khawatirnya.
"Tante Fara." panggilku lirih. Tante Fara terlihat bahagia saat melihatku terbangun. Dia lalu memelukku. Hangatnya pelukannya sama persis seperti hangatnya pelukan ibu kandung.
"Syukurlah kamu udah sadar Risa. Tadi tante takut banget kamu kenapa-kenapa."
"Maaf tante udah bikin tante khawatir." ucapku yang membuat tante Fara melepaskan pelukannya.
"Risa." tante Fara menggenggam tanganku. "Kamu kenapa nggak bilang sama tante kalau kamu hamil anaknya Daffa?"
"Hamil? Anaknya Daffa? Ah tante bercanda aja. Mana mungkin aku hamil." Aku benar-benar syok dengan perkataan tante Fara beberapa menit yang lalu.
Hamil? Ciuman aja nggak pernah, apalagi berhubungan badan. Jadi darimana bisa aku hamil anaknya Daffa. Rasanya aku ingin sekali berteriak, "Aku nggak hamil tante Fara". Namun ucapanku selalu dipotong tante Fara. Tante Fara terlalu meyakini kalau saat ini aku hamil cucunya.
Saat ku melihat wajah bahagia tante Fara yang mengetahui aku hamil anaknya Daffa, beliau terlihat sangat bahagia. Beliau sangat-sangat menantikan kelahiran anak yang ada di perutku ini. Rasanya tidak tega mematahkan kebahagiaannya. Namun aku juga tidak tega jika harus membohonginya.
Aku harus bagaimana? Daffa tolong bantu aku. Apa yang harus aku lakukan? Tante Fara sangat mengharapkan cucu dari kamu Daffa. Sayangnya keinginannya tidak akan pernah terwujud. Pasalnya kamu telah pergi, dan tidak akan bisa memberikan cucu buat tante Fara.
Maafkan aku Daffa, telah membuat kekacauan di keluarga kamu. Merebut kamu dari keluargamu. Seharusnya kamu tidak perlu menolongku saat itu. Aku benar-benar merasa bersalah dengan keluargamu. Ditambah dengan kebohongan yang mungkin akan aku lakukan saat ini.
***
"Aku nggak mau nikah sama Risa. Aku nggak cinta sama Risa. Lagian aku udah punya Bella. Mama nggak lupa kan kalau bentar lagi aku sama Bella akan nikah. Kita udah siapin semuanya lho ma. Udah hampir 80% persiapan kita."
Penolakan Vano untuk menikahiku masih terngiang-ngiang di kepalaku. Entahlah saat ini aku benar-benar seperti cewek pelakor. Atau cewek murahan yang sedang minta tanggung jawab dari seseorang yang bahkan tidak tahu apa-apa. Sejahat itukah aku sebagai wanita, pura-pura hamil untuk merebut seseorang. Merebut laki-laki dari wanita lain, yang padahal aku sendiri pun sebenarnya juga tidak mencintai laki-laki itu.
"Hei Risa. Kenapa diem aja? Lagi ada masalah? Cerita dong." tanya Livia.
"Ini semua gara-gara ide gila kamu Livia." jawabku.
Aku yang hendak jujur saat itu. Namun Livia melarangku. Livia memintaku melanjutkan kebohongan yang sudah terjadi. Bodohnya aku pun mengikuti ide gila Livia yang nggak masuk akal itu. Sekarang aku sendiri yang malu karena ditolak mentah-mentah sama Vano.
Kalaupun aku jujur saat ini. Rasanya aku belum siap jika nanti keluarga Daffa akan membenciku. Mungkin hal yang akan aku lakukan adalah mengakhiri kebohonganku dengan bilang jika aku keguguran. Setidaknya mereka hanya akan kecewa denganku bukan marah.
"Ide gila aku yang mana?"
"Harus ya aku ceritain di sini ide-ide gila kamu yang banyak itu."
"Haha. Ya ampun Risa aku kan cuma bercanda. Baperan banget sih. Mending sekarang kamu lupain dulu apapun masalah kamu. Kita happy happy. Hari ini kan ulang tahunnya Darren, masak sahabat aku sedih sih. Oh ya Risa aku punya kejutan buat kamu, Darren, dan yang lainnya."
"Kejutan apa?"
"Tungguin aja. Kalau aku kasih tahu sekarang, bukan kejutan dong namanya. Hahaha."
***
Kehamilan seharusnya membahagiakan. Seperti saat aku tahu kalau Livia sedang mengandung anaknya Darren.
Namun kehamilanku, kebohonganku rasanya benar-benar membuatku berada di ujung jurang. Yang bentar lagi akan ada yang mendorongku ke jurang hingga jatuh.
Aku mundur selangkah, dua langkah, tiga langkah, dan aku berhenti. Aku seperti sedang menabrak seseorang. Aku menoleh ke belakang. "Maaf, aku nggak sengaja." kataku. Namun aku kaget setelahnya. Karena yang kutabrak adalah kak Vano. Orang yang seharusnya aku hindari. Tapi malah ketemu di sini.
"Hai kak Vano, di sini juga kak?" kataku lagi.
Pertanyaan yang benar-benar bodoh. Sudah jelas dia di sini. Berdiri di hadapanku. Jadi buat apa lagi aku harus bertanya. Alhasil aku pun tak mendapatkan jawaban apapun dari mulut Vano. Bikin malu itu yang aku rasakan.
"Risa." panggil Marsya, sahabatku yang sudah lama tidak berjumpa. Marsya menghampiriku bersama suaminya dan anaknya yang sudah semakin besar.
"Hai Marsya. Apa kabar?" Marsya, dia penyelamatku dari rasa tidak nyaman ini. Aku lalu mengajak Marsya menjauh dari Vano. Namun suaminya masih mengobrol dengan Vano. Sepertinya mereka juga kenal.
"Hai Pak Vano." sapa Marsya yang saat itu melihat Vano di sampingku. Seperti biasa, Vano hanya tersenyum membalas sapaan Marsya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sudah kuduga, dia memang irit bicara.
"Kamu kenal sama kak Vano ya?" tanyaku kemudian.
"Iya kenal, dia kan bos di kantorku dan suamiku." jawab Marsya. "Kamu juga kenal sama pak Vano?" tanyanya balik.
"Iya aku kenal juga sama kak Vano. Kebetulan dia kakaknya temen aku."
"Kamu pacaran sama Pak Vano ya? Terus cowok yang waktu itu sama kamu pas di nikahannya Livia. Dia bukannya pacar kamu ya? Apa udah putus? Terus sekarang kamu sama pak Vano?"
"Aku nggak pacaran sama kak Vano. Kan tadi aku udah bilang, dia kakaknya temen aku. Cowok yang waktu itu sama aku pas di nikahannya Livia. Dia Daffa, adiknya kak Vano. Daffa udah meninggal beberapa bulan yang lalu."
"Maaf Risa aku nggak tahu, turut berduka ya. Oh iya aku inget waktu itu aku dapet kabar kalau adiknya pak Vano meninggal. Cuma aku nggak tahu kalau ternyata adiknya pak Vano itu adalah Daffa pacar kamu."
***
Minggu, 21 Agustus 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RandomTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...