BAB XI "Bianglala"

95 6 0
                                    

Aku menyapa malam
Dia pura-pura tak mendengar
Aku menyapa bintang
Tersenyumpun dia enggan
Aku menyapa bulan
Dia datang lalu pergi

Hai sapanya ....
Bukan malam yang menyapaku
Bukan bintang, apalagi bulan
Dia pagiku yang menyapa
Matahariku yang tersenyum
Memberi semangat baru

"Selamat Pagi Risa."

Jika tidak ada orang yang menyapamu. Sapalah dirimu sendiri. Semangati dirimu sendiri. Karena itu akan membuatmu jauh lebih baik.

Hal yang setiap hari aku lakukan adalah mencari lowongan kerja di sosmed. Mengacak-ngacak Instagram setiap detik, namun tak ada yang sesuai dengan jurusanku. Allah masih memintaku untuk bersabar. Allah masih memintaku untuk menunggu.

***

"Sakitnya cinta tanpa dicintai."

"Ternyata cuma diriku yang mencintai dirimu. Untuk apa, untuk apa ku selalu menunggumu."

"Dan hanya diriku saja yang selalu merindukanmu. Untuk apa, untuk apa ku memendam rasa selama ini."

Tak seharusnya aku mendengarkan lagu ini. Liriknya menggambarkan diriku. Sakit rasanya "Mencintai Tanpa Dicintai". Lagi-lagi aku mengingat Raihan. Lagi-lagi wajah Raihan yang muncul dipikiranku.

Ponselku berdering. Hanya tertera nomor saja di layarnya. Nomor tidak dikenal. Siapa yang meneleponku? Mungkin panggilan kerja, pikirku.

"Hallo." jawabku setelah menekan gambar telepon berwarna hijau di layar ponselku.

"Hallo Risa. Aku Daffa. Aku mau nagih janji kamu soal taruhan kita beberapa hari yang lalu. Kamu nggak lupa kan?"

"Aku pikir kamu yang lupa. Oke apa permintaan kamu?"

"Aku mau ngajakin kamu jalan. Ntar sore aku jemput ya. Bye Risa." Daffa menutup teleponnya tanpa sempat mendengarkan jawabanku terlebih dahulu.

"Apa-apaan sih Daffa. Main tutup aja teleponnya. Aku kan belum mengiyakan ajakannya. Nggak nanya dulu lagi, ntar sore aku bisa enggak gitu. Bodo amatlah." gerutuku kesal.

Kembali aku mendengarkan musik yang ada di ponselku. Kali ini aku mendengarkan lagu-lagu korea. Walaupun tidak tahu artinya, setidaknya aku nggak bakal sedih lagi kalau nanti ada lirik yang menyayat hati. Karena kan aku nggak tahu artinya.

***

Aku kembali ke tempat ini. Aku kembali ke pasar malam bersama Daffa. Daffa mengajakku naik bianglala.

"Aku nggak mau naik bianglala Daffa."

"Kenapa? Kamu kan udah janji mau menuruti permintaanku."

"Bukannya permintaan kamu ngajakin aku jalan ya."

"Bukan. Permintaan aku itu aku mau naik bianglala sama kamu."

"Kamu naik aja sendiri. Aku lihatin dari bawah."

"Kok gitu sih? Pacaran sama aku nggak mau. Naik bianglala juga nggak mau. Terus mau kamu apa? Mau jadi pembantu aku selama 3 bulan."

"Berani gaji aku berapa jadiin aku pembantu kamu?"

"Gratislah. Hahaha."

"Ogah."

Setelah perdebatan panjang kita, akhirnya akupun menuruti permintaan Daffa. Saat ini akupun sudah berada di dalam bianglala. Sejak bianglala diputar aku terus menutup mataku dengan tangan. Tak berani melihat. Aku merasakan bianglala terus bergerak. Aku rasa kini aku sudah berada di atas. Penasaran ingin melihat keindahan di bawah sana. Tapi aku terlalu takut untuk membuka mataku.

"Yakin nggak mau buka mata. Bagus lho itu pemandangannya." kata Daffa yang hanya kujawab dengan gelengan.

Aku merasakan ada seseorang yang duduk di sampingku. Sepertinya Daffa pindah ke sebelahku. Daffa memelukku dari belakang. Bukan memeluk, Daffa hanya memegang tanganku, dan menyuruhku melepaskan tanganku dari mataku. Aku tidak tahu kenapa aku menurut saja dengan perkataan Daffa.

"Sekarang buka mata kamu pelan-pelan." kata Daffa. Yang lagi-lagi kuikuti.

Aku membuka mataku perlahan sesuai perintah Daffa. Wow aku benar-benar terkejut dengan apa yang kulihat. Padatnya kota yang selama ini membosankan terlihat sangat indah dari ketinggian. Rasa takut pun hilang, terbayar dengan pemandangan indah yang kulihat. Pemandangan di bawah sana yang selalu ingin aku lihat, kini terwujud sudah.

"Bagus kan pemandangannya?" tanya Daffa.

"Iya bagus banget." jawabku menoleh ke arah Daffa. Dia tepat dibelakangku ternyata. Hanya berjarak beberapa cm saja. Aku bisa merasakan hembusan napasnya. Menatap matanya dari jarak yang sangat dekat. Sepertinya hatiku sudah tidak aman saat ini. Seseorang tolong aku.

"Emm kamu nggak mau pindah ke sana ya?" tanyaku menyuruh Daffa pindah di depanku.

"Enggak." jawabnya.

"Ntar kalau jatuh gimana? Ini nggak seimbang lho. Ya udah biar aku aja yang pindah." Aku berdiri dari dudukku, dan pindah tempat duduk agar tidak berat sebelah. Tapi bodohnya aku malah terjatuh. Terjatuh ke pelukan Daffa. Kejadian beberapa detik yang lalu pun terulang lagi. Padahal baru saja jantungku merasa normal, kini sudah kembali lagi tidak normal.

"Maaf aku nggak sengaja." kataku. Lalu menjauh dari Daffa, dan duduk di depan Daffa. Melihat lagi pemandangan yang ingin kulihat.

***

"Risa, kamu pasti mau beli arum manis kan? Biar aku aja. Kamu tunggu sini ya."

Daffa memang selalu tahu apa yang aku mau. Bahkan tanpa aku bicara pun dia sudah tahu keinginanku. Memang benar aku ingin membeli arum manis.

Teringat aku akan kejadian beberapa menit yang lalu di bianglala. Antara bahagia, malu, atau bingung. Entahlah.

Dari kejauhan aku melihat Daffa membawa 2 arum manis di tanganya. Daffa melambaikan tangan dan tersenyum kepadaku.

"Ganteng banget sih itu cowok."

"Mau dong disenyumin juga."

"Gila keren banget sih. Udah punya pacar belum ya?"

"Eh udah ada ceweknya ternyata."

"Jangan digangguin udah punya cewek. Ntar ceweknya ngamuk lagi."

Aku mendengar banyak orang di sekitarku sedang memuji Daffa. Memang sih Daffa itu ganteng. Apalagi kalau lagi senyum, gantengnya nambah deh. Aku memukul-mukul kepalaku saat aku sadar sedang memuji Daffa. Untung saja Daffa tidak mendengarnya, bisa besar kepala dia ntar.

"Kamu ngapain sih mukul-mukul kepala gitu? Nggak sakit itu kepala dipukulin gitu?" tanya Daffa yang hanya kujawab dengan senyuman. Gengsi dong kalau aku bilang habis memuji dia.

***

"Risa, kamu udah dapat kerjaan?"

"Darimana kamu tahu kalau aku lagi cari kerja."

"Dari Ashila. Adik sepupu kamu?"

"Oh jadi kamu cari informasi tentang aku dari Ashila ya. Kamu tahu nomor telepon aku juga dari Ashila. Kamu kan nggak pernah minta nomor telepon aku. Jadi selama ini kamu dekat sama Ashila cuma buat manfaatin dia doang. Kasihan tahu, dia udah baper sama kamu, eh malah kamu tolak."

"Kamu tahu soal aku yang nolak Ashila. Dia cerita sama kamu."

"Iya. Makanya jadi cowok itu jangan bikin cewek salah paham."

"Kok jadi salah cowok sih. Memang ya cowok itu selalu salah di mata cewek."

"Memang."

"Oke memang aku yang salah. Sekarang jawab dulu pertanyaannku tadi."

"Pertanyaan apa?"

"Kamu udah dapat kerja belum?"

"Belum. Kenapa?"

"Mau nggak kerja di kafe tempat aku kerja. Kalau mau nanti aku bilangin sama bosnya. Tapi kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa sih."

"Oke, aku mau."

Aku langsung mengiyakan tawaran Daffa. Bodo amat aku butuh kerjaan, butuh uang. Nggak masalah kalau cuma jadi pelayan kafe doang. Nggak masalah kalau nggak sesuai jurusan. Yang penting kerja dapat uang.

***

Senin, 21 Maret 2022

Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang