"Oh ya Risa kemarin itu kan kamu pernah cerita. Katanya Bella mau ngelaporin kamu ke polisi. Terus itu gimana lanjutannya?" tanya Livia di perjalanan pulang kita.
Gosip kita tidak berhenti dong. Bahkan di perjalanan pulang saja kita masih bergosip. Masih membicarakan tentang Bella. Masih memikirkan bagaimana cara untuk menjauhkan Vano dari Bella.
"Nggak tahu. Sejauh ini sih nggak ada tuh polisi yang datang ke rumahku buat nangkap aku."
"Berarti dia mah cuma omdo. Omong doang. Lagian dia juga nggak punya bukti apapun yang memberatkan kamu. Orang jelas-jelas itu kecelakaan murni, masih aja dia nyalahin kamu. Aku curiga sampai detik ini Bella pasti masih mencintai Daffa. Masih mengharapkan Daffa untuk jadi miliknya. Gitu tuh cewek yang nggak pernah bersyukur. Udah mendapatkan orang sebaik Vano, masih aja mengharapkan orang lain."
"Udah deh Livia. Masih aja bahas Bella sama Vano. Lebih baik kamu fokus aja nyetir. Biar kita selamat sampai tujuan."
Aku mendengar bunyi ponselku berdering. Saat kulihat siapa yang meneleponku, aku sangat syok dibuatnya. Karena tertera nama Daffa di sana.
"Kenapa kaget gitu? Siapa yang telepon?" tanya Livia penasaran.
"Daffa." jawabku sambil menunjukkan ponselku ke Livia. Agar Livia juga bisa melihat sendiri siapa yang meneloponku. Itu benar-benar Daffa yang meneleponku. Aku tidak berbohong.
"Oh mungkin handphonenya Daffa dibawa sama siapa gitu. Angkat aja. Siapa tahu penting."
"Hallo." jawabku setelah menekan gambar telepon berwarna hijau di layar ponselku.
"Hallo Risa. Ini tante Fara mamanya Daffa. Maaf ya tante ganggu kamu. Kamu lagi sibuk nggak? Bisa kita ketemu sekarang?"
"Oh iya tante, bisa kok. Mau ketemu di mana tante?"
"Tante shareloc ya lokasinya."
"Oke tante." Setelah itu aku menutup teleponnya. Menunggu WhatsApp dari tante Fara.
"Siapa Risa?" tanya Livia setelah aku selesai bertelepon.
"Mamanya Daffa. Dia ngajak ketemuan. Kamu turunin aku di depan aja ya. Biar aku naik taksi." jawabku.
"Eh nggak usah. Aku anterin aja. Emang di mana ketemuannya?"
Aku lalu menunjukan tempat lokasi yang tadi sudah di kirim tante Fara ke ponselku.
"Oh itu, aku tahu tempatnya kok. Masih searah sama rumahku. Udah aku anterin aja. Aku juga masih mau ngomong sama kamu."
"Bukannya dari tadi kamu juga udah ngomong ya. Haha."
"Aku serius Risa. Dengerin baik-baik ya. Ini adalah kesempatan kamu buat ngomong ke mamanya Daffa buat batalin rencana pernikahan Vano dan Bella. Bilang aja kalau Bella itu bukan perempuan yang baik. Bella udah nyelingkuhin Vano. Dengan begitu aku yakin mamanya Daffa nggak bakal ngerestuin hubungan mereka. Mama mana yang tega ngelihat anaknya diselingkuhin dan disakitin."
"Kamu gila ya. Masak iya aku harus ngomong gitu ke mamanya Daffa. Atas dasar apa coba?"
"Bilang aja ini amanahnya Daffa. Amanah itu harus disampaiin. Daffa minta sama kamu agar kakaknya itu tidak menikah dengan Bella."
"Aku nggak yakin mamanya Daffa bakal percaya sama aku. Aku ketemu sama mamanya Daffa aja baru sekali. Sementara Bella aku yakin dia udah berkali-kali ketemu sama mamanya Daffa. Coba kamu pikir deh, siapa yang bakal dipercaya sama mamanya Daffa?"
"Iya juga sih. Emm atau gini aja, kamu bilang ke mamanya Daffa kalau kamu suka sama Vano. Kamu nggak pengen ngelihat Vano menikah dengan cewek lain selain kamu."
"Ini jauh lebih gila Livia. Mamanya Daffa tahunya aku itu pacarnya Daffa. Masak iya tiba-tiba suka sama kakaknya. Enggak deh."
"Cinta bisa berubah. Allah maha membolak-balikkan hati manusia. Kemarin kita suka yang ini, bisa jadi sekarang kita suka yang itu. Lagian aku pengen tahu siapa yang bakal di pilih mamanya Daffa untuk jadi menantunya. Kamu atau Bella."
"Ya jelas Bella lah Livia. Bodoh banget sih pertanyaan kamu. Jelas-jelas mamanya Daffa jauh lebih kenal Bella daripada aku yang cuma baru di temuinya satu kali."
***
"Hai tante, tante kenapa ya tiba-tiba ngajakin ketemuan? Ada yang mau tante omongin ya sama aku?" tanyaku tanpa basa basi.
"Tante kangen sama kamu Risa. Kamu juga nggak pernah main ke rumah tante. Kenapa coba? Apa karena ngggak ada Daffa ya?" jawab tante Fara.
"Oh bukan gitu tante. Aku cuma ngerasa nggak enak aja kalau sering-sering main ke rumah tante."
"Tante tahu Daffa emang udah nggak ada. Tapi sesekali berkunjung kan nggak masalah. Setidaknya saat tante melihat kamu, rasa kangen tante ke Daffa juga sedikit terobati. Secara kan kamu juga pacarnya Daffa. Orang yang sangat Daffa cintai sampai detik terakhir nafasnya."
"Sebenarnya aku itu bukan pacarnya Daffa tante." Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku. Setidaknya jujur adalah hal baik yang bisa aku lakukan saat ini. Aku tidak bisa terus-terusan membohongi tante Fara kalau aku adalah pacarnya Daffa. Memang benar di detik terakhir nafasnya Daffa, dia mengungkapkan perasaannya padaku. Tapi kita tidak jadian. Kita hanya mengutarakan perasaan kita masing-masing saja saat itu.
"Masak sih bukan pacarnya. Orang jelas-jelas nomer kamu di ponselnya Daffa tersimpan pacar kesayanganku." Tante Fara menunjukkan ponsel Daffa padaku. Benar di sana nomer aku di simpan Daffa pacar kesayanganku.
Segitu cintanya Daffa denganku. Ada sedikit rasa bahagia saat aku mengetahui hal tersebut. Jadi selama ini Daffa menganggapku pacarnya. Tapi kenapa Daffa nggak pernah bilang hal itu padaku. Apa karena dia tahu aku masih mencintai Raihan. Dia hanya tidak ingin mendengar penolakanku.
Aku ingat saat Daffa mengajakku ke taman. Memintaku mendegarkan lagu yang dibuatnya sendiri. Apa waktu itu sebenarnya Daffa ingin menembakku. Mengutarakan isi hatinya padaku. Namun batal karena adanya Cindy waktu itu. Itulah kenapa saat itu Daffa terlihat sangat kesal saat aku terus-terusan membahas Cindy. Daffa maafin aku.
"Kamu tahu Risa. Di galery fotonya juga banyak banget foto kamu. Kamu bisa lihat sendiri."
Tersanjungkah aku diperlakukan seperti ini sama Daffa. Aku benar-benar ngerasa dicintai oleh seseorang. Sayangnya orang tersebut terlalu cepat meninggalkanku. Tanpa kusadari air mata terus menetes di pipiku. Aku semakin merindukan Daffa.
Selama ini aku terlalu bodoh, mengejar orang yang aku cintai. Padahal di sampingku ada orang yang benar-benar tulus selalu mencintaiku. Andai waktu mampu aku putar. Aku ingin bilang sama kamu Daffa, "Terima kasih atas cinta tulus yang kamu berikan padaku".
"Maaf Risa, tante bukannya mau bikin kamu sedih. Atau mengingat tentang Daffa lagi. Lagian kamu juga kenapa sih bilang bukan pacarnya Daffa. Jelas-jelas kalian pacaran. Ya tante tahu kamu bilang begitu, mungkin karena Daffanya juga udah nggak ada ya. Jadi kamu bilang kamu bukan pacarnya Daffa. Tante ngerti kok. Kamu pasti pengen ngelanjutin hidup kamu juga tanpa bayang-bayang Daffa lagi. Kamu pengen melupakan segalanya tentang Daffa."
Aku hanya diam mendengar apa yang dikatakan tante Fara padaku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Ternyata kejujuranku malah membuat tante Fara sedih.
"Maaf tante. Risa sangat mencintai Daffa tante. Walaupun Daffa udah nggak ada, tapi kenangan tentang Daffa tetap akan ada di hatiku. Walaupun nanti ada orang lain yang mengisinya."
Tante Fara lalu memelukku setelahnya, "Tante tahu kamu sangat mencintai Daffa, Daffa nggak pernah salah untuk menjatuhkan hatinya." Tante Fara melepaskan pelukannya, "Tapi kamu tetap mau ya sesekali main ke rumah tante. Nemenin tante ngobrol. Mau kan? Karena sejak pertama kali bertemu kamu, tante udah ngerasa cocok banget sama kamu."
Aku mengangguk mengiyakan permintaan mamanya Daffa. Rasanya tidak enak kalau menolaknya. Apalagi mamanya Daffa sangat baik padaku.
***
Selasa, 16 Agustus 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RandomTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...