"Marsya." panggil Livia heboh. Ia lalu memeluk Marsya. Mengabaikanku yang ada di samping Marsya. "Ya ampun Marsya, kangen banget aku sama kamu. Udah lama ya kita nggak ketemu."
"Marsya doang nih yang dipeluk. Aku enggak." protesku yang langsung membuat Livia dan Marsya menoleh ke arahku.
"Aduh aduh kasihan yang jomblo. Nggak ada yang meluk. Sini aku peluk." kata Livia mengejekku. Lalu memelukku setelahnya. Marsya pun juga ikut memeluk kita.
Ejekan Livia yang menyebalkan sirnah sudah dengan pelukan hangat dari sahabat-sahabatku.
Marsya juga adalah sahabatku. Dulu kita bertiga selalu bareng ke mana-mana. Aku, Marsya, dan Livia. Namun semenjak Masrya menikah, dia terlalu susah untuk ditemui. Marsya sibuk dengan keluarga kecilnya. Itulah yang membuat kita jadi jarang ngumpul bertiga lagi.
"Livia, selamat ya buat kehamilan kamu. Semoga kamu selalu diberi kesehatan dan debay nya." kata Marsya memberi selamat pada Livia.
"Foto yuk. Udah lama kan nggak foto-foto bareng." ajak Livia setelah mengucapkan "Terima Kasih" pada Marsya.
"Oh ya Marsya. Kamu nggak punya kenalan cowok gitu yang masih jomblo." tanya Livia memulai topik baru setelah kita puas berfoto.
"Kenapa emang?"
"Kenalin nih sama sahabat kamu. Biar nggak galau mulu. Kasihan baru ditinggal pacarnya dia." Livia melirik ke arahku saat mengucapkannya. Seolah memberi isyarat kalau yang ia maksud adalah diriku.
"Aku nggak galau kali Livia." protesku yang tidak terima dibilang galau sama Livia. Walaupun sebenarnya memang aku lagi galau. Tapi gengsi dong kalau ketahuan galau.
"Aku ada lho Risa, dia lagi cari istri. Kalau kamu mau, nanti aku kenalin. Gimana?" Sepertinya Marsya menanggapi permintaan Livia buat mengenalkanku pada temen cowoknya yang jomblo.
Istri? Rasanya aku belum siap untuk menikah. Jomblo? Aku sudah terlalu lama jomblo. Terus aku harus gimana? Menerima atau menolak?
"Aku pikir-pikir dulu ya." kataku kemudian. Hanya kalimat itu yang mampu kuucapkan. Terdengar ambigu, antara iya atau tidak. Aku juga tidak tahu.
***
"Hai Risa." sapa Sherly padaku.
Ada yang aneh dengan Sherly, pikirku. Tidak biasanya dia bersikap baik padaku. Tapi sekarang aku sedang berada di tempat kerja. Aku tidak ingin membuat masalah dengannya.
"Ada yang bisa aku bantu?" kataku ramah. Aku ingin bersikap seprofesional mungkin. Hanya berharap kejadian di kafe "Lovely" tidak terulang lagi di sini. Karena adanya pembeli yang resek.
"Tadinya aku mau order baju di sini. Tapi kayaknya nggak jadi deh. Soalnya aku mencium bau-bau pelakor di sini."
"Kamu masih nuduh aku punya hubungan sama Rio? Sherly, aku itu nggak ada hubungan apa-apa sama Rio. Kamu boleh nggak percaya sama aku. Tapi seharusnya kamu percaya sama pacar kamu sendiri. Atau kamu marah karena Daffa yang lebih memilih aku daripada kamu. Kasihan ya Rio suka sama cewek yang di hatinya masih ada orang lain."
Sherly tidak terima dengan apa yang aku katakan padanya tadi. Dia berniat menamparku. Namun seseorang menahan tangannya.
"Silakan anda pergi dari butik saya. Kehilangan satu pembeli seperti anda tidak akan merugikan butik saya." kata Tiara setelahnya. Dia membelaku dari Sherly.
"Tanpa disuruh. Saya memang mau pergi."
Sherly berbisik kepadaku sebelum pergi. "Risa, kamu inget kecelakaan yang terjadi sama Daffa. Ada seseorang yang dengan sengaja ingin membunuh kamu. Sayangnya dia malah salah sasaran dan menabrak Daffa. Kecelakaan itu terjadi karena kamu Risa."
Aku terdiam cukup lama. Mencerna semua hal yang dikatakan Sherly padaku. "Sherly tunggu. Apa maksud kamu? Jelasin sama aku? Siapa yang udah sengaja menabrak Daffa?"
Sherly, dia tak menjawab pertanyaanku. Dia pergi begitu saja. Aku mengejarnya. Aku bertanya lagi padanya. Namun Sherly terus mengabaikanku. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Semua menjadi gelap, dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.
***
"Risa, kamu baik-baik aja?" Pertanyaan pertama yang aku dengar setelah aku sadar. Aku melihat Tiara yang begitu khawatir dengan keadaanku.
"Kamu inget kecelakaan yang terjadi sama Daffa. Ada seseorang yang dengan sengaja ingin membunuh kamu. Sayangnya dia malah salah sasaran dan menabrak Daffa. Kecelakaan itu terjadi karena kamu Risa."
"Aku harus bicara sama Sherly. Dia tahu siapa orang yang udah menabrak Daffa." kataku saat teringat kata-kata Sherly beberapa menit lalu.
"Kamu yakin Risa?"
"Yakin Tiara. Sherly sendiri yang bilang sama aku. Kecelakaan itu disengaja. Orang itu ingin membunuh aku. Tapi karena Daffa menolongku. Jadi Daffalah yang tertabrak pada saat itu. Aku harus pergi menemui Sherly."
"Tapi Risa. Kamu habis pingsan. Kamu yakin udah nggak apa-apa?"
"Aku baik-baik aja Tiara."
"Oke kalau gitu, aku temenin kamu cari Sherly."
"Kamu tahu di mana rumahnya Sherly?" tanya kak Vano yang kini berada di sampingku sedang menyetir.
Beberapa menit yang lalu, Kak Vano datang ke butik Tiara untuk mengambil pesanan baju mamanya. Di saat itu juga clien Tiara tiba-tiba datang untuk menemui Tiara. Tiara pun tidak jadi menemaniku mencari Sherly. Tiara meminta kak Vano untuk menemaniku. Awalnya kak Vano menolaknya. Namun setelah Tiara menceritakan yang terjadi, kak Vano pun akhirnya mengiyakannya. Karena dia juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kecelakaan Daffa. Apa benar itu disengaja?
Kak Vano menghela nafas saat aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaannya. "Kamu gimana sih Risa. Aku pikir kamu tahu rumahnya Sherly." Dia terlihat sangat marah padaku.
"Maaf kak." kataku yang malah membuat kak Vano semakin emosi.
"Hallo." kata kak Vano lewat sambungan telepon. Sepertinya dia sedang menelepon seseorang. "Tolong kirimin saya alamatnya Sherly." Kak Vano menutup telepon setelanya.
"Risa, kamu ngapain ke rumah aku?" tanya Sherly sesampainya kita di rumah Sherly. "Darima kamu tahu rumah aku?"
"Aku ingin tahu siapa orang yang udah menabrak Daffa." jawabku.
"Mana aku tahu Risa. Kamu kira aku cenayang tahu segalanya."
"Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu tahu siapa orang yang udah menabrak Daffa. Tolong Sherly kasih tahu aku siapa orangnya."
"Aku nggak ngerti maksud kamu Risa. Aku nggak tahu siapa yang udah nabrak Daffa." Sherly menutup pintu rumahnya secara sepihak.
"Sherly, aku belum selesai bicara. Kumohon kasih tahu aku." Aku mengetuk-ngetuk rumah Sherly sambil menangis.
"Risa, kita pulang. Nggak ada gunanya kamu menangis di sini." Kak Vano mengajakku untuk pulang.
"Kak Vano marah ya sama aku. Tapi aku nggak bohong kak. Tadi Sherly emang bilang kalau dia tahu semuanya tentang kecelakaan Daffa."
Kak Vano diam tak menanggapi sedikitpun perkataanku. Aku rasa kak Vano marah padaku. Dia pasti mengira aku sedang mempermainkannya.
***
Jum'at, 26 Agustus 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
RandomTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...