"Ada yang udah move on nih dari Raihan." Pernyataan itu datang dari Livia. Katanya kemarin Livia melihatku sama Daffa pas di kafe. Aku tanya, "Kalau melihatku, kenapa nggak nyamperin aku?" "Takut ganggu." Livia bilang begitu.
Pertemuanku dan Daffa memang selalu tak terduga. Apa ini yang dinamakan jodoh? Selalu bertemu meski tak diharap.
Aku rasa pertemuanku dan Daffa tak berarti apa-apa. Mana mungkin aku berjodoh dengan Daffa. Daffa itu lebih dari segala-galanya. Bisa dibilang Daffa adalah pemeran utama cowok dalam sebuah Film. Sementara aku cuma pemeran pendukung cewek, dan terkadang juga bisa jadi pemeran antagonis. Rasanya haluku ketinggian jika aku bilang Daffa adalah jodohku.
"Kenal di mana sama Daffa? Dia bukan teman sekolah kita dulu kan? Mau dong dikenalin sama Daffa." Banyak hal yang ditanyakan Livia soal Daffa. Namun aku hanya menjawab seperlunya saja. Pasalnya aku juga baru kenal sama Daffa. Aku tidak begitu tahu apapun soal Daffa.
"Terus mau dikemanain pacar kamu?" tanyaku menanggapi permintaan Livia yang ingin dikenalkan sama Daffa.
"Kan cuma kenalan doang. Takut ya kalau ntar tiba-tiba Daffa suka sama aku?"
"Enggak. Kalau dianya mau sama kamu. Ya ambil aja."
"Serius nggak nyesel? Emang kamu nggak suka sama Daffa?"
"Terlalu cepat untuk bilang suka."
Terlalu cepat untuk bilang suka. Tiga kali bertemu tidak cukup untuk membuatku bisa suka sama orang. Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Apalagi saat ini perasaanku sama Raihan masih belum berubah.
"Raihan." Tiba-tiba nama itu terlintas lagi di pikiranku. Apapun yang kulakukan selalu saja membuatku teringat tentang kamu Raihan. Aku belum bisa 100% merelakan kamu. Aku masih mencintai kamu. Perasaanku masih sama. Belum berubah.
***
Aku baru saja dipecat dari pekerjaanku. Lebih tepatnya aku mengundurkan diri. Aku tidak suka punya bos yang galak. Dia selalu mencari alasan untuk memarahiku. Padahal aku sudah melakukan pekerjaanku dengan benar. Tapi selalu salah dimatanya.
Dia selalu bilang aku tidak bisa berteman dengan yang lainnya. Memang dia bersamaku dalam 24 jam? Tidak kan? Dia hanya melihat yang dia lihat. Meyakini apa yang dia lihat. Dia tidak peduli dengan apa yang tidak dia lihat. Padahal banyak hal yang terlewat olehnya. Aku berteman dengan siapa saja. Tapi untuk akrab, aku butuh waktu.
Orang seumuran saja kadang butuh waktu untuk bisa jadi teman atau sahabat. Apalagi yang jarak umurnya jauh. Jelas mereka akan butuh waktu lebih lama. Sepasang kekasih saja butuh kecocokan dan kenyamanan untuk menjalin hubungan. Tidak jauh berbeda, bertemanpun juga butuh kecocokan dan kenyamanan.
Aku tidak suka dengan bicaranya yang kasar. Aku tahu aku cuma karyawan biasa. Aku bekerja untuknya. Tapi bukan dia yang menggajiku. Ingat diatas langit masih ada langit.
Emosiku hanya sesaat. Ketika aku sadar, aku menyadari kesalahanku. Kenapa harus berhenti? Padahal cari kerja juga susah. Aku menyalahkan diriku sendiri. Memaki-maki diriku yang bodoh. Aku memang bodoh. Bertindak tanpa berpikir panjang. Hanya mengandalkan perasaan saja. Hasilnya aku sendiri yang rugi. Sudah lebih dari sebulan, tapi aku belum juga mendapatkan pekerjaan.
***
Aku bertemu lagi dengan Daffa. Dia menolongku lagi. Daffa menarik tanganku yang hendak menyeberang jalan. Nyaris saja nyawaku melayang. Aku menyeberang di saat lampu hijau untuk kendaraan bermotor, dan lampu merah untuk pejalan kaki. Mungkin kalau tidak ada Daffa, aku sudah tergeletak tak berdaya di jalan sana. Semua orang mengerumuniku. Ada yang kasihan, ada yang biasa saja. Ada yang meminta tolong untuk segera membawaku ke rumah sakit, ada juga yang hanya diam menontonku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)
SonstigesTangisku tiada henti saat ku melihat foto yang dikirim sahabatku lewat pesan WhatsApp. Sebuah pesan tentang kamu. Kabar yang sama sekali tidak ingin aku dengar. Kata orang harapanku terlalu tinggi. Jika aku ingin bersamamu selamanya. Tapi, apa sala...