BAB XLIX "Ngambek"

136 5 0
                                    

Setelah dari makam Daffa, mama lalu mengajakku ke panti asuhan untuk memberikan sumbangan.

Sejak tadi aku melihat mama terus saja memegangi kaos kaki yang beliau bikin sendiri beberapa bulan yang lalu. Aku ingat betul saat itu mama sangat bahagia menyambut kehadiran bayi yang aku kandung. Tapi sekarang bayi itu sudah tidak ada lagi. Bahkan bayi itu memang sudah tidak ada sejak awal. Hatiku benar-benar sedih, aku memberikannya harapan, namun aku juga yang mematahkan harapan itu.

"Ma, maafin aku ya. Gara-gara aku mama kehilangan Daffa. Gara-gara aku juga mama kehilangan cucu mama. Aku benar-benar tidak becus menjaga kandunganku. Maafin aku ya ma." kataku menangis. Aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi, air mata itu turun tanpa aku minta.

Mama Fara lalu memelukku. "Ini bukan salah kamu Risa. Semua terjadi karena kehendak Tuhan. Jadi berhenti nyalahin diri kamu sendiri." kata Mama. Beliau mengelus-ngelus punggungku. Menenangkanku agar aku berhenti menangis. Namun air mata ini bukannya berhenti, dia malah semakin turun.

"Aku rindu Daffa." kataku dalam hati. Aku benar-benar merindukan Daffa. Daffa yang selalu bisa menghiburku di saat aku sedang bersedih seperti ini.

Mama Fara melepaskan pelukannya padaku. Beliau juga menghapus sisa-sisa air mata di pipiku. "Udah sekarang hapus air mata kamu dan jangan sedih lagi." kata Mama tersenyum kepadaku.

***

"Kak Vano." panggilku. Aku sedang bersandar di kepala kasur. Kak Vano berada di sampingku. Dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.

"Kenapa?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Dia masih fokus dengan pekerjaan kantornya.

"Aku ngerasa bersalah deh sama mama. Tadi waktu mama ngajak aku keluar, mama selalu membawa kaos kaki yang dulu ia buat untuk calon anak aku dan Daffa. Sepertinya mama sangat menginginkan cucu dari Daffa. Aku yang membuat mama berharap akan ada keturunan dari Daffa lewat rahimku. Tapi aku juga yang mematahkannya. Aku menghancurkan hati mama. Aku nggak tega ngelihat mama sedih. Apalagi tadi pas di makam Daffa kelihatan banget kalau mama benar-benar hancur kehilangan Daffa." jawabku panjang lebar.

Kak Vano menghentikan aktivitasnya, dia duduk menghadap ke arahku. Lalu memegang kedua tanganku. "Aku juga bisa ngasih cucu buat mama. Nggak harus Daffa kan." katanya. Kak Vano menatapku penuh arti.

Aku melepaskan tanganku dari tangannya. Karena suasana semakin horor menurutku. "Maksud kak Vano?" tanyaku pura-pura tidak tahu dengan maksud ucapan kak Vano. Padahal aku jelas-jelas tahu apa yang diinginkan kak Vano saat ini.

Kak Vano menyingkirkan laptopnya. Lalu mendekat ke arahku. Dia terus mendekat hingga jarak wajah kita hanya tinggal 5 cm. Merasa tahu dengan hal yang akan dilakukan kak Vano, aku pun langsung mendorongnya menjauh dariku.

"Maaf kak aku nggak bisa." kataku kemudian.

"Kenapa nggak bisa Risa? Kita ini suami istri lho. Sah di mata hukum dan agama. Kita juga udah tidur di ranjang yang sama selama beberapa hari ini. Apa kamu nggak mikir, betapa aku tersiksa dengan ini." katanya yang sepertinya kesal dengan jawabanku.

"Aku hanya belum siap kak. Maaf." Aku pergi setelahnya.

***

"Apa aku salah kalau aku ingin mendegar ungkapan cinta dan sayang dari suami aku?"

"Apa aku salah jika aku tidak memberikannya haknya?"

"Apa aku terlalu egois karena hanya memikirkan perasaanku saja tanpa memikirkan perasaan suamiku?"

"Iya kamu salah, dan kamu juga terlalu egois Risa. Apa nggak cukup perhatian yang kak Vano berikan sama kamu selama ini? Perjuangan dia, pengorbanan dia, bahkan dia rela membohongi keluarganya untuk menutupi kebohonganmu. Aku yakin kak Vano itu sayang dan cinta sama kamu. Mungkin dia memang bukan orang yang biasa mengungkapkan rasa cintanya di mulut, tapi dia mengungkapkannya lewat perbuatannya." kata Livia menasihatiku.

"Kamu beruntung tahu punya suami kayak kak Vano. Apa kamu mau punya suami yang manis dimulut doang, tapi sama sekali nggak perhatiaan." kata Livia.

"Enggaklah. Terus sekarang apa yang harus aku lakukan?"

"Ya minta maaf lah Risa. Gitu aja nggak tahu."

"Ya udah kamu pikirin baik-baik aja dulu perkataanku tadi. Soalnya aku harus balik kantor lagi nih. Aku tinggal ya." pamit Livia.

Aku tersenyum." Oke Livia. Makasih ya udah mau dengerin curhatanku." kataku.

"Segera minta maaf sama kak Vano." kata Livia sebelum benar-benar pergi.

***

Setelah berpikir cukup lama aku akhirnya menelepon kak Vano untuk meminta maaf. Namun beberapa kali aku mencoba menelepon, kak Vano sama sekali tak mengangkatnya.

"Apa dia marah sama aku?"

"Apa dia kecewa sama aku?"

"Apa dia melampiaskan nafsunya sama perempuan lain?"

Ah bodoh, seharusnya aku tidak bertindak seperti kemarin. Sekarang aku sendiri kan yang menyesal.

Aku menunggu kak Vano di rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Namun sayang yang ditunggu tak kunjung datang. Padahal aku sudah mempersiapkan makan malam untuknya. Aku memasak makanan kesukaan kak Vano.

Aku melirik jam dinding di ruang keluarga, jarum pendek di sana sudah menunjukkan pukul 8 malam.

"Di mana kak Vano?"

"Kenapa jam segini belum juga sampai rumah?"

"Apa kak Vano lembur?"

"Kenapa dia tidak memberitahuku?"

"Jangan-jangan yang kupikirkan tadi siang benar lagi, kak Vano sedang bersama perempuan lain. Dia sedang melampiaskan nafsunya pada perempuan lain."

Ah pikiranku tidak mau berhenti berpikir negatif. Dia terus saja berteriak yang tidak-tidak padaku. Membuatku semakin overthingking.

Aku mencoba menelepon kembali kak Vano. Namun kali ini ponselnya malah mati. Tidak ada telepon darinya, tidak ada WhatsApp juga darinya.

"Kak Vano kamu di mana? Maafin aku kak." Suara hatiku kembali berteriak.

****

"Hallo Risa. Ada apa?" tanyanya lewat sambungan telepon.

"Risa kamu kenapa menangis?" tanyanya lagi.

"Kak Vano." jawabku dengan tangis yang masih terisak.

"Kak Vano kenapa?"

"Kak Vano belum pulang sampai sekarang. Ponselnya juga mati. Kayaknya Kak Vano beneran marah deh sama aku. Aku harus gimana Livia."

"Sekarang kamu di mana?"

"Aku ada di depan rumah. Di sini lagi mati lampu. Aku takut."

"Ya udah jangan ke mana-mana, aku ke rumahmu sekarang." sambungan telepon terputus setelahnya.

Tidak biasanya kak Vano tidak pulang ke rumah seperti ini. Bahkan mengabari ku pun tidak. Mana sekarang lagi mati lampu. Nggak punya lilin. Cuma ada senter di ponselku doang. Lengkap sudah sepertinya penderitaanku.

Tak lama kemudian, Livia datang bersama Darren. Livia langsung memelukku. "Kamu nggak apa-apa kan Risa?" tanya Livia.

"Aku nggak lagi baik-baik aja Livia." jawabku menangis.

"Ya udah malam ini kamu nginep di rumah aku aja ya."

***

Minggu, 01 Januari 2023

Jodoh Pilihanmu, "Dia Yang Terbaik" (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang