19. Nuca, please stop....

82 6 6
                                    

Nuca yang lagi lagi tak mampu menyimpan gusarnya, rasa rindu yang menyeruak, rasa hancur yang merambah perlahan menelan seluruh tubuhnya, Nuca yang kini tak mampu membendung air matanya, anak kecil yang ada di dalam dirinya terduduk diujung ruang hatinya, menggaet kedua kakinya, menyimpan kepalanya tertunduk. Kembali memorinya terusik..

"Ma.. aku takut"
Nuca kecil menangis memanggil ibu yang sudah selayaknya merengkuh seorang anak yang kini terlihat menyedihkan, Namun ia tak akan pernah datang.

"Ma Please, Aku takut ma!"

Tangisan Nuca kecil didalam hatinya, tangannya mengepal gusar mencari tempat tenang bagi diri dan hatinya. Ia menangis tanpa suara, menahan segala amarah dan ketakutan, Dunia ini begitu jahat, Nuca kecil yang hingga kini tak pernah mendapat lindungan dalam hatinya.

Perlahan tangisan Nuca mulai memuncak menangis begitu hebat namun tetap dalam diam, sesekali menggeram, ketakutan menyeruak dikelopak matanya, Nuca yang bergerak kesana kemari mencari ketenangan, mencoba menenangkan hatinya, namun sulit.

Ketakutannya yang kian menyeruak, pikirannya yang kini dipenuhi dengan kehancuran. kakinya gemetar hebat. Hanya karna "Ibunya". Nuca yang kini melepaskan memo kecil milik ibunya, tersungkur, terduduk, kini menangis sejadi jadinya. Terdengar sayup sayup isak.

Kehancuran dan ketakutannya merenggut setiap indera yang Nuca miliki, matanya, telinganya, kulit dan kini hidupnya dipenuhi dengan rasa takut, dipenuhi dengan rasa rindu, dipenuhi dengan amarah, Mengapa ibunya tak pernah datang?

"kenapa gak pernah datang ke hidup Nuca ma!?"

Suaranya memenuhi ruang, kencang namun bergetar hingga tak ada nada yang mampu keluar diujung kalimatnya, Nuca yang kini berusaha mengeluarkan segala pikiran tentang mamanya, memukul kasar kepalanya, berharap ia mampu melupakan apa yang ia rasakan selama ini.

Berhenti mengingatnya, Bodoh!

Selama ini ia bertahan, menghalau segala pemikiran tentang Mama, mencoba sebagai lelaki Kuat. Lelaki tangguh yang tak akan pernah menangis, baginya hantaman sekeras apapun akan selalu ia hadapi, sesekali kerinduan terhadap wanita yang melahirkannya datang, bukan hanya merindukan kasih sayangnya pun juga menginginkan kedatangannya, walau Wanita itu takan pernah hadir.

Namun hatinya menghentak, Nuca salah! Batinnya.
Bayangnya menangkap sosok tangan lembut yang sekejap itu datang, baginya kelembutan yang terasa adalah sosok yang selama ini ia nantikan.

"Astaga, Nuca! Nuca.. cukup sayang..."
suara yang kini sayup terdengar tidak begitu jelas membuatnya tak mampu untuk menerima. Hangat, hanya rasa hangat yang kini ia rasakan.

Kini sosok yang berbicara memeluknya erat menempatkan Nuca kini pada peluknya, hangat. Nuca semakin kencang menangis, seakan menumpahkan segala rasa takutnya, Nuca kecil dalam hatinya mengadu. Tangan merambah memukul asal.

Sayang, telinganya seperti telah tenggelam dalam kedalaman laut. Suaranya samar berdengung, dirinya mencoba merengkuh mentari dalam kedalaman dirinya. Namun, kembali sulit rasanya.

"Nuca.. hei sayang... shh.. shh..shh"
"tenang.... sayang"

Nada bicara Tiara yang kini jauh dari kesan panik, meredam emosinya sendiri mencoba menghadirkan aura ketenangan, ia tau keberadaannya bagi Nuca sangat penting. Kepanikan atau paksaan, hanya akan menambah poin kegetiran masalah yang kini muncul.  Baginya memohon atau menghadang tangan Nuca untuk menghentikan pukulan pada kepalanya sendiri tak akan menjadi suatu solusi.

Tiara yang kini mencoba menenangkan Nuca mengusap lembut kepala Nuca, memeluk erat tubuh Nuca, sesekali mengusap punggungnya menunjukan kehadirannya pada Nuca. dalam benaknya masih bertanya apa yang terjadi lelakinya setelah kembalinya dari rumah Orang Tua Nuca.

REKADAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang