POV Ziva
Aku melihatnya, mengambil bola basket yang berputar kearah luar lapangan yang tak berpagar. Lelaki yang selalu membuatku kagum, sampai kapanpun. Dia adalah lelaki ketiga setelah Almarhum ayah dan juga Mas ku.
Mentari hari ini jelas bersinar terang, sinarannya yang menyelinap ke dalam daun daun yang kini berwarna warni, mungkin ini sebagai sebuah tanda bahwa musim akan segera berlalu. Dengan angin yang bertiup lembut seperti ia yang membelai setiap jengkal tumbuhan yang dilalui, seperti tak menyia nyiakan waktunya untuk bertemu mereka, bagaikan ia mengerti mungkin saja ini kali pertama dan terakhirnya untuk saling bertemu dan bertatap.
Sama seperti laki laki itu, lelaki yang pernah menyelami sepinya kehilangan, Laki laki yang pernah mengalami saat saat diluar batas kemampuannya, aku memanggilnya Koko ya juga kadang memanggil namanya saja tanpa ada imbuhan koko.
Ia mengambil bola itu, baju yang sedari pagi hanya dilonggarkan kancingnya masih menempel di badannya, padahal sudah kusuruh ia untuk membawa kaos yang lain, barangkali itu kemeja kesukaannya. Karena beberapa waktu aku melihatnya menggunakan kemeja itu berulang ulang, aku tak mau merasa superior tapi memang itu kemeja yang kuberi saat ulang tahunnya kemarin.
Langkahnya berlari kecil meraih bola basket itu, Sinar matahari yang terlihat Orange dipukul 2 siang ini menambahkan kesan hangat yang selalu ia tunjukan pada setiap pasang mata yang memandangnya. Sinar itu menyelimutinya, bagaikan aura yang ia pancarkan, warnanya kuning penuh dengan kegembiran.
Tetes tetes peluh yang ia usap dengan tangannya sebelum butiran itu masuk kedalam matanya yang cukup minimalis, berbeda dengan mataku yang lebih maximalis. Ia berlari di lapangan basket ditengah taman lantainya sudah mulai kusam, cat cat yang digunakan untuk membatasi lapangan juga sudah mulai pudar, lapangan ini semacam sudah lama sekali tidak manusia gunakan, atau mungkin hanya tidak lagi menjadi perhatian manusia manusia yang lain.
Saat pertama ia mengajak ku kemari, aku cukup heran. Tempatnya dekat dengan SMA ku dan Tiara ya karna kami satu sekolah, berbeda dengan keisya aku bertemu dengannya saat mulai berada di kantor.
Kembali pada pandanganku untuk laki laki itu, tangannya terampil untuk melemparkan bola itu, melompat dan berlari mengejar poin dibatas batas garis, Sejauh mungkin ia mencoba untuk memasukan bola itu, aku menatap wajah riangnya kala berhasil memasukan bola.
"Ziva.." Ucapnya dengan lantang dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya aku hanya tersenyum menghampirinya dengan dua botol minuman berkeringat saking dinginnya yang kubeli di warung sebelah sana.
"Sini dong, ko diem aja? situ tuhh duduk aja disitu jangan berdiri aja" ucapnya yang semakin membuatku terpana.
"Heh ngelamun, aku tau aku cakep tapi lama lama tangan kamu beku megangin itu terus" ucapnya sambil menunjuk kedua botol yang kubawa.
"Iyaaaaaa.. Gak cape apa?? itu baju udah kaya keset kamar mandi, basahh"
Aku mendekatinya memintanya untuk duduk di kursi pinggir lapangan ini, daun daun pucuk merah yang sedang bertumbuh. ujungnya yang berwarna orange hingga kemerahan mengingatkan ku pada tanaman tanaman yang ditanam di sekolahku dahulu.
"Tengkyu ah sayang, ko kamu tau disini ada warung? observasi dulu ya??" Ucapnya
"Kamu tau gak, SMA aku tuh di daerah sini.. malah aku yang kaget kamu ngajak aku kesini"
"Oh ya?? SMA 25???"
"Iyaa gemoyy" ucapku pipinya yang tembem itu tak mampu lagi ku tahan untuk ku cubit.
"Woah.. Se SMA sama Tiara dong? dulu mau masuk sana ditolak, emang anak anak yang Famous semua ya SMA 25 tuh"
"Yahh.. emangnya aku famous??? eh kamu ko tau tempat ini sih??"
KAMU SEDANG MEMBACA
REKADAYA
Teen FictionKetika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. Tiara Aruna Nararya seorang wanita kuat, sangat independen, namun ada hal yang menjadi kelemahannya...