Sore hari, mentari kini mulai meredup, berganti posisi. Pernah orang berkata, mentari merengkuh langit saat ia beristirahat, kebahagiaan mutlak bagi mentari telah menjadi berkat bagi setiap manusia, mentari merengkuh langit berkata terimakasih telah memberiku panggung.
Ucapan syukur mentari menyalurkan gelombang yang juga sesekali masuk kedalam hati manusia, menyelinap cahayanya kedalam tirai tirai yang mulai ditutup.
Cahayanya begitu ajaib, dipercaya bahkan semua makhluk memanfaatkan sinarnya, Sandekala.
Lamat lamat cahaya merah meredup, penonton menyerap segala bentuk syukur matahari terhadap pencipta.
Begitupun Nuca, Balkon putih menghadap Pantai, balkon privat yang hanya bisa dilihat bila menatapnya lekat dari tengah taman indah. ia sangat tau betapa kotornya tangan, dan hatinya. tangannya mengepal pada rentetan tralis didepannya, sesekali duduk diatas salah satu kursi bambu. Mimiknya Gusar, apakah perlu ia membuka apa yang digenggamannya sekarang?
Baginya telah lama ia mencoba memendam rasa hancur, Baginya waktu memaksanya untuk bisa bangkit, Baginya rasa rindu harus ia tekan dalam dalam, bukan untuk ia resapi, bukan untuk ia ungkit kembali, namun dengan secercah kertas seegala hal bisa saja kembali.
Terbayang, lukisan indah di galeri, seorang anak laki laki yang dengan senyumnya menatap sang ibu, tingginya tidak lebih dari pinggul wanita yang ada disebelahnya, menggunakan riasan Bali yang cukup kental, kebaya bali berwarna merah serasi dengan kamen berwarna hitam, keduanya berjalan seperti menuju sebuah bukit yang indah, jalannya lurus.. keduanya tersenyum bak tidak ada masalah sama sekali dalam hidupnya.
Nuca menutup matanya, menghela nafasnya merengkuh sosok anak kecil yang ada didalam hatinya.
Kamu akan baik baik saja.. batin Nuca.
Tubuhnya kini beranjak menghadap sunset indah dihadapannya, tangannya dengan perlahan Membuka sebuah kertas yang sudah ia simpan. Catatan Ibunya sebelum pergi menghadap sang Khalik. Didalamnya tersimbuh sebuah ucapan. Bait pertamanya berbunyi
Bila Kau izinkan sesuatu terjadi, Kupercaya semua untuk kebaikanku. Bila nanti telah tiba waktu-Mu, Kupercaya kuasa-Mu memulihkan hidupku
"Semua hal yang sudah terjadi adalah kehendaknya, Namun, Bukankah ada pilihan yang mampu diraih?"
Nuca yang kini mulai menangis, meneteskan air mata ditengah pipinya. Waktu yang entah kapan diberikan pada Nuca. Waktu setelah ia dilahirkan hingga kini belum membuatnya tegar, orang berkata waktu akan menjadi obat tersendiri, namun ia rasa waktu menambah kesakitan yang ada. Waktu yang dipercaya akan menjadi pemulih hidup tak pernah sedikitpun hadir pada dirinya.
Waktu Tuhan pasti yang terbaik, walau kadang tak mudah dilalui. Lewati cobaan ku tetap percaya waktu Tuhan pasti yang Terbaik.
"Ma, kenapa selalu percaya akan takdir yang Tuhan berikan adalah yang terbaik? aku rindu ma.. ingin memelukmu, merasa hangat didalam pelukmu, merasa aman. Ma bahkan aku gak pernah menemui mu, menggenggam tangan mu atau dicium oleh mu. Aku tak pernah menemui senyum mu. Jika ini takdir terbaik bagimu, apakah aku harus merasakan sakit ini?"
Ucap Nuca lirih kepalanya tersimpan di atas tralis besi, kepalanya berat menanggung segala emosi yang mulai tak terbendung, sejenak ia ingin menitipkan bebannya pada benda mati yang ada dihadapannya. Bayangnya Ramai, pikirnya melayang pada ingatannya saat pertama ia memasuki sebuah ruangan itu.
Untuk anakku kelak, Aku berharap kamu bisa jadi penyempurna hidup kami . Jadilah kuat, Nak. Jadilah lembut hatimu, jadilah pemimpi dalam anganmu. Kembalilah pada keluargamu, Mama akan selalu menggenggam mu, sampai kapanpun.
Sulit kini Nuca bertumpu pada kakinya sendiri
***
Tiara kini sedang mempersiapkan makan malam dengan teman temannya. Elok rupanya, begitu lembut dan menjadi begitu cekatan dalam mempersiapkan semuanya. Sesekali memandangi kamar Nuca, tirainya sudah tertutup namun cahaya lampu masih belum terlihat. Mentari masih terlihat jelas, namun kini mulai meredup. Cahaya merahnya masih belum hilang namun perlahan memudar.
Entah mengapa perasaannya begitu gusar, kembali ia melihat balkon kamar Nuca, masih terlihat sepi. Kemana Nuca? Batin Tiara.
"Eh ra.. lo kenapa sih? Tegang amat" Ucap sam yang kini dapat membuyarkan segala rasa penasaran Tiara.
Tiara masih terdiam, hatinya penasaran sekaligus begitu khawatir. Entah apa yang ia khawatirkan.
"Heh.. lo bengong aja, kenapa sih ra?? mikirin apa??" ucap ziva yang kini tidak kalah dengan pasangannya menatap aneh Tiara yang tiba tiba diam
"Ti? Kesambet setan sore lo?" tanya ziva menambahkan.
Tiara masih dalam diamnya, sesekali melihat kamar Nuca, yang hingga kini masih belum ada tanda tanda kehidupan. Sesekali ia melihat balkon kamar Nuca, ia mendadak terdiam memecahkan rasa tidak karuan didalam hatinya.
Setelah kedatangannya di rumah lama Nuca, Nuca nampak berbeda lebih sendu dibanding nyanyian burung camar yang tak mendapat makan, tangisnya tak berbunyi lebih senyap dari dugaan Tiara.
Namun baginya kini tak ada niat untuk menyembuhkan rasa penasarannya, apa yang membuatnya begini? Seberat itu kah?
Biar, ketika Nuca sudah siap.. Pasti! Tiara lah yang akan menjadi sandarannya.Sekelibat, Tuhan takdirkan Tiara yang kini melihat Nuca yang sedang ada diatas balkonnya, terlihat sangat gusar. Tampak tangis yang sekejap ia lihat, nampak meyakinkan karna seharian ini Nuca yang sudah pasti menyimpan banyak beban yang kemudian menghilang kembali dibalik dinding dan pagar.
"Gue mau ke Nuca dulu, Nitip ini"
Ucap Tiara yang kini menyerahkan gelas yang setengah terisi pada ziva, mencoba berjalan cepat hingga berlari menuju kamar Nuca. Ia tau Nuca sedang tidak baik baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
REKADAYA
Teen FictionKetika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. Tiara Aruna Nararya seorang wanita kuat, sangat independen, namun ada hal yang menjadi kelemahannya...