Nuca kembali berjalan, sendiri. Tanpa teman temannya yang lain, melangkahkan kakinya menuju tempat melabuhkan berbagai sesaji, di acara Mulang Pakelem siang tadi. Kakinya terseret malas, namun hatinya masih terus meminta bergerak menuju bibir pantai. Kini ia menatap langit yang biru, tebing disebelah timur yang ditumbuhi banyak pohon rambat, warnanya kuning abu trsamarkan dengan hijau segar. Lautnya bergradasi menuju warna terdalam.
Tubuhnya kini menghadap lautan, tangannya masih menggenggam kunci rumah tempat kelahirannya. Hatinya meminta untuk ia bergerak membuka rumah lamannya, namun pikirannya masih sangat sakit untuk kembali menerima fakta fakta baru.
"Nuca!"
Nuca menoleh suara permpuan memanggilnya, tak asing ditelinga. Sudah pasti suara Mahalini. Tubuhnya membalikan badan menyesuakan sudut pandangnya pada Mahalini yang sedikit berlari menghampiri Nuca.
"ilang ilangan aja terus! Hobi ya?!"
"Siapa yang ngilang sih? Aku dari tadi disini!"
Nuca masih sering bersikap seperti awal mereka bertemu, cara bicara bahkan penempatan nada terkadang sama seperti anak anak. Baginya masa terindah bersama mahalini adalah saat ia masih anak anak. Tak perlu susah mendapatkan uang, tak perlu juga pusing memikirkan opini orang lain. Masih begitu bebas seperti bermain di pematang sawah atau mencari jangkrik.
"Panass Nuc.. ayo balik ke hotel, nanti aku item"
"Mau segimanapun panas nya pantai, kamu bakalan tetep putih lin.. paling kebakar aja"
"Jahat kamu! Perih kalau kebakar"
Beberapa menit berlalu Tangan mahalini yang memang kecil dan lembut rasanya walau menutupi muka menggunakan kedua tangannya, matahari akan tetap menusuk ke arah mukanya. Tangan nuca dengan sigap menutupi panas matahari yang ada dikepala lini.
"Lagian ngapain kesini sih, lin?"
"Ya kamu dicariin, dari dulu kalau kamu ilang, ya aku yang diomelin ibu suruh nyari kamu!"
"Udah gede lagian.."
"Ayo balik, disuruh makan sama Ibu"
"Lah kan tadi udah makan, makan lagi?" Nuca menghindari mahalini, menggodanya untuk kembali berlarian dibibir pantai.
"Gausah macem macem ya! ibu yang minta, kalau aku balik gak bawa kamu nanti aku disuruh balik lagi buat geret kamu!"
"Yailah marah marah mulu" telunjuknya dengan jail mengusap hidung mahalini, sontak kaget beberapa langkah mundur.
Nuca sangat menyukai kebiasaan mahalini yang mengomel, atau lebih tepatnya menyukai wanita yang mengomel. Siapapun itu, nuca menyukainya. Tawanya merekah kala melihat mahalini yang masih terkejut. Ditariknya tangan Nuca tanpa basa basi sebelum kulitnya memerah akibat terbakar matahari.
Tanpa kata dan kalimat keduanya masih berjalan menuju ruang privat bungalow yang baru saja diresmikan, Ibu meminta untuk keluarganya merasakan makan siang bersama di sana, sebelum nantinya digunakan secara bebas oleh wisatawan. Dekorasinya kental bali, dengan sudut sudut tembok yang dilengkapi pahatan batu, dan ornamen kayu dibeberapa sisi. Lampu gantung ditengah ruangan bersamaan dengan televisi yang cukup besar. Disediakan makanan yang beraneka macam diatas meja.
Nuca tau beberapa lauk pauk adalah kesukaannya, beberapa kesukaan Ajik wayan yang memiliki kesukaan yang sama dengan mahalini like father like daughter. Sedang ibu, memang orang yang sederhana selalu menyukai makanan apapun selagi baik untuk badannya. Nuca tersenyum merekah, kala melihat kedua orang tua asuhnya sudah duduk dengan santai didalam.
"Aduh gek lin! Itu ko nuca nya di seret seret?"
"iya ni bu lini nya kasar"
"ngadu aja terus ngadu!" bibir mahalini dimajukan sebal memang setiapkali mahalini menyeretnya atau memaksa nuca, Ibu selalu berkata demikian. Nuca memang jail sesekali menjadikan ibunya sebagai tameng kemarahan lini.
KAMU SEDANG MEMBACA
REKADAYA
Roman pour AdolescentsKetika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. Tiara Aruna Nararya seorang wanita kuat, sangat independen, namun ada hal yang menjadi kelemahannya...