"Ouch! Periiiih." Kumala mengaduh sakit saat Bhiru mengoleskan salep khusus luka di dekat lubang Kumala yang ternyata ikut lecet karena kuku jari Jenar.
"Kenapa sih pake acara adu gulat segala?" Bhiru bertanya sambil meratakan salep. "Nggak takut kena SP dari dia?" Bhiru ingat kalau Jenar bisa saja dengan mudah menjatuhkan SP untuk Kumala karena telah membuat kegaduhan di kantor.
"Coba aja kalau dia berani!" timpal Kumala dengan kesal.
"Lain kali jangan adu otot lagi ya Kum. Kamu ini wanita anggun calon ibu negara bukan tukang pukul."
Kumala terkekeh geli dengan celotehan Bhiru.
"Memangnya calon ibu negara nggak boleh garang dikit belain sahabat?"
"Boleh. Tapi dia kan masih sahabat kamu."
"Jangan bercanda deh. Dia nyakitin kamu, sama aja dengan nyakitin aku, Bhi. Aku udah nggak sudi punya sahabat pengkhianat." Kumala menegaskan dengan geram.
Bhiru terkekeh pelan namun terasa pedih di hatinya. Bertemu Jenar sama rasanya bertemu dengan Langit, pedih sekaligus marah. Mereka adalah orang-orang yang pernah ia kasihi setulus hati.
"Lagian gimana ceritanya sampai adu gulat kayak tadi?"
"Habis gemes aja, Bhi. Pas kebetulan ketemu dia di lorong, aku tegur baik-baik eh malah nyolot. Ya sudah aku kejar sampai toilet dan terjadilah..." Kumala bercerita sambil meringis karena lukanya terasa masih perih juga. Kumala yang biasanya kalem bin lemah lembut seperti ibu peri ternyata bisa segalak induk singa.
Bhiru tertawa getir menanggapi cerita Kumala yang begitu bersemangat membelanya. Kalau dipikir-pikir jika dahulu ada yang mem-bully-nya di kantor, biasanya Jenar yang lebih dominan maju membelanya.
Setiap orang bisa berubah, tidak akan ada yang tetap benar-benar sama. Seperti hidupnya kini, hidup Jenar dan hidup Langit. Semuanya telah berubah dalam satu malam.
Setelah Bhiru selesai mengobatinya, bola mata Kumala menangkap penampakan jas yang sepertinya milik pak Ranu. Jas itu digantung pada hook yang menempel di dinding kubikel di belakang mereka duduk.
"Ini bukannya jas pak Ranu?" Kumala menerka sambil menuding jas itu dengan tatapan heran. Bagaimana bisa jas itu bisa ada di tempat Bhiru, kecuali...
Bhiru membalas pertanyaan Kumala dengan cengiran lebar.
"Jangan bilang kalau dia sudah tahu?"
"Makanya tadi aku cuci dulu di toilet terus aku jemur di rooftop sebentar sambil makan siang. Eh, ternyata cepat juga keringnya. Tinggal dikembalikan saja." Bhiru memandang ke arah ruangan pak Ranu yang masih ditinggalkan pemiliknya.
"Wow..." Kumala lumayan kagum dengan skill Bhiru. "Seingatku, kamu sering banget ya nyuci jasnya. Lama-lama kamu jadi tukang cucinya pak Ranu deh, Bhi," tambahnya bercanda.
Kumala benar karena sudah ketiga kalinya Bhiru selalu berurusan dengan urusan mengotori dan mencucikan jas pak Ranu.
"Sepertinya aku memang nggak boleh dekat-dekat sama pak Ranu deh Kum. Suka apes kalau dekat-dekat beliau." Bhiru jadi ingat sederetan peristiwa apesnya tiap kali bersama pak Ranu. Dari jatuh tersungkur di pertemuan pertama mereka, hidung memar kena sikut saat mengunjungi Archa keponakan pak Ranu, terpeleset di pabrik saat menemani pak Ranu, hingga ia tiba-tiba tertimpa musibah melihat Langit selingkuh dengan Jenar.
Untuk point yang terakhir termasuk dalam salah satu keapesannya, bukan?
Tapi seharusnya point yang terakhir tidak perlu disangkut pautkan dengan pak Ranu. Tapi kenapa kok kebetulan juga pas dengan timing-nya?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Romance"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...